Pemidanaan Dosen Unsyiah, Pembungkaman Kebebasan Akademik
Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, divonis tiga bulan penjara atas komentarnya di grup Whatsapp Unsyiah. Putusan PN Banda Aceh ini dinilai mengabaikan kebebasan ekspresi dan kebebasan akademik.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemidanaan Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, dinilai merupakan pembungkaman kebebasan akademik. Komentar Saiful dalam percakapan di grup Whatsapp Unsyiah merupakan ekspresi kebebasan berpendapat yang menjadi hak Saiful sebagai akademisi dan dianggap tidak ada unsur pencemaran nama baik.
Pada 21 April 2020, majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Saiful dengan hukuman tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider satu bulan penjara. Saiful dinilai bersalah melakukan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kasus ini bermula ketika Saiful berkomentar dalam percakapan grup Whatsapp Unsyiah, mengkritik proses penerimaan calon pegawai negeri sipil di Unsyiah. ”Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin….” Atas komentarnya ini, Saiful dilaporkan ke polisi oleh pimpinan Fakultas Teknik Unsyiah dengan tuduhan pencemaran nama baik.
”Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh ini menjadi sinyal buruk bagi akademisi ketika menyampaikan pendapat di internal kampus. Bagi kami, putusan ini bukan hanya pembungkaman kebebasan ekspresi yang sesungguhnya telah dijamin sejak Indonesia lahir pada tahun 1945, melainkan pula pembungkaman kebebasan akademik,” kata Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang P Wiratraman ketika dihubungi di Jakarta, Senin (27/4/2020).
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Herlambang P Wiratraman
Hal senada disampaikan Henri Subiakto, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika yang juga Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya. Dia mengatakan, apa yang dilakukan Saiful bukan perbuatan pidana. Apa yang dilakukan Saiful bukan perbuatan mendistribusikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
”Pencemaran nama baik itu menyangkut seseorang, bukan jabatan ataupun lembaga. Pak Saiful tidak melakukan itu (mencemarkan nama baik pimpinan Fakultas Teknik Unsyiah). Menilai boleh-boleh saja, orang berpendapat itu hak. Pandangan pribadi seseorang terhadap sesuatu itu dijamin Pasal 28 UUD 1945. Dan apa yang dilakukan Pak Saiful itu hak akademik, dan di grup Whatsapp, mengapa dibawa ke pemidanaan?” tutur Henri.
Interpretasi undang-undang
Henri mengatakan telah menyampaikan pendapatnya tersebut ketika hadir sebagai saksi ahli dalam persidangan kasus Saiful. Dia menyayangkan apa yang disampaikan dalam persidangan tersebut tidak dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim.
”Ini negara yang dirugikan, seakan-akan pemerintah yang melakukan (memidanakan Saiful). Padahal, ini salah interpretasi dan penerapan undang-undang,” kata Ketua Kelompok Kerja Revisi UU ITE dari pihak pemerintah pada 2016 tersebut.
Herlambang juga menyayangkan putusan PN Banda Aceh yang tidak mempertimbangkan argumen kebebasan akademik mengingat peristiwa ini terjadi di lingkungan akademik dan di grup tertutup (grup Whatsapp Unsyiah). Selain bertentangan dengan sistem hukum hak asasi manusia bahwa kebebasan akademik merupakan hak individual dosen yang harus dijamin, putusan tersebut juga bertentangan dengan Prinsip-prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik (Surabaya Principles on Academic Freedom) yang ditetapkan di Surabaya pada 6 Desember 2017.
Dalam prinsip IV dinyatakan bahwa insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan. Adapun dalam prinsip V dinyatakan, otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.
Muhammad Asyad, Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE), mengatakan, putusan PN Banda Aceh tersebut mengancam kebebasan berekspresi. Ketua tim penasihat hukum Saiful yang juga Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul, pun mengatakan, ”Seharusnya yang dipidana itu bukan kebebasan berekspresi, tetapi judi online dan sebagainya itu.”
Herlambang khawatir putusan PN Banda Aceh tersebut bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan akademik. Saat ini ada dua akademisi yang juga terancam UU ITE karena diduga melakukan pencemaran nama baik terkait komentar di grup Whatsapp dan pendapat akademisnya.