Ratusan orang, didominasi remaja, dari berbagai negara, berunjuk rasa di depan ruang sidang Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Perubahan Iklim Ke-25 di Madrid, Spanyol. Mereka memprotes lambatnya negosiasi iklim.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Ratusan orang, didominasi remaja, sebagian memakai pakaian tradisional berbagai negara, berunjuk rasa di depan ruang sidang pleno Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC-COP) Ke-25 di Madrid, Spanyol, Rabu (11/12). Berulangkali mereka berteriak "keadilan iklim sekarang!" dan "memalukan...memalukan....memalukan!," sebelum digelandang keluar kompleks pertemuan oleh aparat keamanan.
Kartu akses para pengunjuk rasa sebagai "pengamat" pun dicabut dan terancam tak bisa lagi mengikuti sidang. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, pada Kamis (11/12) pagi, akhirnya menyatakan memberikan kembali akses masuk kepada para pengunjuk rasa.
Mohammad Reza Sahib, Koordinator nasional Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) dan empat aktivis Indonesia lain yang tergabung dalam jaringan global Demand Climate Justice (DCJ) turut digelandang keluar. "Kekhawatiran banyak orang tentang pemanasan global berada pada titik nadir, di mana keselamatan ratusan juta penghuni Bumi dipertaruhkan tak tercermin dalam proses negosiasi. Tapi, kami dipaksa keluar karena protes damai atas lambatnya penanganan krisis iklim," kata Reza.
Kekhawatiran banyak orang tentang pemanasan global berada pada titik nadir, di mana keselamatan ratusan juta penghuni Bumi dipertaruhkan tak tercermin dalam proses negosiasi.
Sekalipun hanya berlangsung sekitar dua menit, aksi gabungan yang digalang DJC, Climate Action Network (CAN), dan Fridays for Future, serta sejumlah lembaga lain mewakili kekecewaan jutaan orang, terutama anak-anak muda dan pelajar, yang sepanjang tahun 2019 menggelar protes di berbagai negara.
Pengusiran pemrotes ini sekaligus menandai pembelahan yang melebar antara publik dan para negosiator yang mewakili kepentingan ekonomi politik negara masing-masing. "Selama 25 tahun mengikuti COP (Konferensi Para Pihak), saya belum pernah melihat kesenjangan yang selebar ini antara ekspektasi publik dengan yang terjadi," kata Jennifer Morgan, Direktur Eksekutif Greenpeace, saat diminta bicara didepan perwakilan pemimpin tinggi negara dalam pleno.
Greta Thunberg (16), yang menginspirasi gerakan pelajar Fridays for Future, mendapat giliran berikutnya. Remaja dari Swedia ini mengingatkan para pemimpin negara tentang fakta-fakta sains tak terbantahkan bahwa laju perubahan iklim sudah tahap membahayakan dan butuh tindakan segera.
Thunberg, yang dianugerahi orang majalah Time sebagai "Person of the Year for 2019" terlihat memendam kemarahan. Dengan suara keras, dia menyampaikan kekecewan terhadap negara-negara kaya yang melakukan berbagai dalih untuk menghindari pemotongan emisi gas rumah kaca. "Itu ada tindakan menyesatkan," kata dia, diikuti gemuruh suara peserta sidang.
Thunberg memang dikenal karena sifatnya yang keras dan selalu bersuara lantang mendesak tindakan segera untuk mengatasi krisis iklim. Remaja yang menolak naik pesawat dan makan daging demi mengurangi emisi karbon ini, mulai dikenal sejak Agustus 2018 ketika, pada usia 15 tahun, menghabiskan hari-hari berunjukrasa di luar parlemen Swedia. Seorang diri dia menyerukan tindakan yang lebih kuat pada pemanasan global dengan mengangkat poster bertuliskan: "mogok sekolah untuk iklim."
Keteguhan Thunberg telah menginspirasi protes serupa di kalangan pelajar di berbagai negara. Mereka mengorganisir gerakan mogok sekolah demi iklim dengan nama Fridays for Future, yang melibatkan jutaan pelajar, seperti dilakukan di Madrid pada Jumat (6/12) sore, di awal Konferensi Perubahan Iklim.
Namun, sikap Thunberg ini juga memicu kemarahan banyak pemimpin dunia. Presiden Brazail Jair Bolsonaro misalnya, menyebut Thumberg sebagai "pirralha", bahasa Portugis untuk menyebut anak kecil bandel, setelah remaja ini mengritik pembunuhan masyarakat di hutan Amazon. Sementara Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyindir dan nyinyir terhadap Thumberg di twitter, sebagai "anak yang bahagia dengan masa depan cerah."
Kesenjangan Melebar
Seperti disampaikan Thunberg, secara saintifik, perubahan iklim memang sudah mengarah pada kondisi darurat. “Pemanasan global terus berlanjut, seiring dengan penambahan emisi. Suhu atmosfer global rata-rata telah meningkat sekitar 1,1 derajat celsius dan suhu lautan naik setengah derajat celsius sejak sejak era pra-industri (1850)," kata Sekrearis Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia Petteri Taalas, di ruang sidang sehari sebelumnya.
Dia memperingatkan, dampak dari kenaikan suhu atmosfer dan lautan ini bisa sangat besar terhadap kondisi fisik iklim, mulai dari meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana, hingga merosotnya ketersediaan pangan. Berbagai fakta ilmiah tentang situasi terkini juga telah disampaikan berbagai panel ilmuwan, termasuk oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang digawangi para saintis dari berbagai belahan dunia, di bawah mandat PBB.
Menjelang konferensi, mereka telah menyusun sintesis ilmiah,"Bersatu dalam Sains". Dokumen ini menampilkan data penting terbaru dan temuan ilmiah bahwa kondisi saat ini udah pada tahap darurat iklim.
Konsensus ilmuwan ini telah merekomendasikan agar semua negara memenuhi komitmen nasional masing-masing untuk menurunkan emisi, sesuai Perjanjian Paris 2015. Bahkan, ilmuwan menyerukan agar kita menaikkan target penurunan emisi, karena target sebelumnya tidak memadai untuk menekan laju pemanasan global di bawah 1,5 - 2 derajat celsius. Dengan tren saat ini, suhu bisa meningkat hingga 3 - 4 derajat celsius di akhir abad ini sehingga dampaknya bagi kehidupan akan sangat besar.
Thumberg, di akhir pidatonya menanyakan kepada pada peserta sidang menggugat,"Katakan pada kami, bagaimana mungkin kalian menyikapi angka-angka ini tanpa rasa cemas?"
Kegelisahan Thumberg yang mewakili jutaan anak muda itu seperti menemui tembok. Sekalipun muncul sejumlah kesepakatan, namun setelah sepuluh hari perundingan, belum ada tanda-tanda kemajuan signifikan untuk sejumlah persoalan genting.
Perundingan berbasis konsensus ini terhadang pada pertikaian bermuatan politis atas arsitektur pasar karbon, jadwal untuk peninjauan janji pemotongan karbon, dan ketidakjelasan dana untuk membantu negara-negara miskin yang sudah terhuyung-huyung akibat dampak iklim.
Tanpa adanya solusi untuk masalah-masalah ini, menurut Sekjen PBB Antonio Guterres, perubahan iklim akan memicu survival of the fittest dan bencana peradaban. "Upaya mengatasi perubahan iklim harus sejalan dengan keadilan sesuai target SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan), tak boleh meninggalkan satu orang pun," katanya.
Namun, dengan hanya satu hari tersisa sebelum perundingan berakhir, harapan itu semakin kabur. Anak-anak muda itu mulai menyiapkan diri untuk kembali turun ke jalan lagi di Madrid dan berbagai kota-kota lain di dunia pada Jumat (13/12), untuk menuntut hak mereka atas masa depan Bumi yang lebih baik.