Angkie Yudistia (32) menyambut tahun 2020 dengan membangun optimisme bagi masa depan kaum difabel. Pekerjaan itu dinilai oleh Staf Khusus Presiden tersebut telah sangat mendesak.
Oleh
INSAN AL FAJRI
·3 menit baca
Angkie Yudistia (32) membuka awal 2020 dengan tetap mengawal isu disabilitas dari ring satu Istana. Perempuan yang dalam beberapa tahun terakhir aktif menjembatani difabel ke dunia kerja ini menilai masih banyak pekerjaan rumah terkait disabilitas.
”Harus diakui, belum banyak yang bisa menangani isu disabilitas ini di ring satu. Dan negara memanggil. Aku senang sekali karena Presiden memberiku tugas yang sesuai dengan passion,” kata penyandang tungarungu yang kini menjadi staf khusus Presiden ini ketika ditemui di kantornya, Thisable Enterprise, Jakarta, Senin (23/12/2019).
Thisable Enterprise merupakan perusahaan berorientasi sosial dan bisnis yang memfasilitasi difabel ke dunia kerja. Didirikan tahun 2011, lembaga ini sudah melatih 15.000 difabel dan mengirim 500 difabel profesional ke berbagai perusahaan.
Salah satu hambatan terbesar difabel, menurut dia, adalah dari dalam diri (mental block). ”Kesiapan mereka menerima diri sendiri, tidak fokus akan keterbatasan tetapi memaksimalkan kelebihan, sehingga bisa menjalani hidup sesuai kemampuan bukan keterbatasannya,” katanya.
Di Thisable Enterprise, difabel bisa memilih dua jalur berdasarkan keahlian: jalur nonformal dan profesional. Sementara difabel yang memilih jalur profesional akan ditempatkan di perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara.
Kriteria difabel yang diterima di tempat itu minimal memiliki ijazah setara SMA. Ditambah lagi, mereka harus mandiri, sudah memiliki dasar keterampilan, dan sudah menentukan akan berkarier di bidang apa.
Angkie ingin membuktikan bahwa keterbatasan tak menjadi penghalang untuk terus berkarya. Ia tak menepis bahwa tantangan berat kerap menghadang. “Siapa sih yang mau disabilitas? Tidak banyak yang memahami betul kondisi diri sehingga bingung menjalani hidup secara mandiri,” katanya.
Lulusan London School of Public Relations, Jakarta, ini butuh sepuluh tahun untuk menerima keadaannya yang tuli. Angkie sebetulnya terlahir dalam keadaan normal dari pasangan Hadi Sanyoto dan Indiarty Kaharman. Saat berusia 10 tahun, pendengaran Angkie secara perlahan berkurang. Dia tak merespons saat dipanggil dan kesulitan mendengar penjelasan guru di sekolah.
“Dari yang biasa mendengar, terus tiba-tiba sunyi. Diajakin ngomong nggak nyambung,” katanya, sambil tertawa.
Di usia 16 tahun, ia memutuskan untuk menggunakan alat bantu dengar. Proses awalnya tak mudah karena alat bantu itu hanya memicu volume suara mengeras tetapi minim artikulasi. “Aduh! Hidup gue, kok gini banget,” kenangnya akan masa-masa itu.
Untuk memaksimalkan alat bantu itu, ia harus terus membaca apa pun agar artikulasi dari setiap kata nyangkut di kepala. Dia juga belajar membaca gerak bibir lawan bicara agar bisa memahami topik pembicaraan. Berbagai upaya lainnya ia lakukan. Kisah perjuangannya ia tuangkan dalam buku “Perempuan Tunarungu Menembus Batas (2011).”
Finalis abang None Jakarta 2008 ini meyakini difabel berhak hidup laik sebagaimana manusia biasa. Difabel berhak bahagia dan menopang kebutuhan hidupnya secara mandiri.
”Aku menepis anggapan yang menyatakan difabel tidak bisa apa-apa. Aku memilih untuk mengikuti arus kompetisi yang ada,” kata Lulusan London School of Public Relations, Jakarta, ini.
Ia kini getol mempelajari ihwal Komisi Nasional Disabilitas. Pemerintah berencana menerbitkan Peraturan Presiden terkait komisi ini. ”Aku sedang mengharmonisasi antarkementerian dan masyarakat disabilitas serta inner circle-nya,” katanya.