Dilema Bekerja, Ketimpangan Jender, dan Hal-hal yang Belum Selesai
Perempuan mengisi setengah populasi dunia saat ini. Namun, peran mereka untuk bermanfaat bagi masyarakat luas melalui dunia kerja masih terhadang fenomena ketimpangan jender. Haruskah menunggu 202 tahun lagi?
Setiap hari Laras Pulih Piniji dan suaminya, Said Irfan, serta kedua anak mereka, berbagi tugas domestik di rumah. Anak-anak menyiapkan sarapan sendiri-sendiri, lalu berangkat sekolah dengan transportasi umum dan berjalan kaki.
Laras dan Irfan lantas berangkat ke tempat mereka bekerja masing-masing. Mereka berdua pun tak perlu repot-repot menyiapkan bekal makan siang anak-anak sebab ada makan siang sehat yang gratis di sekolah, yang juga gratis. O iya, ini di Stockholm, Swedia.
Laras dan Irfan, pasangan suami istri Indonesia ini, tinggal di Stockholm sejak 2012. Sebelumnya, selama enam tahun mereka tinggal di Dubai, Uni Emirat Arab. Ketika Irfan mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan telekomunikasi di Swedia, keluarganya pun pindah ke Stockholm.
Sejak tinggal di Stockholm, dengan sistem kesejahteraan yang mendukung, Laras pun bisa lebih mengaktualisasikan dirinya. Ia kemudian mengambil master di Stockholm University, dan sejak 2015 bekerja mengelola konten komunikasi digital di lembaga The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (IVA).
Menurut Laras, di Dubai sulit sekali untuk bekerja kalau tinggal di sana sebagai pasangan dari suami yang bekerja. Mengurus visanya rumit. Kalau di Swedia, visa (tinggal) sudah otomatis dengan izin kerjanya. Selain itu, di Dubai daycare (penitipan anak) cukup mahal.
”Di sini (Swedia), kalau orang memilih jadi stay at home parent suka dipandang sebelah mata. Norma sosialnya di sini semua harus kerja dan kontribusi ke negara lewat pajak. Pajak itu kayak agama. Kalau orang enggak bayar pajak atau curi-curi pajak, itu kayak dosa besar banget,” tutur Laras, yang juga lulusan Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.
Laras bercerita, orangtua bekerja di Swedia bisa menikmati 480 hari cuti keluarga—berbagi antara ibu dan ayah—untuk setiap anak. Cuti tersebut bisa diambil sampai sang anak berusia 12 tahun.
Ini secara tak langsung mencerminkan pemahaman pemerintah bahwa pengasuhan anak adalah tugas ayah dan ibu secara setara, bukan lebih dibebankan kepada ibu saja seperti yang selama ini umum dipahami masyarakat, baik di kultur Barat maupun di Timur. Kedua orangtua pun bisa menikmati masa cuti dengan tetap mendapatkan penghasilan (paid leave) hingga 80 persen.
Umumnya, menurut Laras, para orangtua mengambil porsi cuti (bergantian ibu dan ayah) ketika anak baru lahir hingga usia 18 bulan. Setelah usia itu, anak bisa mulai dititipkan di daycare selagi kedua orangtuanya bekerja.
Biaya daycare di Swedia pun amat terjangkau, yang besarnya progresif sesuai dengan gaji orangtua, maksimal 1.300 kronor atau sekitar Rp 2 juta saja, yang sudah termasuk makan pagi, kudapan, dan makan siang. Biaya yang rendah itu disebabkan pemerintah menyubsidi daycare melalui pajak yang dikelola dengan amanah.
”Anak-anakku sudah pulang sekitar pukul 15.00-16.00. Kalau ada les renang atau ngaji, mereka berangkat sendiri pakai bus. Kami (orangtua) sampai rumah biasanya pukul 18.00. Aku biasanya langsung siap-siap masak dinner. Pembagian tugasnya, aku masak, suami cuci piring. Aku beresin indoor, dia outdoor (taman). Pokoknya team work karena enggak ada yang bantuin dan jauh dari keluarga,” imbuh Laras.
Lazimnya sebagai welfare states, masyarakat Skandinavia memang dikenal menikmati sistem kesejahteraan sosial yang unggul, yang bahkan bisa dinikmati penduduk perantauan seperti Laras dan keluarganya. Sistem tersebut memungkinkan orangtua bisa bekerja meniti karier tanpa harus mengorbankan pengasuhan anak.
Tak hanya bagi orangtua bekerja, orangtua yang menempuh pendidikan tinggi pun amat didukung negara dengan adanya sistem kesejahteraan sosial tersebut. Setiap warga negara, entah laki-laki atau perempuan, didorong untuk berkontribusi bagi negara dan masyarakat dengan sama-sama bekerja, baik si suami maupun si istri.
Kebingungan soal mengurus anak selagi kedua orangtua bekerja tak perlu jadi alasan karena tangan negara terasa hadir di setiap keluarga. Tak heran, kebijakan demikian meniscayakan negeri-negeri Skandinavia kerap bertengger di deretan atas tertinggi dalam indeks pembangunan manusia.
Di negara Skandinavia seperti Swedia, seperti diceritakan Laras, negara sudi melayani kebutuhan keluarga hingga ke persoalan tetek bengek kepengurusan anak. Dengan begitu, masalah klasik, terutama bagi perempuan berkeluarga yang melulu harus dihadapkan pada opsi memilih keluarga atau karier, tak perlu lagi terdengar pelik.
Apalagi, sampai harus menjadi pertempuran ”moral” ala warga net di Indonesia, yang doyan membenturkan mana yang lebih luhur, ibu bekerja atau ibu rumah tangga. Pertempuran macam itu mungkin dianggap isu purba bagi masyarakat nordik.
Gambaran ideal dalam masyarakat Skandinavia tersebut sempat disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani saat berbicara dengan tema ”Women in Leadership” dalam jamuan malam terbatas yang digelar Monash Herb Feith Indonesian Engangement Centre di galeri Kunstkring Paleis, Jakarta, Senin (18/11/2019). Lembaga tersebut dipimpin Ariel Heryanto, profesor kajian Indonesia di Universitas Monash, Melbourne, Australia.
Monash Herb Feith Indonesia Engagement Centre merupakan lembaga yang berikhtiar merawat relasi dan dialog antara Indonesia dan Australia secara cair, baik dalam lingkup akademik, pemerintahan, komunitas, industri, maupun organisasi-organisasi nonpemerintah.
Lembaga tersebut diharapkan dapat menghimpun para akademisi di kedua negara, juga kalangan pemikir dan pemimpinnya, untuk menyokong pemahaman lintas budaya dalam meretas berbagai masalah sosial.
Lembaga ini didirikan sekaligus untuk meneruskan warisan Herbert Feith atau Herb Feith, seorang akademisi Australia yang juga dikenal sebagai indonesianis.
Sri Mulyani mengungkapkan, salah satu yang menjadi kepeduliannya adalah kecenderungan perempuan yang memutuskan berhenti bekerja justru di rentang usia produktif, yakni usia 30-an dan 40-an. Salah satu penyebab yang paling utama adalah masalah pengasuhan anak yang lebih dibebankan kepada perempuan.
Sepandai apa pun si perempuan, sekompeten apa pun si perempuan dalam pekerjaan, ketika dia berkeluarga, seolah-olah pada akhirnya harus menyerah dan mengorbankan kariernya karena beban ”tugas” mengurus keluarga.
Tuntutan terhadap perempuan itu tentunya dipengaruhi tak hanya faktor sosial dan budaya dalam masyarakat, tetapi juga masih minimnya infrastruktur kebijakan negara yang mendukung ekosistem ibu bekerja.
Secara sosial dan kultural, ibu yang meniti karier pun cenderung mudah dihakimi sebagai ibu yang egoistis. Padahal, semakin besar peran perempuan di masyarakat (dengan bekerja) akan kian besar pula manfaat yang dirasakan masyarakat itu sendiri. Seperti yang diceritakan Laras di atas soal bagaimana negara (Swedia) mendorong agar seluruh rakyatnya, tanpa pandang jender, bekerja agar bisa memberikan manfaat kepada sesama dan lingkungan.
Dalam masyarakat yang lebih maju, kata Sri Mulyani, seperti nordic society pemerintahnya menyediakan child care system bersubsidi karena biayanya mahal jika dibebankan kepada rakyat sepenuhnya. Hal itu tentunya memberikan kedamaian pikiran bagi orangtua bekerja, khususnya perempuan.
”Jadi, child care, kualitas dan keterjangkauan, menjadi penting. Laktasi juga penting. Ini yang kami usahakan di kementerian, setiap kantor (Kemenkeu) punya ruang laktasi dan sebisa mungkin juga punya child care. Itu dengan harapan bisa mengurangi tingkat drop out ibu bekerja, pada level kritis, yakni rentang usia 30-an dan 40-an,” papar Sri Mulyani.
Cuti ayah
Kesadaran akan pentingnya peran perempuan bekerja bagi masyarakat berarti juga kesadaran untuk memperkenalkan cara pandang bahwa mengurus anak adalah juga bagian dari tugas ayah. Tidak harus lebih dibebankan kepada pihak ibu.
Oleh karena itu, menurut Sri Mulyani, di Kemenkeu pun kini diberlakukan cuti-berbayar tambahan bagi pegawai laki-laki di Kemenkeu ketika istri melahirkan. Jika sebelumnya hanya tiga hari, kini menjadi 10 hari cuti.
Mengutip laporan Bank Dunia 2018, secara global, cuti melahirkan berbayar untuk pihak ibu di sejumlah negara dunia rata-rata hanya 14 minggu atau 98 hari atau sekitar tiga bulan. Gambaran rata-rata tersebut juga berlaku di Indonesia, yakni 90 hari. Sementara cuti melahirkan untuk pihak ayah rata-rata secara global hanya lima hari.
Uniknya, Amerika Serikat (AS) merupakan satu-satunya negara maju di dunia yang tidak memberlakukan kebijakan cuti-keluarga berbayar (paid family leave). Seperti dalam laporan Bank Dunia tersebut, penambahan hari cuti-berbayar untuk ayah ketika istri melahirkan kian menjadi kelaziman yang berlaku di sejumlah negara.
Apa relevansinya penambahan hari cuti-berbayar bagi ayah ketika istri melahirkan? Mungkin sebagian orang masih menganggap cuti ayah tidak penting.
Coba simak pengalaman Ahmad Ashari, pegawai di Kementerian Keuangan. Bulan Oktober lalu, sang istri, Rizki, melahirkan putri mereka, Zahwa. Berhubung di Kemenkeu saat ini pegawai laki-laki boleh mendapat cuti 10 hari jika istri melahirkan, Ashari pun mengajukan cuti tersebut kepada atasannya.
”Atasan saya perempuan, walaupun belum berkeluarga, beliau sangat pengertian. Saya ambil (cuti ayah) sembilan hari kerja, dan total akhirnya bisa dapat libur sampai dua minggu. Meski begitu, saya menawarkan diri untuk standby jika ada apa-apa terkait pekerjaan. Jadi saya selalu bawa laptop waktu jaga istri akan melahirkan,” tutur Ashari.
Ashari bercerita, setelah istrinya melahirkan, ternyata ada kondisi kesehatan yang membuat bayinya harus tetap berada dalam perawatan di rumah sakit. Mengingat sang bayi masih tergantung air susu ibu, Ashari dan istri dihadapkan pada dua pilihan: istri ikut rawat inap atau Ashari harus setiap tiga jam sekali mengantar ASI perah ke rumah sakit untuk bayinya.
”Kalau istri harus rawat inap, ada biaya ekstra yang tidak ditanggung kantor. Untuk biaya melahirkan waktu itu ditanggung kantor istri saya. Akhirnya, kami memilih pilihan kedua, saya bolak-balik antar ASI ke rumah sakit yang jaraknya 7 kilometer dari rumah,” ujar Ashari.
Selama hampir sepekan itulah setiap hari Ashari sibuk mengantarkan ASI perah untuk bayinya. Pada hari ketujuh setelah lahir, sang bayi yang sudah membaik kondisinya baru diperbolehkan dokter untuk pulang. Sisa cuti Ashari pun masih sempat dipakai untuk membantu istrinya yang masih dalam masa pemulihan pascaoperasi caecar.
”Saya sungguh-sungguh bersyukur dengan adanya cuti tambahan menjadi 10 hari itu. Tanpa itu, tidak terbayang bingungnya seperti apa ketika ternyata bayi masih harus rawat inap di rumah sakit,” kata Ashari.
Ashari mengingat perbedaan yang dialaminya ketika anak sulungnya lahir tahun 2016. Ketika itu, kebijakan cuti 10 hari bagi ayah belum ada sehingga ia hanya bisa cuti tiga hari kerja.
Istrinya waktu itu pun harus melahirkan secara operasi. Untuk meretas masalah, mereka akhirnya terpaksa meminta orangtua di kampung untuk datang ke Jakarta. Cara semacam inilah yang lazim ditempuh oleh pasangan suami-istri di Indonesia.
”Jadi terpaksa merepotkan orangtua. Hanya saja, mereka sekarang, kan, sudah makin sepuh, tenaganya terbatas, kasihan. Belum lagi kalau ada keperluan apa-apa yang harus dibeli mendadak, orangtua, kan, bingung, enggak paham bagaimana medan di Jakarta. Saya dan semua pegawai di kantor bersyukur Bu Sri Mulyani mulai menerapkan soal work life balance di kantor. Kalau pegawai hatinya tenang, bekerja juga bisa tenang dan lancar,” kata Ashari.
Tren putus kerja
Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani menuturkan, sebanyak 70 persen pegawai staf di Kemenkeu adalah laki-laki. Ketika dipetakan dalam rentang usia, akan diperoleh gambaran, rasio pegawai laki-laki dan perempuan di rentang usia 20-an tahun masih 50:50.
Namun, semakin tua usia, rasio itu bergeser menjadi 55:45. Kemudian, jika ditelisik secara jenjang karier, jumlah perempuan di eselon I atau II hanya 10-17 persen.
Menurut Sri Mulyani, itu artinya ada kecenderungan perempuan putus kerja dalam perjalanan kariernya. Sri Mulyani meyakini tren itu tidak berhubungan dengan kemampuan dan kompetensi perempuan.
”Kalau kita bicara GPA (grade point average), saya berani bertaruh, di universitas seperti Monash pasti rata-rata mahasiswa perempuanlah yang bisa mencapai GPA tinggi. Ketika kita bicara di lingkungan akademik, mereka (perempuan) luar biasa, tapi ketika di dunia kerja, dalam perjalanan kariernya mereka drop out,” tutur Sri Mulyani.
Salah satu faktor yang disorot Sri Mulyani ialah ketika perempuan berkeluarga dan memiliki anak, beban mengurus anak dan rumah tangga lebih ditimpakan ke pundak perempuan. Norma itu menciptakan arena yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki.
Bagi perempuan berkarier, ia harus selalu membuat keputusan, mau pilih keluarga atau karier. Hal itu tidak terjadi pada laki-laki. Seolah-olah laki-laki berkeluarga sudah lazimnya berkarier saja tanpa dibebani soal mengurus anak dan keluarga.
”Norma itu, baik di Barat maupun di Timur, menjadi beban tambahan bagi kemajuan karier perempuan. Jadi tak heran, dalam banyak wawancara, salah satu pertanyaan yang sering diajukan kepada saya adalah: ’bagaimana Anda membagi waktu antara karier dan keluarga?’ Model pertanyaan ini tidak pernah diajukan kepada kolega saya yang laki-laki. Pada menteri laki-laki, misalnya, tidak ada pertanyaan seperti itu,” ujar Sri Mulyani.
Bahkan, tambah Sri Mulyani, kerap di masyarakat juga ada anggapan, ketika ada seorang perempuan berkarier yang sukses, komentar orang kerap menghubungkannya dengan status pernikahannya. Misalnya, pantas saja si perempuan tersebut sukses, karena ia tidak menikah.
”Model pertanyaan yang kerap diajukan kepada saya tadi sebenarnya sudah turut menciptakan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ini menciptakan tambahan beban bagi si perempuan, merasuk ke pikirannya,” kata Sri Mulyani.
Pengamatan Sri Mulyani soal tren putus kerja kaum perempuan itu memang menjadi potret dari kondisi global saat ini, yakni masih adanya ketimpangan partisipasi angkatan kerja antara perempuan dan laki-laki.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporannya, World Employment and Social Outlook: Trends for Women 2018 menunjukkan, secara global tingkat partisipasi angkatan kerja, baik perempuan maupun laki-laki, adalah 61,8 persen, turun 1,4 persen dibandingkan satu dekade sebelumnya.
Sementara itu, tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja adalah 48,5 persen. Pada angka itu partisipasi perempuan masih 26,5 poin di bawah tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki yang 75 persen.
Memang, gap atau ketimpangan itu telah menyempit 2 persen jika dibandingkan dengan gambaran data di tahun 1990. Namun, peningkatan itu dinilai masih terlalu lamban.
Gambaran data ILO soal ketimpangan partisipasi kerja antara laki-laki dan perempuan itu dilatarbelakangi beberapa faktor penyebab. Seperti dalam catatan di laporan tersebut, faktornya mulai dari hambatan struktural dan kultural, kurangnya kesempatan kerja bagi perempuan (muda), juga meningkatnya lama waktu sekolah yang ditempuh perempuan.
Laporan itu juga mencatat, kebijakan-kebijakan ramah keluarga sangat krusial dalam mendongkrak tingkat partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Misalnya saja mulai dari kebijakan cuti bagi orangtua bekerja (maternity leave dan paternity leave) hingga fasilitas child care system yang terjangkau.
Selain itu, menilik laporan Bank Dunia dalam Women, Business and The Law 2019, jelas terungkap bahwa jika ingin mendorong peran perempuan dalam dunia kerja, harus diberlakukan pula perangkat-perangkat hukum strategis yang berprinsip pada kesetaraan jender.
Ketimpangan jender
Kesetaraan jender tersebut merupakan komponen krusial bagi pertumbuhan ekonomi dunia, mengingat perempuan adalah setengah dari populasi dunia saat ini. Laporan Bank Dunia tersebut menunjukkan sebenarnya dalam satu dekade terakhir ada perkembangan yang bagus di bidang hukum yang menyokong kesetaraan jender.
Di 131 negara, misalnya, tercatat 274 reformasi hukum yang mendukung kesetaraan jender. Itu termasuk 35 negara yang mengimplementasikan regulasi soal pelecehan seksual di dunia kerja. Kesimpulannya, ketika pelecehan seksual dilarang dan disasar dengan perangkat hukum, kondisi itu meningkatkan jumlah perempuan wirausaha.
Di Indonesia sendiri, berbagai kalangan masih berupaya mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disetujui DPR untuk disahkan. Namun, sebagian kelompok konservatif malah menolak RUU tersebut secara keras.
Sri Mulyani mengatakan, kesetaraan jender menjadi penting karena ketika perempuan kian berperan di ruang publik (dunia kerja), manfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas itu sendiri.
Dalam berbagai hal, menurut Sri Mulyani, perempuan secara genuine cenderung memiliki kualitas-kualitas kemampuan yang secara umum tak dimiliki laki-laki. Mulai dari memprioritaskan pada relasi, kesediaan berbagi, punya empati lebih, sensitif, yang ironisnya semuanya kadang juga dipandang sebagai kekurangan.
”Itu semua dipandang sebagai sisi lembut perempuan, yang dipandang positif dalam masyarakat. Namun, ketika di dalam organisasi (kerja), kualitas itu malah dipandang sebagai kelemahan. Dia terlalu baik, terlalu lembut, terlalu emosional, terlalu peduli, dan sebagainya,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani lalu memberi contoh, justru stereotipe yang dianggap kelemahan dalam organisasi kerja malah bisa memberikan kualitas kebijakan yang lebih baik.
”Ketika saya masih di Bappenas, terjadi tsunami di Aceh. Ketika kita akan merehabilitasi Aceh, diskusi-diskusi yang dibicarakan ketika pesertanya hanya laki-laki ialah seputar pembangunan kembali rumah, pasar, sekolah, jalanan, dan seterusnya. Namun, ketika perempuan yang mendiskusikannya, akan muncul detail yang tidak dilihat laki-laki, misalnya bagaimana korban anak-anak disembuhkan traumanya dan sebagainya,” kata Sri Mulyani.
Oleh karena itu, tambah Sri Mulyani, banyak studi yang menyimpulkan performa institusi akan menjadi lebih baik ketika jajaran pengambil keputusan atau kebijakan melibatkan orang-orang yang beragam dan inklusif.
Keberagaman dan keinklusifan memberi pengaruh positif pada kualitas kebijakan atau keputusan. Dengan pemikiran itu pula, kini secara global peran perempuan untuk mencapai posisi tertinggi di dunia kerja, yakni sebagai pemimpin, menjadi isu penting untuk dibicarakan.
Namun, data global masih menunjukkan jalan panjang menuju kesetaraan jender. Laporan yang dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (WEF), yakni The Global Gender Gap Index 2018, menunjukkan, skor secara global (di 149 negara) adalah 68 persen, menyisakan 32 persen ketimpangan yang masih harus dipersempit.
Indeks global ketimpangan jender tersebut menguji ketimpangan laki-laki dan perempuan berdasarkan empat kategori sub-indeks fundamental, yakni kesempatan dan partisipasi ekonomi (economic participation and opportunity) dengan skor 59 persen, pencapaian pendidikan (educational attainment) dengan skor 95 persen, kesehatan (health and survival) dengan skor 96 persen, dan pembedayaan politik (political empowerment) dengan skor hanya 22 persen.
Dalam data tersebut, Indonesia menduduki peringkat ke-85 dari 149 negara dengan skor total 69,1 persen, yang artinya sedikit di atas skor rata-rata dunia.
Dalam kategori kesempatan dan partisipasi ekonomi, skor Indonesia 67 persen, kategori kesehatan 81 persen, dan pencapaian pendidikan 88 persen. Menariknya, untuk kategori pemberdayaan politik, skor Indonesia secara signifikan melampaui rata-rata skor dunia, yakni 63 persen atau di peringkat ke-60 dari 149 negara.
Hambatan ke level puncak
Dalam dunia kerja secara global, perempuan masih menemui hambatan signifikan untuk mencapai level puncak manajemen. Dari total manajer di dunia, hanya 34 persen yang dipegang perempuan.
Direktur Jenderal ILO Guy Ryder pernah menyatakan, membaiknya tingkat ketimpangan jender dalam hal pencapaian pendidikan (bagi perempuan) masih belum bisa membebaskan kaum perempuan dari belenggu di level pekerjaan yang berpenghasilan menengah dan rendah. Menurut Ryder, hal itu mencerminkan masih terpeliharanya stereotipe usang tentang kapabilitas perempuan dan laki-laki.
Laporan terkini ILO lainnya, yakni Women in Business and Management: The business case for change 2019 menunjukkan, perusahaan yang menerapkan kebijakan gender-inclusive terutama di level manajemen puncak akan mereguk keuntungan bisnis yang lebih baik.
Laporan tersebut menyurvei 13.000 perusahaan di 70 negara, lebih dari 57 persen responden menyatakan pendekatan gender-inclusive meningkatkan performa bisnis. Hampir tiga perempat dari perusahaan-perusahaan itu menunjukkan peningkatan profit perusahaan 5-20 persen.
Laporan yang sama juga menunjukkan, meningkatnya pekerja perempuan berkorelasi positif dengan meningkatnya produk nasional bruto (GNP) di tingkat nasional. Temuan tersebut berdasarkan analisis data di 186 negara dalam periode tahun 1991-2017.
Catatan itu juga menyoroti berbagai hambatan bagi pekerja perempuan untuk bisa mencapai posisi pengambil keputusan di manajemen perusahaan. Salah satu yang krusial adalah kultur perusahaan yang menuntut kesediaan ”kapan pun di mana pun” kerap berefek merugikan dan tidak proporsional bagi pekerja perempuan.
Hambatan lainnya ialah tuntutan ”tugas” domestik mengurus keluarga, sehingga kebijakan work-life balance, seperti fleksibilitas jam kerja dan cuti ayah, harus lebih ditingkatkan. Menyusutnya jumlah perempuan yang berkarir di industri terkait STEM (science, technology, engineering, dan mathematics) juga karena latar belakang masalah tersebut, biasanya disebut sebagai fenomena leaky pipelines atau pipa bocor. Sekalipun di dunia akademik, banyak perempuan yang menekuni bidang ilmu tersebut. Ini berarti industri tersebut kehilangan potensi sumber daya manusia.
Tak heran, dari 13.000 perusahaan yang disurvei tadi, 78 persen perusahaan masih dominan dipimpin CEO laki-laki, sedangkan perempuan cenderung bisa menduduki posisi CEO di perusahaan yang lebih kecil. Potret di Amerika Serikat saja, misalnya, dalam daftar Fortune List, per 1 Juni 2019 hanya 33 perusahaan dari 500 perusahaan besar yang dipimpin CEO perempuan.
Pemimpin perempuan
Potret ketimpangan jender secara global yang paling mencolok adalah pada kategori subindeks pemberdayaan politik, yakni hanya mencapai skor 22 persen. Data ini mencerminkan masih sangat rendahnya representasi perempuan dalam peran-peran politik dan khususnya masih langkanya perempuan sebagai kepala negara.
Rata-rata rentang waktu lamanya perempuan bertugas sebagai kepala negara atau perdana menteri di 149 negara hanya 2,2 tahun. Di tahun 2018, di antara 149 negara yang diteliti dalam laporan The Global Gender Gap Index 2018, hanya ada 17 perempuan yang menjadi kepala negara atau perdana menteri.
Tahun ini, jumlah itu bertambah dengan terpilihnya Sanna Marin (34) sebagai Perdana Menteri Finlandia, yang sekaligus juga menjadi perdana menteri termuda di dunia.
Di luar peran sebagai pemimpin negara, representasi perempuan masih relatif mentok di posisi menteri atau lembaga legislatif. Itu pun komposisinya masih timpang dibandingkan dengan laki-laki. Di dunia saat ini, dalam laporan tersebut, hanya ada 18 persen perempuan yang menjabat sebagai menteri, termasuk Sri Mulyani tentunya. Bahkan, dari 149 negara, masih ada enam negara yang tidak memiliki perempuan menteri sama sekali.
Sayangnya, di Kabinet Indonesia Maju era pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, jumlah perempuan menteri malah berkurang signifikan dibandingkan dengan Kabinet Kerja. Kali ini hanya ada lima perempuan menteri, sedangkan di Kabinet Kerja pernah mencapai sembilan perempuan menteri, sebelum Khofifah Indar Parawansa tahun 2018 mengundurkan diri dari jabatan Menteri Sosial untuk berlaga dalam pemilihan gubernur Jawa Timur.
Catatan penting lainnya dalam laporan WEF tersebut adalah soal lama waktu yang bisa ditempuh untuk meretas ketimpangan jender di empat kategori. Jika dihitung berdasarkan tingkat laju perbaikan, ketimpangan jender dalam soal kesempatan dan partisipasi kerja masih membutuhkan waktu 202 tahun lagi untuk berhasil diretas sepenuhnya. Artinya, kaum perempuan baru bisa menikmati kesetaraan di dunia kerja 202 tahun atau dua abad lagi. Sementara ketimpangan dalam soal pemberdayaan politik baru teretas 107 tahun lagi.
Oleh karena itu, Direktur Eksekutif UN Global Impact Lise Kingo menyerukan pentingnya gerakan akselerasi yang masif untuk mempercepat perbaikan ketimpangan jender tersebut. Untuk itu, badan dunia seperti UN Women, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didedikasikan untuk kesetaraan jender, dan UN Global Impact bekerja sama sejak 2010 untuk terus menguatkan Women\'s Empowerment Principles.
”Kalau 202 tahun lagi, berarti nanti baru cicit-cicit saya generasi yang kesekian yang baru bisa menikmati kesetaraan jender sepenuhnya,” ujar Sri Mulyani.
Mudah-mudahan saja di Indonesia tak perlu menunggu hingga dua abad jika kita suatu saat bisa punya perempuan presiden (lagi) yang mumpuni.