Ramadhan Pertama Tanpa ”Pungguhan” dan ”Gholibah” di Tondano
Umat Islam warga Kampung Jawa Tondano punya tradisi ”pungguhan” dan ”gholibah” jelang Ramadhan. Namun, tradisi itu tak dapat digelar pada Ramadhan kali ini demi mencegah Covid-19.
Oleh
KRSITIAN OKA PRASETYADI
·6 menit baca
Tujuh Ramadhan terakhir di Kampung Jawa Tondano tak lagi sama bagi Aminah Maspekeh (66). Shalat Tarawih, sahur, dan buka puasa mesti ia lalui tanpa kehadiran sang ayah yang telah berpulang. Namun, sosoknya tak pernah luput dari ingatan Aminah. Rasa rindu ia rangkai dalam bait-bait doa dari samping pusara ayahnya.
Udara Rabu (22/4/2020) sore sejuk nan lembab sehabis hujan mengguyur deretan pusara yang sejajar, nyaris rapi, di Pekuburuan Umum Jaton, singkatan dari Kampung Jawa Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Dalam khidmat, Aminah membersihkan undakan keramik kubur sang ayah di sisi timur pekuburan dengan sapu yang ia temukan di sekitar makam. Tiga makam milik adik, paman, dan bibinya, tepat di sebelah makam ayahnya, juga ia bersihkan.
”Biasanya, hari Sabtu atau Minggu sebelum Ramadhan, kami ziarah ke makam orangtua dan saudara-saudara yang sudah meninggal. Biarpun tidak bisa menjalani bulan suci bersama lagi, kami tetap mengingat dan mendoakan mereka. Tradisi ini namanya pungguhan,” kata Aminah, warga asli Kampung Jaton.
Di situ kami berdoa dan berzikir bersama untuk mohon pengampunan sebelum memasuki Ramadhan.
Pungguhan pada dasarnya sama dengan tradisi ziarah makam umumnya, seperti nyekar di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Setelah membersihkan makam, Aminah mendaraskan ayat demi ayat dalam Surat Yasin kemudian menaburkan bunga dan potongan daun pandan.
Kendati begitu, sejatinya pungguhan adalah hajatan besar bagi warga keturunan Kampung Jaton. Tanggal pelaksanaannya ditentukan lurah dan pemuka agama di Masjid Al-Falah Kyai Modjo, Kampung Jaton. Pada hari yang ditentukan, Pekuburan Jaton akan dipadati peziarah dari Kampung Jaton maupun daerah lainnya yang beramai-ramai membersihkan makam dan berdoa.
Jelang tengah hari, para peziarah akan naik ke Makam Kyai Modjo di atas bukit, tepat di seberang Pekuburan Umum Jaton. ”Di situ kami berdoa dan berzikir bersama untuk mohon pengampunan sebelum memasuki Ramadhan. Ibadah itu namanya gholibah,” kata Aminah.
Namun, rangkaian hajatan itu terpaksa ditiadakan, tak lain karena wabah Covid-19 akibat virus korona baru. Keadaan ini juga mengecewakan bagi Tuti Thayeb (57) dan anaknya, Fahri Wonggo (31). Mereka terpaksa hanya berdua membersihkan dan berdoa di makam ibu Tuti.
”Pungguhan sebenarnya sebuah kesempatan berkumpul bagi keluarga besar. Soalnya, orang-orang asli Jaton, yang sudah tinggal di luar kota, pulang kampung. Tapi, gara-gara pandemi ini, terpaksa kami pergi sendiri-sendiri,” kata Fahri, saat berziarah, Kamis (23/4/2020).
Bagi Aminah, Tuti, dan Fahri, pungguhan dan gholibah bukan sekadar ibadah, melainkan tradisi luhur yang melekat dalam identitas mereka sebagai orang Jaton. Menurut catatan sejarawan Universitas Sam Ratulangi, Roger Kembuan, penduduk Kampung Jaton adalah keturunan Kyai Modjo dan 62 pengikutnya yang diasingkan di Tondano pada tahun 1830 seusai Perang Diponegoro.
Selama 19 tahun hingga wafatnya di pengasingan, Kyai Modjo berdakwah dan menyebarkan agama Islam dengan bantuan para pengikutnya, salah satunya dengan mendirikan masjid pertama di Minahasa, yakni Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo. Selama itu pula, terjadi peleburan budaya Jawa dan Minahasa yang turut menciptakan tradisi pada hari-hari keagamaan.
Menurut Imam Besar Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo, Haji Ahmad Kiai Demak (76), Kyai Modjo adalah sosok pejuang sekaligus guru agama yang sangat dihormati. Ialah yang menciptakan kebudayaan islami Kampung Jaton, termasuk pungguhan dan gholibah.
Pungguhan, misalnya, berasal dari kata ponggahan dalam bahasa Jawa yang berarti pembongkaran. Orang Jaton mengartikannya sebagai pembersihan. Haji Ahmad mengatakan, budaya ini juga dianjurkan oleh agama, yaitu mendoakan dan bersilaturahmi dengan sesama Muslim yang masih hidup maupun sudah meninggal. Anak-anak juga wajib mendoakan orangtuanya. Semua diwujudkan dalam ziarah kubur.
Insya Allah, umat Islam di Kampung Jaton berhasil dalam menjalankan puasa.
Adapun zikir gholibah berasal dari kata ghalib dalam bahasa Arab yang berarti kemenangan. ”Kami berzikir untuk meminta rida dari Allah dalam menjalankan puasa. Insya Allah, umat Islam di Kampung Jaton berhasil dalam menjalankan puasa,” kata Haji Ahmad.
Penentuan hari pelaksanaan pungguhan dan gholibah oleh Kelurahan Kampung Jawa Tondano dan pemuka agama juga biasanya menjadi patokan bagi warga diaspora Jaton di Manado, Kotamobagu, Gorontalo, dan berbagai tempat lainnya untuk menentukan tanggal pulang kampung. Adapun pelaksanaannya yang beramai-ramai adalah manifestasi dari budaya mapalus, gotong royong khas Minahasa.
Namun, semuanya terpaksa ditiadakan karena imbauan pemerintah untuk beribadah di rumah masing-masing. Sebagai gantinya, kelurahan menugaskan lima pekerja untuk membersihkan makam, termasuk menyemprotkan cairan disinfektan. Hal itu dapat menghindarkan kerumunan orang, salah satu pemicu penularan Covid-19.
”Pandemi Covid-19 ini sangat tinggi kemudaratannya, bisa membahayakan diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Warga negara Indonesia sekaligus umat yang baik, harus taat pada pemerintah yang sah. Ada dalilnya dalam surat An-Nisa Ayat 59, ’Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu’,” kata Haji Ahmad.
Dengan demikian, dipastikan pula malam sebelum hari pertama ibadah puasa dan seterusnya di Kampung Jaton dimulai tanpa shalat Tarawih. Ahmad mengatakan, Polri dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menerbitkan maklumat agar tidak ada ibadah berjemaah yang mengumpulkan lebih dari 10 orang.
Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo pun dipastikan sepi. Karpet di dalam masjid berarsitektur khas Jawa Tengah, mirip Masjid Agung Demak, itu telah digulung, sementara beberapa pintu dikunci. Hanya megafon yang difungsikan untuk melantunkan azan.
Bagi Haji Ahmad, reputasi Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo dan Kampung Jaton dipertaruhkan dalam perlawanan terhadap Covid-19. Sebab, masjid agung ini adalah masjid pertama di Minahasa dan masjid teladan di Sulut. Kampung Jaton pun adalah kampung wisata yang sarat budaya. ”Kami harus waspada pada penyebaran virus,” katanya.
Karena itu, beberapa budaya lokal hasil peleburan Minahasa-Jawa pun harus dikorbankan, misalnya grebeg sahur. Budaya memasak nasi ambeng untuk dimakan bersama anak-anak dan masyarakat di masjid pada malam menjelang lailatul qadar juga terpaksa ditiadakan. Kemungkinan ambengan pada Lebaran Ketupat juga ditiadakan.
Hidup berdampingan
Sekalipun tak bisa menyambut Ramadhan semeriah biasanya, orang-orang Jaton berusaha menjaga nilai-nilai luhur yang telah mereka hidupkan bersama warga di sekitar kampung mereka, salah satunya toleransi. Untuk pungguhan, misalnya, para peziarah harus melewati tiga gereja Kristen di Kelurahan Wulauan.
Karena itu, Aminah memilih berziarah pada hari Rabu. Kalaupun pungguhan bisa dilaksanakan beramai-ramai pada akhir pekan, ia akan memilih datang pada hari Sabtu. ”Warga Wulauan masuk gereja hari Minggu, jadi saya selalu datang Sabtu supaya tidak bikin lalu lintas padat,” katanya.
Masjid Agung Al-Falah Kyai Modjo dan Gereja GMIM Eben Haezer hanya terpaut sekitar 650 meter. Hal ini, menurut Haji Ahmad, menggambarkan hubungan umat Kristen dan Islam yang selalu hangat. Saat Lebaran, misalnya, pintu warga Kampung Jaton selalu terbuka bagi warga beragama Kristen yang ingin makan bersama.
Kedekatan ini juga karena ada pertalian darah. ”Rombongan pertama (Kyai Modjo) yang masuk ke sini semuanya laki-laki. Mereka menikah dengan wanita asli Minahasa. Jadi, masih ada hubungan darah antara warga Jaton dan kampung sekitar sehingga kami hidup rukun,” katanya.
Kerukunan ini, salah satunya, ditunjukkan oleh Melisa Suratinoyo (35), warga Kampung Jaton. Meski telah merantau ke Makassar, Jakarta, dan kini Polewali, ia masih menyempatkan mengunjungi keluarga sepupunya, Merry Mambu (28), di Kelurahan Kendis, Tondano Timur, ketika pulang kampung, Rabu (8/4/2020).
Saat bersilaturahmi, senda gurau dan kehangatan dalam keluarga pun terasa lebih transenden ketimbang identitas agama.