Kabar bohong atau hoaks mengenai virus korona tipe baru yang mewabah di era digital bisa memperparah epidemi virus tersebut. Warga yang kebingungan karena hoaks bisa bertindak keliru dalam mencegah infeksi virus itu.
Oleh
Ahmad Arif
·6 menit baca
Kompas/Priyombodo
Eli mengangkat barang-barangnya saat kembali ke rumahnya di Kota Tua Penagi, Kecamatan Bunguran Timur, Pulau Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (5/2/2020). Eli bersama warga lainnya di Penagi sempat mengungsi karena tempat tinggal mereka hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari tempat observasi bagi warga negara Indonesia (WNI) yang dievakuasi dari Wuhan, China, terkait merebaknya virus korona tipe baru.
Sebagaimana virus baru korona 2019-nCoV yang telah menginfeksi lebih dari 24.000 orang dan menewaskan hampir 500 orang hingga Rabu (5/2/2020), demikian pula teori konspirasi, hoaks, dan klaim tidak berdasar tentangnya. Inilah bahaya virus di era digital, di mana antara kenyataan dan kebohongan menjadi kian sulit dipisahkan.
Cuitan di Twitter oleh akun @ohhhvini tentang orang Indonesia yang kebal virus korona menjadi viral. Hal itu dimulai dengan informasi tentang belum adanya kasus infeksi virus korona yang dinyatakan positif di Indonesia, dia membangun argumentasinya: kita hidup di negara tropis yang ditumbuhi banyak jamur dan udara kotor sehingga tubuh lebih kebal.
Tak sedikit yang mengamini cuitan ini, sekalipun banyak juga yang mempertanyakan, bahkan menghujat karena menjadikan wabah segenting ini sebagai bahan olok-olokan. Dalam versi lain, seperti disebarkan akun Instagram biomag.id, ”Wabah coronavirus tidak terjadi di Indonesia karena tingginya megabiodiversitas suku bangsa”. Pernyataan yang disebut sebagai pendapat akademisi ini belakangan dicabut setelah mendapat banyak kritik, tetapi informasi itu telanjur menyebar dalam berbagai versi lain.
Mereka yang setuju tentang informasi kekebalan orang Indonesia ini mengedarkan kompilasi cuitan ini di grup-grup media sosial, dan mengimbuhinya dengan tautan berita yang mengutip pernyataan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bahwa orang Indonesia cenderung kebal, buktinya mahasiswa kita di China masih sehat: ”Asal makan cukup, tidak akan terkena virus ini. Enjoy aja”.
Pernyataan Terawan di sejumlah media ini mungkin dimaksudkan untuk menenangkan masyarakat dan mendorong gaya hidup sehat untuk meningkatkan daya imun tubuh. Namun, informasi ini dapat bias sehingga menjadi makanan empuk bagi pelahap hoaks. Jelas tak ada bukti bahwa orang Indonesia kebal.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (kiri-kanan), Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, dan Bupati Natuna Abdul Hamid Rizal tiba di Pangkalan TNI AU Raden Sadjad di Pulau Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (5/2/2020). Kunjungan tersebut dalam rangka melihat dari dekat kondisi warga negara Indonesia dari Wuhan, China, yang diobservasi terkait virus Korona tipe baru.
Warga Indonesia terinfeksi
Berita terbaru mengenai seorang warga negara Indonesia yang terinfeksi virus korona di Singapura seharusnya mematahkan logika tentang orang Indonesia yang kebal. Selain itu, fakta bahwa Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand telah mengonfirmasi ada infeksi virus korona ini menunjukkan virus itu bisa bersirkulasi di daerah tropis.
”Informasi bahwa orang Indonesia kebal virus korona atau bahwa virus ini tidak bisa beredar di kawasan tropis tidak ada dasar ilmiahnya,” kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset dan Teknologi, Amin Soebandrio yang ditemui di Jakarta, Sabtu (1/2/2020).
Kenapa sampai saat ini belum ada yang terkonfirmasi positif terinfeksi virus baru korona atau 2019-nCoV di Indonesia, menurut Amin, ini merupakan persoalan berbeda. ”Belum adanya kasus positif di Indonesia mengundang banyak tanda tanya,” katanya.
Semua negara yang memiliki intensitas kunjungan orang dari China, khususnya Wuhan, yang tinggi telah mengonfirmasi adanya infeksi virus ini. Namun, hingga kini belum ada konfirmasi mengenai adanya kasus infeksi 2019-nCoV di Indonesia.
Padahal, menurut data Business 1ntelligence Service (B1S) m1nd, Indonesia menyumbang 7 persen dari sekitar 1,4 juta penerbangan keluar dari Wuhan antara Desember 2018 dan November 2019, atau urutan keenam terbesar. Lima negara lain yang menjadi tujuan utama perjalanan dari Wuhan yaitu Thailand (33 persen), Jepang (12 persen), Malaysia (10 persen), Singapura (9 persen), dan Hong Kong (8 persen), telah mengonfirmasi ada kasus infeksi korona baru.
Kapasitas laboratorium
Dengan mengutip Amin, The Sydney Morning Herald pada 31 Januari 2020, misalnya, menulis bahwa tidak adanya kasus korona di Indonesia lebih karena ketidakmampuan laboratorium di Indonesia mendiagnosis virus ini.
”Sydney Morning Herald dan The Age dapat mengungkapkan laboratorium medis Indonesia tidak memiliki kit pengujian yang diperlukan untuk cepat mendeteksi coronavirus Wuhan, menurut salah satu ahli biologi molekuler terkemuka di negara itu, dan virus itu mungkin sudah ada di negara itu meski pemerintah mengklaim tidak ada,” tulis media Australia ini.
Amin mengakui, dia diwawancarai melalui telepon, tetapi pernyataannya disalahpahami sehingga menimbulkan tafsir berbeda. ”Saya berbicara dalam kapasitas Lembaga Eijkman, bukan Pemerintah Indonesia. Secara teknis, Eijkman juga sudah memiliki teknologi dan kapasitas mendeteksi virus korona ini. Kami juga sudah pernah melakukannya walaupun untuk korona yang berbeda,” tuturnya.
Sejak awal Januari lalu, Eijkman mendapatkan reagen pan-coronavirus yang bisa mendeteksi ada tidaknya virus korona ini. Jika positif, akan dilakukan pengurutan untuk mencocokkan apakah memang jenis 2019-nCoV. ”Sebelumnya, dengan mekanisme ini, butuh empat-lima hari kerja. Namun, sejak minggu ini, kami sudah mendatangkan reagen baru yang bisa mendeteksi dalam satu hari. Alat ini juga dipakai di negara-negara lain, seperti Singapura,” katanya.
Masalahnya, lembaga Eijkman dalam kasus virus korona ini tidak dilibatkan Kementerian Kesehatan dalam pemeriksaan korona di Indonesia. ”Kami sudah mengajukan surat melalui Kemenristek bahwa Eijkman siap membantu karena ini persoalan bangsa. Namun, sampai kini belum dilibatkan,” kata Amin.
Berulangkali, Terawan dan pihak Kemenkes menyatakan, sejauh ini tak ada kasus positif. Namun, bagaimana proses pemeriksaannya dan pemutakhiran status orang yang terduga terinfeksi tidak dibuka. Padahal, dengan reagen terbaru, seharusnya prosesnya bisa selesai dalam sehari. Hal itu memicu tanda tanya, dan dalam dunia digital seperti saat ini yang menuntut transparansi hal ini bisa menggerogoti kepercayaan terhadap otoritas.
Selama krisis, jika lembaga dan organisasi merespons tidak aktif menyampaikan informasi, publik akan mencari sumber informasi lain yang kerap tidak kompeten, termasuk melalui media sosial. Pada saat inilah hoaks bisa menyebar luas, dan mengalahkan fakta. Derasnya informasi hoaks yang beredar saat ini menandakan publik belum terpuaskan dengan informasi dari pihak berwenang.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengidentifikasi 54 hoaks terkait virus korona beredar di media sosial di Indonesia dalam kurun 23 Januari hingga 3 Februari 2020. Bahkan, dua orang telah ditangkap polisi di Balikpapan karena dituding menyebarkan informasi hoaks tentang telah adanya warga lokal yang terinfeksi korona.
Hoaks dan penyelewengan informasi terkait virus korona ini tak hanya terjadi di Indonesia dan memicu berbagai masalah sosial. Contohnya, seperti diwartakan BBC, informasi keliru mengenai korona menyebabkan banyak restoran menolak pengunjung yang dianggap berasal dari China. Bahkan, isu rasisme terhadap siswa-siswa keturunan Asia Timur terjadi di sekolah musik di Roma.
Platform media sosial yang menjadi lalu lintas penyebaran hoaks utama, seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan Tiktok, berusaha mempromosikan konten yang faktual dan menghilangkan informasi yang salah. Bahkan, Twitter melangkah lebih jauh dengan memasang label peringatan yang menghubungkan ke Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) Amerika Serikat ketika pengguna mencari coronavirus.
Namun, upaya oleh platform media sosial ini belum berhasil menghentikan penyebaran hoaks yang menyesatkan atau palsu. Misalnya, hoaks bahwa Pemerintah AS menciptakan dan mematenkan vaksin untuk virus korona tahun lalu telah dibagikan kepada hampir 5.000 pengguna Facebook. Demikian halnya hoaks bahwa orang Indonesia kebal virus korona telah dicuit ulang oleh 35.000 orang dan disukai 71.000 orang.
Hoaks dan informasi menyesatkan memperburuk epidemi korona kali ini. Warga yang bingung justru bisa bertindak keliru dengan memakan banyak bawang putih yang dianggap bisa mencegah infeksi dibandingkan rutin mencuci tangan dengan sabun. Informasi yang salah juga cenderung mengintensifkan xenophobia dan melakukan tindakan tidak masuk akal, termasuk rasisme.