Perempuan-perempuan yang Berjuang di Tengah Pandemi Covid-19
Bertepatan dengan Hari Kartini 2020 ini, ada puluhan ribu ”kartini-kartini” kepala keluarga yang tengah berjuang melawan pandemi Covid-19.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·6 menit baca
DOKUMENTASI PRIBADI/PARTINI
Masker dari bahan batik shibori karya Partini (43), warga Desa Dongko, Kecamatan Dongko, Trenggalek, Jawa Timur. Masker-masker ini dibuat pada masa pandemi Covid-19 yang dibagikan kepada tetangga ataupun dipesan pemerintah.
Di tengah kesulitan menghadapi pandemi Covid-19, sejumlah perempuan mencoba bertahan dan melawan dengan berbagai cara. Demi asap dapur mengepul, demi membeli paket internet untuk anak-anak belajar dari rumah, para perempuan yang menjadi orangtua tunggal memilih tidak mau menyerah begitu saja dengan Covid-19. Beberapa bisa bertahan, tetapi sebagian besar kini merangkak dan tertatih-tatih.
Partini (43), warga Desa Dongko, Kecamatan Dongko, Trenggalek, Jawa Timur, misalnya. Ketika pandemi Covid-19 melanda DKI Jakarta yang kemudian meluas ke daerah-daerah, perempuan yang sejak 2004 hidup bersama dua putrinya yang berusia 18 tahun dan 9 tahun itu mengaku, usaha mikro kecil menengah (UMKM) pembuatan batik shibori yang ia geluti bersama sejumlah rekannya berhenti.
Padahal, sebelum pandemi Covid-19, setidaknya dalam sebulan dia bisa mendapat pesanan baju dan seragam batik. ”Dalam satu bulan, dapat tiga jutaan pasti ada. Tapi, sejak Covid-19, enggak ada sama sekali pesanan. Usaha kami lumpuh total,” katanya.
Partini tidak menyerah. Dia memutar otak. Melihat masyarakat sulit mendapat masker, dia pun langsung terpikir membuat masker.
Melihat situasi itu, Partini tidak menyerah. Dia memutar otak. Melihat masyarakat sulit mendapat masker, dia pun langsung terpikir membuat masker. Stok batik shibori yang belum laku langsung dipotong, dijahit menjadi masker. Awalnya, masker buatannya dibagikan kepada ibu-ibu tetangganya. Namun, belakangan, masker buatannya dipesan sejumlah kalangan. Bahkan, ada pesanan dari Dinas Koperasi dan Usaha Mikro dan Perdagangan Kabupaten Trenggalek sebanyak 10 kodi masker (200 masker).
”Shibori saya jahit jadi masker berkualitas yang nyaman dipakai. Saya tawarin juga ke Pak Camat Dongko. Eh, ternyata dapat pesanan 40 masker, terus minta lagi 40 masker. Istri Pak Camat juga pesan 40 masker, lalu ada pesanan lain,” kata Partini.
Untuk masker dari batik shibori, Partini membuat dua jenis, yakni masker satu lapis seharga Rp 6.000 per buah dan dua lapis seharga Rp 9.000 per buah. Kalau beli banyak, Rp 8.000 per buah.
Masker yang dijahit tidak hanya untuk dijual, tetapi juga dibagi-bagikan kepada perempuan-perempuan lanjut usia (lansia) tetangganya. Bahkan, hasil penjualan masker pun dia sisihkan untuk membeli sabun antiseptik. Supaya jumlah yang dibagi bisa banyak, dia mengajak beberapa ibu-ibu patungan uang untuk membantu warga lansia.
”Saya merasa tersentuh sekali dalam keadaan orang-orang tua di kampung, mereka susah nyari masker. Dulu di apotek masker cuma seribu rupiah, tapi sekarang jadi sembilan ribu rupiah. Kasihan mereka enggak bisa beli. Kami hanya hidup di desa, fasilitas terbatas. Waktu kasih sabun, kami juga ajarin bagaimana cara cuci tangan,” ujar Partini yang pernah menjadi pekerja migran di luar negeri ini.
Semangat untuk bertahan dan melawan pandemi Covid-19 juga ditunjukkan Kurnati, anggota Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Pemalang, Jawa Tengah. Akhir bulan lalu, dia mulai menjahit masker ketika anaknya yang bekerja di apotek memberi tahu bahwa permintaan masker sangat tinggi, tapi stoknya kosong. Dia pun menjahit masker kain dan menitipkan ke apotek. Untuk satu lusin (12 buah) masker, dia menjual Rp 60.000.
”Sedikit demi sedikit laku dan sekarang sekitar 200 buah terjual. Dalam kondisi ekonomi sulit sekarang ini, kita harus bangkit dan tetap semangat untuk sehat dan bertahan hidup,” kata Kurnati.
DOKUMENTASI/SEKOLAH PEREMPUAN NTB
Paket bantuan untuk perempuan di Lombok
Memikul beban berat
Bagi perempuan yang menjadi orangtua tunggal, bertahan di tengah pandemi Covid-19 memang tidak mudah. Beban berat juga harus ditanggung sejumlah perempuan yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga meski ada suami.
Lailatuz Zuhroh (45), perempuan asal Desa Pangpong, Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, yang memiliki lima anak, mengaku tidak gampang menghadapi situasi saat ini. Sebelum Covid-19, Zuhroh menjadi pengemudi ojek daring di Bangkalan dan Kota Surabaya. Setiap hari, dia bisa mengumpulkan uang Rp 250.000-Rp 300.000. Namun, kini, sepeser pun tidak didapat karena dia tidak bekerja.
Suaminya hanya kuli bangunan yang kadang ada pekerjaan, kadang tidak. Saat pandemi Covid-19 mulai merebak, suaminya hampir dua pekan sama sekali tidak ada pekerjaan. Tabungan pun habis. Untuk bertahan, dia berutang kepada tetangganya dengan jaminan jika pandemi Covid-19 sudah usai nanti, utang-utangnya akan dibayar saat dia kembali ke pekerjaanya sebagai pengemudi ojek daring.
”Saya terpaksa ngutang ke tetangga agar anak-anak tetap makan setiap hari. Kalau saja bisa keluar dan menarik penumpang, saya pasti akan melakukan itu. Ini mimpi buruk. Saya berharap ini segera berakhir. Penghasilan tetap saya adalah tukang ojek. Anak-anak saya mau makan dari mana, kalau tidak ngojek,” ujar Zuhroh seraya menangis.
Pekerjaan sebagai pengemudi ojek daring juga dilakoni Asmawati, warga Kubu Raya, Kalimantan Barat. Semenjak ada Covid-19, pekerjaannya mengantar ibu-ibu yang berbelanja di pasar di Pontianak terhenti. Hampir tiga pekan dia tidak mengojek. Sementara tiga anaknya, baik mahasiswa, SMA, maupun SMP berebutan menggunakan satu-satunya Android yang dimilikinya, hingga akhirnya rusak. ”Semoga wabah Covid-19 ini segera berakhir sehingga saya bisa ngojek lagi, untuk melanjutkan hidup saya dengan anak-anak saya,” papar Asmawati.
Komunitas Pekka adalah bagian dari perempuan-perempuan di Tanah Air yang terdampak pandemi Covid-19, yang kini bertahan dan berjuang melanjutkan hidup mereka.
Menurut pendiri dan Ketua Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Nani Zulminarni, hingga saat ini terdapat sekitar 65.000 anggota Pekka yang tersebar di 20 provinsi dan 87 kabupaten/kota. Survei Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis Komunitas (SPKBK) yang dilakukan Sekretariat Nasional Pekka bersama SMERU, pada 2012 menemukan dalam setiap empat keluarga terdapat satu keluarga yang dikepalai oleh perempuan. Perempuan menjadi kepala keluarga karena berbagai sebab, termasuk suami meninggal dunia, bercerai, ditinggal, tidak atau belum menikah, suami berpoligami, suami merantau, suami sakit permanen, dan suami yang tidak bekerja. Mereka bekerja di berbagai profesi.
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Mashita (28), warga Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jumat (10/4/2020), menjahit pesanan masker. Perempuan desa mendapat berkah pesanan masker pada musim pandemi seperti sekarang ini.
Kapal yang hampir karam
Di tengah situasi pandemi Covid-19, Nani mengibaratkan para Pekka tersebut sebagian besar sedang berada dalam kapal yang hampir karam, tetapi di kapal yang akan tenggelam (kelaparan) itu, jika orang keluar dari kapal, ia akan dimakan hiu (risiko tertular Covid-19) karena tidak ada pengaman yang memadai. ”Sebagian besar mereka dalam kapal kemiskinan dan kesendirian, di tengah keganasan sistem yang tidak berpihak kepada mereka. Keluhan utama Pekka umumnya terkait hilang atau berkurangnya penghasilan. Sebagian besar komunitas Pekka bekerja di sektor informal yang mengandalkan upah harian. Mereka pedagang kecil, buruh tani, pembantu rumah tanggal, jualan makanan, membersihkan kebun, tukang pijit, dan perajin.
”Kebijakan untuk di rumah telah menghilangkan sumber utama penghasilan mereka. Padahal, mereka juga tidak punya kemewahan tabungan dan aset yang bisa dijual, sementara kebutuhan keluarga, khususnya untuk makanan dan komunikasi, meningkat,” ujar Nani.
Kendati demikian, di tengah kondisi yang sangat sulit sekalipun, sejumlah komunitas Pekka tetap bertahan dan bangkit melawan pandemi Covid-19 dengan berbagai cara. Selain membuat masker, menjadi satgas pencegahan, ikut dalam penyemprotan kampung, mereka juga ikut mendata korban serta memberikan pendidikan dan penyuluhan tentang Covid.
Ada juga yang mengembangkan kegiatan pertanian dengan menanam sayur, padi dan bumbu, serta membuat lumbung pangan agar nanti bisa ada bahan pangan sendiri. Mereka membuat kebijakan di koperasinya menunda cicilan pinjaman anggota dan menurunkan, bahkan menghapus jasa. Koperasi Pekka juga berusaha membeli produk anggota agar anggota bisa mendapatkan uang.
Namun, kenyataan di lapangan, kekuatan mereka memang tidak seberapa dibandingkan dengan gelombang persoalan yang semakin besar. Ini mengingatkan semua pihak bahwa bertepatan dengan Hari Kartini 2020 ini, ada puluhan ribu kartini-kartini kepala keluarga tengah berjuang melawan pandemi Covid-19. Maka, selayaknya mereka tidak terlewatkan dari bantuan sosial yang disalurkan pemerintah saat ini!