Dunia Setelah Virus Korona dari Kacamata Yuval Noah Harari
Penulis dan sejarawan Yuval Noah Harari berargumen bahwa pandemi Covid-19 akan berkonsekuensi besar—tidak hanya di bidang kesehatan—tetapi juga ekonomi, politik, hingga seni. Semua bergantung pada pilihan yang diambil.

Burung merpati beterbangan di kawasan wisata Kota Tua, Jakarta Barat, yang sepi karena ditutup, Sabtu (28/3/2020). Penutupan tempat wisata dan tempat hiburan milik Pemprov DKI Jakarta itu diperpanjang selama dua pekan mulai 30 Maret hingga 12 April 2020.
Di hadapan Covid-19, umat manusia sedang bertatap muka dengan sebuah krisis global, yang bisa jadi krisis terbesar generasi saat ini. Penulis dan sejarawan Yuval Noah Harari berkeyakinan, seluruh kebijakan yang diambil oleh setiap orang dan seluruh pemerintahan di dunia dalam waktu dekat akan berimplikasi mengubah dunia yang akan datang.
Yuval berpendapat, saat ini masyarakat dan pemerintah akan dihadapkan pada berbagai pilihan kebijakan darurat untuk menangani Covid-19. Namun, perlu diingat, saat memilih keputusan, Yuval menilai, implikasi yang muncul akibat langkah tersebut juga harus dipertimbangkan.
”Badai pasti berlalu, umat manusia akan tetap bertahan tetapi dunia yang akan kita tinggali akan berbeda,” tulis Yuval dalam esainya di surat kabar bisnis Financial Times yang terbit pada Jumat (20/3/2020).
Umat manusia dihadapkan pada dua pilihan yang penting dalam upaya penanganan pandemi. Pertama, antara pengawasan totaliter dan pemberdayaan warga negara. Kedua, antara nasionalisme yang terisolasi dan solidaritas global.
Di saat krisis seperti ini, banyak kebijakan darurat akan diterima menjadi hal yang normal. Inilah karakteristik kondisi darurat. Kondisi darurat akan mempercepat proses; fast-forward proses sejarah.
Berbagai keputusan yang biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dibahas kini diselesaikan dalam hitungan jam. Berbagai teknologi yang masih eksperimental pun langsung diterapkan.
”Satu negara seakan menjadi kelinci percobaan dalam eksperimen sosial skala besar. Apa yang terjadi kalau semua orang kerja dari rumah? Apa yang terjadi kalau sekolah dan perguruan tinggi beroperasi secara daring?” tulis Yuval.
Baca juga: Kerja di Rumah, Jaga Produktivitas Jadi Tantangan
Di masa normal, pemerintah, industri, dan dunia akademis tidak akan pernah setuju percobaan semacam ini. Namun, sekarang bukanlah saat-saat normal.
Saat ini, umat manusia dihadapkan pada dua pilihan yang penting dalam upaya penanganan pandemi Covid-19. Pertama, antara pengawasan totaliter dan pemberdayaan warga negara. Lalu kedua, nasionalisme yang terisolasi atau solidaritas global.
Surveilans paripurna
Untuk menghentikan penyebaran virus, kini seluruh orang diminta untuk melakukan hal dengan seragam, sesuai dengan panduan. Menurut Yuval, hanya ada dua cara untuk melakukan hal ini. Pertama adalah dengan pemerintah mengawasi seluruh orang dan kemudian menghukum mereka yang melanggar.
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah manusia, teknologi memungkinkan pemerintah untuk mengawasi seluruh orang sepanjang waktu.
”Lima puluh tahun yang lalu, para agen KGB Soviet tidak akan bisa mengawasi seluruh 240 juta jiwa populasi Uni Soviet sekaligus menganalisis seluruh informasi yang didapatkan. Tetapi kini, sensor dan algoritma memungkinkan hal ini,” kata Yuval.
Dalam perang melawan virus korona, sejumlah negara telah menerapkan teknologi canggih. Salah satunya adalah China.
Baca juga: Celah Baru Kontrol Negara di Tengah Wabah Virus Korona
Dengan mengawasi ponsel, melacak orang melalui kamera pintar, dan mewajibkan setiap orang untuk melaporkan suhu tubuh, otoritas China tidak hanya bisa menemukan carrier korona, tetapi juga melacak pergerakannya dan menemukan setiap orang yang sempat bersentuhan.

Staf dari Agensi Teknologi Pemerintah Singapura menunjukkan aplikasi telepon pintar yang bisa melacak riwayat kontak mereka yang terinfeksi virus korona jenis baru. Aplikasi dengan nama TraceTogether diluncurkan 20 Maret lalu.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga baru saja menerapkan sebuah teknologi surveilans—yang biasanya hanya digunakan untuk melacak teroris—untuk melacak pasien positif Covid-19.
Ketika parlemen menolak kebijakan itu, Netanyahu melegalisasi keputusannya itu dengan sebuah ”dekrit darurat”.
Saat ini, yang menjadi permasalahan manusia menghadapi surveilans adalah seberapa dalam manusia ditelanjangi.
Mengintip isi pikiran
Yuval berpendapat, keberadaan pandemi virus korona membuka peluang munculnya ancaman privasi paling besar dari pemerintah, surveilans biometrik tingkat lanjut; misalnya mencatat detak jantung ataupun suhu tubuh.
Melalui mahadata (big data) yang berhasil dipanen dari masyarakat tersebut, pemerintah bisa mengetahui siapa yang sakit dan melacak setiap orang yang sudah berkontak dengan orang tersebut.
Hal ini menjanjikan penanganan penyakit menular yang sempurna. ”Rantai infeksi bisa secara drastis dipotong dan diputus. Sistem semacam itu akan menghentikan penyakit dalam waktu beberapa hari saja. Ajaib, bukan?” kata Yuval.
Ketika masyarkaat diminta untuk memilih antara kesehatan dan privasi, mereka biasanya akan memilih kesehatan.
Namun, artinya, data tersebut juga akan bisa digunakan untuk menganalisis hal lainnya. Dengan detak jantung, suhu tubuh, dan tekanan darah, pemerintah atau perusahaan mana pun bisa mendapatkan informasi dari seluruh hal yang kita lakukan.
”Ketika pemerintah dan perusahaan mulai memanen data kita, mereka bisa memahami diri kita lebih baik dibandingkan kita sendiri. Mereka tidak hanya bisa memprediksi perasaan tetapi juga memanipulasinya. Mereka bisa menjual apa pun ke diri kita—entah barang atau politikus,” kata Yuval.
Bisa saja pemerintah berkata bahwa kebijakan darurat ini akan bersifat sementara, seperti ketika sebuah pandemi melanda.
Namun, menurut Yuval, kebijakan darurat tidak akan langsung hilang sepenuhnya setelah kondisi kembali menjadi normal. Terlebih lagi apabila ancaman serupa mungkin terjadi lagi di masa depan.
Baca juga: Vakum Regulasi Aplikasi Pelacak Covid-19 di Indonesia
Yuval memberi contoh, ketika perang kemerdekaan Israel pada 1948, Pemerintah Israel menggelar sejumlah kebijakan yang disebutnya darurat. Kebijakan ini memungkinkan pemberedelan pers hingga penyitaan tanah.
”Namun kini, meski perang tersebut sudah lama berlalu, Israel belum pernah mencabut status darurat tersebut dan mencabut berbagai kebijakan darurat itu,” kata Yuval.
Jadi, menurut Yuval, sangatlah mungkin ketika kasus virus korona sudah hilang dari muka bumi, pemerintah tetap ingin memegang data biometrik warga negaranya. Bisa saja pemerintah membuat alasan seperti: ketakutan adanya gelombang virus korona kedua, galur (strain) virus ebola baru dan seterusnya.
Ketika masyarakat diminta untuk memilih antara kesehatan dan privasi, mereka biasanya akan memilih kesehatan.
Mendidik masyarakat
Namun sebetulnya, memaksa masyarakat untuk memilih antara privasi dan kesehatan itu adalah akar dari permasalahan saat ini. Karena sebetulnya, Yuval berpendapat, masyarakat bisa mendapatkan kesehatan dan privasi sekaligus tanpa harus mengorbankan salah satu.
Menurut dia, masyarakat dapat melindungi kesehatannya tanpa harus menggunakan metode-metode pengawasan yang totalitarian, tetapi dengan pemberdayaan masyarakat.
Dalam beberapa pekan terakhir, salah satu upaya paling sukses untuk penanganan penyebaran Covid-19 telah ditunjukkan oleh Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura.
Meskipun negara-negara ini juga menggunakan aplikasi pelacak kontak, mereka lebih menitikberatkan pada tes massal yang ekstensif, pelaporan data yang jujur dan terbuka, dan kerja sama dari masyarakat yang baik.
Monitoring yang terpusat dan hukuman yang tegas bukan satu-satunya cara untuk membuat orang mengikuti panduan, menurut Yuval. Ketika masyarakat diberi sebuah fakta ilmiah dan mempercayai otoritas publik yang memberikannya, mereka akan melakukan hal yang benar tanpa harus diawasi terus-menerus oleh pemerintah.
”Masyarakat yang mendapat informasi dengan baik dan memiliki motivasi, biasanya lebih berdaya dan efektif dibandingkan masyarakat bodoh yang diawasi,” tulis Yuval.
Namun, untuk mencapai tingkat ideal semacam itu, kepercayaan menjadi hal yang penting. Masyarakat perlu mempercayai kembali ilmu pengetahuan, otoritas publik, dan media. Hal ini menjadi sulit ketika beberapa waktu terakhir, menurut Yuval, sejumlah politikus yang tidak bertanggung jawab secara terbuka meremehkan ilmu pengetahuan, otoritas publik, dan media.
Kini, sangat mungkin politikus-politikus tersebut tergoda untuk menggunakan otoritarianisme dengan dalih masyarakat tidak bisa mengambil keputusan dengan benar.
Biasanya, kepercayaan yang sudah terkikis bertahun-tahun tidak dapat dibangun kembali dalam semalam. Namun, di saat krisis, pikiran juga mudah berubah; permusuhan dengan keluarga dapat hilang begitu saja ketika suatu keadaan gawat melanda.
Intinya, menurut Yuval, tidaklah terlambat untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat kepada sains, otoritas publik, dan media, daripada harus menciptakan rezim totalitarian di masa krisis ini.

Ia berpendapat, keberadaan teknologi yang ada selama ini bukannya harus dihindari. Namun, teknologi itu harus bisa memberdayakan masyarakat.
”Saya bersedia suhu tubuh dan tekanan darah dimonitor, tetapi data tersebut seharusnya tidak digunakan untuk menciptakan pemerintahan yang all-powerful. Tetapi untuk memberikan saya informasi guna pengambilan keputusan yang lebih bijak sekaligus mengawasi pemerintah,” kata Yuval.
Yuval berargumen, apabila dirinya bisa mengawasi langsung kondisi medisnya sendiri secara nonstop 24 jam sehari, ia tidak hanya bisa menilai apakah dirinya berpeluang menjadi ancaman bagi kesehatan orang lain, tetapi juga memahami kebiasaan yang baik ataupun buruk bagi kesehatan dirinya sendiri.
Apabila berbicara tentang surveilans, pengawasan, ingat bahwa teknologi yang sama seharusnya juga bisa digunakan bagi masyarakat untuk mengawasi pemerintah.
Apabila masyarakat dapat mengakses dan menganalisis data statistik tentang penyebaran virus korona, masyarakat juga bisa menilai apakah pemerintah memberikan pernyataan dengan jujur atau memilih kebijakan yang tepat untuk melawan pandemi ini.
”Apabila berbicara tentang surveilans, pengawasan, ingat bahwa teknologi yang sama seharusnya juga bisa digunakan bagi masyarakat untuk mengawasi pemerintah,” tegas Yuval.
Jadi bisa dibilang, pandemi virus korona adalah semacam tes kewarganegaraan bagi masyarakat. Dalam beberapa hari mendatang, masyarakat harus memilih memercayai data ilmiah dan ahli kesehatan ketimbang teori-teori konspirasi dan politikus yang memikirkan kepentingannya sendiri.
”Kalau kita gagal memilih pilihan yang tepat, bisa jadi kita akan menyerahkan kebebasan kita; berpikir bahwa (surveilans totaliter) adalah satu-satunya cara untuk melindungi kesehatan kita,” kata Yuval.
Rencana global bersama
Pertanyaan kedua yang harus dijawab adalah antara isolasi nasionalis yang cupet dan solidaritas global. Pandemi dan krisis ekonomi yang akan mengikutinya adalah problem global, untuk itu, menurut Yuval, hal ini hanya dapat diselesaikan melalui kerja sama global.
Hal pertama yang paling penting, cara untuk melawan virus ini adalah upaya saling berbagi informasi secara global.
”Virus korona di AS dan China tidak bisa saling memberikan tips bagaimana menginfeksi manusia. Namun, peneliti China dapat memberikan ilmu yang penting bagi peneliti AS bagaimana cara melawan virus,” kata Yuval.
Namun, hal ini hanya dimungkinkan apabila, menurut Yuval, ada semangat saling percaya dan kerjasama global di antara negara-negara di dunia.
Setiap negara harus bersedia untuk membagi informasi secara terbuka sekaligus dengan rendah hati meminta bantuan dan juga bisa memercayai informasi yang diterima.

Presiden AS Donald Trump menandatangani tindakan CARES, paket penyelamatan 2 triliun dollar untuk memberikan bantuan ekonomi di tengah wabah coronavirus di Kantor Oval Gedung Putih pada 27 Maret 2020.
Bahkan, menurut Yuval, dunia membutuhkan kerja sama global untuk memproduksi dan mendistribusikan alat kesehatan; seperti alat tes dan alat bantu pernapasan.
Seluruh negara berusaha memproduksi alat-alat secara lokal dan menimbunnya, sebuah upaya terkoordinasi akan dapat meningkatkan produksi dan bisa memastikan alat kesehatan terdistribusi dengan adil.
”Sebuah negara yang kaya tetapi memiliki kasus virus korona yang sedikit sebaiknya bersedia untuk mengirimkan peralatan kesehatan ke negara yang lebih membutuhkan. Dengan dasar rasa percaya bahwa apabila negaranya membutuhkan bantuan, negara lain akan membantu,” kata Yuval.
Selain itu, menurut Yuval, upaya serupa untuk menggabungkan tenaga medis juga bisa diperlukan. Negara-negara yang belum terdampak serius bisa mengirimkan tenaga medis ke negara lain. Ketika kondisi bergeser, bantuan juga bisa mengalir ke arah sebaliknya.
Sayangnya, kini seakan-akan seluruh negara menjadi lumpuh dan tidak bersedia untuk bekerja sama.
Hal lain yang perlu diwujudkan adalah kesepakatan perjalanan global. Melarang perjalanan antar negara selama berbulan-bulan akan mengganggu ekonomi dan menghambat perang melawan korona.
Untuk itu, negara-negara di dunia perlu bekerja sama untuk memperbolehkan sejumlah perjalanan esensial; seperti peneliti, dokter, jurnalis, politikus, dan usahawan. Hal ini bisa disepakati apabila ada kesepakatan global untuk menapis dan melakukan tes kepada setiap orang yang akan bepergian.
Sayangnya, negara-negara hingga saat ini tidak melakukan hal-hal tersebut. Seakan-akan seluruh negara menjadi lumpuh dan tidak bersedia untuk bekerja sama.
Melihat parahnya pandemi Covid-19 ini, seharusnya berminggu-minggu yang lalu sudah ada pertemuan antara pemimpin dunia untuk mengambil arah kebijakan yang selaras. ”Baru beberapa hari yang lalu para pemimpin G-7 bertemu melalui konferensi video dan pertemuan itu tidak menghasilkan apa pun,” kata Yuval.

Presiden AS Donald Trump mendengarkan selama pengarahan harian tentang virus korona baru di Gedung Putih, 23 Maret 2020, di Washington, DC.
AS absen
Dalam berbagai krisis sebelumnya, seperti krisis finansial 2008 ataupun ebola pada 2014, AS mengambil peran sebagai pemimpin. Namun, pemerintahan AS saat ini telah menelantarkan posisi ini.
Apabila ceruk yang ditinggalkan oleh AS tidak diisi oleh negara lain, kondisi semacam ini akan terus terulang.
Pemerintah AS saat ini lebih peduli dengan ”kejayaan” dan ”kebesaran” Amerika dibandingkan masa depan umat manusia.
Bahkan, AS telah meninggalkan sekutu terdekatnya ketika mengumumkan akan menyetop seluruh penerbangan dari Eropa tanpa ada peringatan pendahuluan atau bahkan konsultasi dengan Uni Eropa.
AS juga sempat menciptakan skandal ketika mereka mencoba untuk membeli hak monopoli terhadap vaksin Covid-19 sebesar 1 miliar dollar AS.
Apabila ceruk yang ditinggalkan oleh AS tidak diisi oleh negara lain, kondisi semacam ini akan terus terulang. Setiap krisis mengandung sebuah kesempatan bagi negara-negara untuk sadar bahwa kerja sama global sangatlah penting untuk kelangsungan umat manusia.
Kini umat manusia harus segera memilih. Apakah kita akan memilih jalan perpecahan atau solidaritas global? Kalau kita memilih perpecahan, krisis akan terus berlanjut dan bahkan mungkin keadaan yang jauh lebih buruk di masa depan.
Namun, kalau kita memilih solidaritas global, ini akan menjadi kemenangan bukan hanya melawan virus korona, tetapi juga seluruh krisis dan pandemi yang akan datang.
Yuval Noah Harari adalah penulis Sapiens, Homo Deus, dan 21 Lessons for the 21st Century.