Hobi Kecil yang Ingatkan Pentingnya Swasembada Pangan
Pembatasan sosial selama pandemi mendorong sebagian masyarakat untuk berkebun di rumah. Selain mengisi waktu luang, kegiatan itu juga memberi harapan akan pemenuhan pangan secara swasembada di tengah ancaman krisis.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Ibu rumah tangga Siti Luthfah (27) tengah asik belajar menumbuhkan benih berbagai tanaman sayur dan buah-buahan di dalam plastik makanan bekas. Ada selada, terong hijau, pokcoy, bunga matahari, ubi, sampai timun suri. Sebelumnya, ia juga sudah menumbuhkan bibit berbagai tanaman, mulai dari sawi, seledri, serai, hingga bawang-bawangan.
Beberapa sudah dipanen dan ia pakai untuk keperluan memasak, seperti kangkung dan daun gingseng. Lainnya masih menunggu untuk dipanen dari plastik makanan dan minuman bekas, yang disusun di halaman rumah seluas 3 meter persegi. Kebun kecil yang eksis sejak sebulan lalu tersebut dirawat oleh ibu beranak satu itu bersama suami yang kini bekerja dari rumah (work from home/WFH).
”Keinginan bikin kebun di depan rumah sudah lama. Tapi, setelah ada pembatasan sosial dan WFH, akhirnya coba beli tanaman di tukang tanaman dengan beberapa benih tanaman, seperti sawi, selada, dan tomat,” tutur warga yang tinggal di Tangerang, Banten, itu kepada Kompas, Sabtu (2/5/2020).
Selain untuk mengisi waktu luang, hobi ini nantinya juga diharapkan bisa mempermudahnya mendapatkan kebutuhan untuk memasak di dapur. Hasil berkebun juga diharapkan menekan pengeluaran untuk membeli sayur-mayur yang biasanya mencapai 40-50 persen belanja bahan masakan.
Hobi berkebun seperti yang dikerjakan Siti juga tengah dikerjakan Kania (35) di Jakarta. Kesibukan itu ia kerjakan selama pandemi yang membuatnya harus bekerja dari rumah dan mengurangi aktivitas di luar rumah, termasuk berbelanja kebutuhan harian.
Ia pun terdorong untuk menghasilkan sendiri pangan bersumber tanaman yang dibutuhkan keluarga. Hal itu berawal dari meroketnya harga empon-empon, seperti jahe dan kunyit. Kenaikan harga terjadi karena tanaman tersebut banyak dicari untuk memperkuat daya tahan tubuh agar tak mudah terjangkit virus, termasuk virus SARS-CoV-2 pemicu Covid-19.
”Walaupun cuma punya tanah sempit di belakang rumah, saya mencoba menanam empon-empon sendiri. Sekarang saya juga mencoba menanam beberapa sayuran yang, alhamdulillah, cepat dipanen dan membuat saya enggak harus sering keluar rumah,” kata Kania.
Antisipasi
Praktisi dan anggota komunitas berkebun di Jakarta, Sita Pujianto, yang dihubungi terpisah, mengatakan, aktivitas berkebun di rumah bisa menjadi cara untuk mengantisipasi berbagai risiko di masa mendatang.
Sejauh ini, pandemi memicu kenaikan harga beberapa bahan pangan dan menyulitkan masyarakat mengakses pangan secara langsung di pasar atau pusat perbelanjaan.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS) mencatat, pada Maret lalu sejumlah komoditas bahan pokok mengalami kenaikan harga. Bawang putih, misalnya, naik hingga 36 persen sebulan terakhir. Bawang merah naik 5,56 persen dan cabai rawit merah 18,11 persen. Pada bulan April, harga komoditas itu cenderung turun dan stabil, kecuali bawang merah karena produksi menurun.
”Banyak hal yang kita enggak bisa prediksi ke depan. Sekarang, kita mungkin masih bisa beli sayur di pasar dan warung. Tetapi, aktivitas di luar harus dikurangi. Kalau kita punya kebun, kita jadi seperti punya supermarket yang kapan saja bisa didatangi,” ujarnya.
Untuk itu, masyarakat bisa mulai mengembangkan tanaman pangan yang sering dibutuhkan untuk ditanam di rumah. Sita menyarankan agar masyarakat memilih tanaman yang cepat ditanam. Misalnya, sayur kangkung dan bayam yang bisa ditumbuhkan dari bijinya selama 21 hari.
Tanaman lain yang mudah dikembangkan di lahan sempit dan bisa dipanen terus-menerus antara lain cabai, sayur katuk, kelor, pepaya jepang, bawang, daun kemangi, dan daun salam. Beberapa tanaman bisa dihasilkan dari sisa bagian tanaman yang sering dibuang, seperti akar daun bawang dan batang katuk.
Empon-empon, seperti jahe, kunyit, dan lengkuas, juga bisa mulai ditanam sendiri. Tanaman rimpang itu dapat tumbuh dalam delapan hingga sembilan bulan.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) melaporkan, pandemi Covid-19 akan memengaruhi ketersediaan pangan karena hambatan tenaga kerja serta rantai pasokan.
Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon, dalam keterangan tertulis belum lama ini, menyebutkan, setidaknya ada delapan jenis pangan yang harus jadi prioritas perhatian pemerintah selama pandemi, yaitu beras, jagung, kedelai, bawang putih, ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, dan minyak goreng.
”Pemerintah harus berhitung benar dengan potensi ancaman krisis pangan ini. Jika tidak diantisipasi, kita akan merasakan dampaknya dalam empat bulan ke depan,” katanya.
Mari Elka Pangestu, World Bank Managing Director of Development Policy and Partnerships, dalam blog yang ditulisnya pada 1 Mei, juga mengingatkan agar pemerintah di tiap negara memastikan masyarakat dapat mengakses persediaan makanan pokok.
Selain itu, pemerintah juga harus memastikan mereka memiliki uang untuk membeli makanan pokok. Pasalnya, rata-rata makanan menyumbang hingga 60 persen dari pengeluaran rumah tangga di negara-negara berpenghasilan rendah dan 40 persen di ekonomi pasar berkembang dan berkembang.
”Resesi ekonomi dan hilangnya mata pencarian dengan cepat mengikis ketahanan pangan jutaan orang, terutama jika harga pangan meningkat,” tulis Menteri Perdagangan RI 2004-2011 tersebut di laman worldbank.org.
Bank Dunia memperkirakan, 40 juta hingga 60 juta lebih orang akan hidup dalam kemiskinan ekstrem dalam beberapa bulan mendatang, tergantung dari skala guncangan ekonomi.
Jaring pengaman sosial untuk yang paling miskin dan paling rentan diperlukan sebagai bagian dari fase langsung dan selanjutnya dari bantuan darurat Covid-19.
Jika pemerintah juga lamban dalam menanggulangi dampak pandemi di sektor pertanian dan meningkatkan daya beli masyarakat, kegiatan bertani kecil-kecilan seperti berkebun di rumah mungkin bisa dijadikan alternatif untuk memenuhi kebutuhan pangan.