Oknum karyawan memiliki jaringan kuat ke Dewan Pengawas TVRI bahkan anggota DPR. Aduan mereka dinilai memberikan andil terhadap sejumlah kisruh yang terjadi di tubuh TVRI.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam setiap kisruh di tubuh Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia, selalu ada oknum karyawan yang terlibat. Ini termasuk dalam kisruh terbaru. Oknum karyawan tersebut menyebutkan adanya keterlambatan pemberian honor padahal hal itu telah tuntas dibayarkan pada 2019.
Kisruh TVRI terbaru bermula dari keputusan Dewan Pengawas (Dewas) TVRI yang memberhentikan Direktur Utama TVRI Helmy Yahya pada 17 Januari 2020. Pemberhentian dikeluarkan Dewas dengan dalih adanya persoalan keuangan dan kinerja manajemen TVRI selama dipimpin Helmy. Namun, hal ini memantik kekecewaan karyawan yang kemudian menyegel ruang kerja Dewas. Meski demikian, ada beberapa karyawan yang tetap mendukung langkah dari Dewas tersebut.
”Karyawan yang mendukung pencopotan Dirut juga ada, tetapi jumlahnya tidak lebih dari 20 orang. Mereka juga orang yang selama ini menggembar-gemborkan kekacauan TVRI selama ini,” kata karyawan TVRI, Imam Priyono, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (19/1/2020).
Karyawan yang dimaksud Imam adalah oknum karyawan yang kerap mewakili suara seluruh karyawan sejak 2007. Sejak saat itu pula, pemecatan direksi kerap terjadi. Salah satu langkah mereka yang saat ini menjadi perbincangan adalah terkait keterlambatan pemberian honor operasional selama beberapa bulan.
Imam membenarkan bahwa keterlambatan honor tersebut sempat terjadi lantaran TVRI sedang melakukan migrasi sistem keuangan. Namun, hal tersebut tidak patut dibesar-besarkan karena seluruhnya terbayar tuntas pada 2019.
”Semua yang digembar-gemborkan tidak sepenuhnya benar, pergantian sistem keuangan memang membutuhkan waktu,” ujarnya.
Celakanya, oknum-oknum tersebut, menurut Imam, memiliki jaringan langsung kepada Dewas bahkan anggota DPR. Aduan mereka dinilai memberikan andil terhadap sejumlah kasus yang tidak jarang berujung pada pemecatan.
Imam sendiri mengaku, ini adalah kali pertama ia angkat bicara setelah 12 tahun menjadi bagian dari keluarga besar TVRI. Hal ini ia lakukan lantaran sudah sangat terusik dengan ulah para oknum karyawan tersebut. Bahkan, mereka diuntungkan dapat bekerja sesuka hati dan kebal terhadap kebijakan.
Pada 10 Januari lalu, misalnya, mereka sempat merancang pemogokan karyawan dan siaran. Alhasil, pada hari itu siaran di TVRI sempat bolong beberapa detik. ”Kami menutupnya dengan menayangkan siaran olahraga,” tambahnya.
Kepada Dewas, Imam berharap agar mereka bisa lebih bijak menggunakan kewenangannya. Ia khawatir nilai-nilai perubahan, kreativitas, integritas, dan kebanggaan sebagai insan TVRI akan tercerabut. Dampak ikutannya, kepercayaan masyarakat juga dapat memudar.
”Aksi pemecatan setidaknya berlangsung sejak 2007. Hal ini kerap membuat kinerja kami terganggu setelahnya,” ujarnya.
Menurut Imam, kepemimpinan Helmy bersama lima direksi lainnya selama ini telah memberikan pengaruh yang positif. Pengelolaan TVRI yang lebih profesional membuat karyawan bersemangat membuat konten-konten bagus. Mereka juga memiliki visi untuk membesarkan kembali nama TVRI.
Selain Helmy Yahya, kelima direksi yang dimaksud adalah Tumpak Pasaribu (Direktur Umum), Isnan Rahmanto (Direktur Keuangan), Apni Jaya Putra (Direktur Program dan Berita), Supriyono (Direktur Teknik), dan Rini Padmirehatta (Direktur Pengembangan dan Usaha). Di mata karyawan, kinerja mereka membawa gairah baru.
”Terkait konten, misalnya, kami membahas secara detail bagaimana tayangan Liga Inggris bisa memberi pengaruh ke tayangan selanjutnya. Dari sisi integritas, keenamnya mau menanggalkan jabatan yang lebih mentereng demi TVRI,” ujarnya.
Dipanggil DPR
Sementara itu, Komisi I DPR akan memanggil Dewas TVRI pada Selasa (21/1/2020). Anggota Komisi I DPR, Willy Aditya, mengatakan, pemanggilan tersebut bertujuan untuk mendengar penjelasan dari Dewas mengenai alasan pemecatan Helmy Yahya. Sebab, selain adanya penolakan dari karyawan, salah satu anggota Dewas juga keberatan dengan pemecatan tersebut.
”Anggota yang bernama Supra Wimbarti tidak sepakat karena memandang Helmy masih bisa diberi kesempatan untuk menjelaskan pembelaannya,” katanya.
Komisi I DPR merasa perlu mendengar penjelasan tersebut meski pemecatan seorang Dirut merupakan kewenangan Dewas. Ia tetap mengajak semua pihak untuk menghormati keputusan yang diambil.
Willy menduga ada ketidakharmonisan yang terjadi di tubuh TVRI yang berpotensi membuat lembaga penyiaran milik negara ini tidak sanggup menjalankan fungsinya dengan baik. Komisi I DPR juga akan memastikan bahwa hal itu tidak akan terjadi.
”Komisi I berkepentingan untuk memastikan bahwa reformasi atau perbaikan di tubuh TVRI tetap berjalan setelah langkah pemecatan tersebut,” katanya.