Terbukanya industri perfilman bagi investor asing dinilai menggairahkan produksi dan distribusi. Namun, industri ini menghadapi problem kurangnya pekerja berkualitas.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterbukaan industri perfilman bagi 100 persen investasi asing menggairahkan produksi dan distribusi film dalam negeri. Namun, pada saat bersamaan, industri perfilman nasional dibayang-bayangi persoalan kekurangan jumlah pekerja berkualitas.
Keterbukaan industri perfilman bagi 100 persen investasi asing terangkum dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Ada empat subbidang usaha perfilman yang terbuka 100 persen bagi asing, yakni jasa teknik, pembuatan, pengedaran atau distribusi, serta ekshibisi atau bioskop.
Deputi Hubungan Antarlembaga dan Wilayah Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Endah Wahyu Sulistianti yang ditemui di sela-sela forum Asia Content Business Summit (ACBS) 2019, Jumat (20/9/2019), di Hotel Sultan, Jakarta, menyebutkan, ada tiga hal yang menggairahkan industri perfilman nasional sekarang. Salah satunya akses, seperti keterbukaan investasi asing sampai 100 persen.
Sesuai data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) jasa lainnya mencapai Rp 245,5 miliar pada triwulan IV-2015. Selama periode yang sama, realisasi penanaman modal asing (PMA) jasa lainnya adalah 87,1 juta dollar AS.
Pada triwulan I-2019, realisasi PMDN jasa lainnya mencapai Rp 885,4 miliar. Pada periode yang sama, realisasi PMA jasa lainnya sebesar 89 juta dollar AS.
Setelah akses terhadap investasi dibuka, lanjut Endah, pemerintah berupaya mengatasi hambatan birokrasi. Sebagai contoh, koordinasi untuk memajukan industri perfilman antar kementerian/lembaga ditingkatkan. Komisi film daerah pun digeliatkan.
”Saat ini, komisi film daerah telah hadir di Banyuwangi, Bojonegoro, Siak, dan Bandung. Mereka menjadi percontohan bagi kabupaten/kota lainnya saat melayani kebutuhan industri film, seperti urusan perizinan shooting film. Kami mencontoh pengalaman negara lain, misalnya Perancis, dalam membangun ekosistem industri film dari pusat sampai daerah,” kata Endah.
Ketua Bidang Advokasi Kebijakan Badan Perfilman Indonesia (BPI) Alex Sihar mengungkapkan, saat ini dalam setahun terdapat 230-250 judul film diputar di bioskop di Indonesia. Sekitar 130-150 judul di antaranya merupakan buatan lokal. Dia menilai, dengan judul yang diproduksi dalam negeri sebanyak itu, pencapaian Indonesia patut diapresiasi.
Kondisi itu sejalan dengan penambahan jumlah layar bioskop yang sekarang hampir mendekati 1.900 dibandingkan dengan tahun 2015 sekitar 900 layar. Jumlah layar pun ditargetkan terus bertambah hingga menjadi 3.000 agar semakin mengakomodasi pemutaran film buatan lokal.
Dari segi penjualan tiket bioskop, Alex menyebut telah mencapai sekitar 51,2 juta pada akhir 2018. Jumlah ini melonjak dibandingkan dengan tahun 2016, yaitu sekitar 37,2 juta.
”Pada 2003, jumlah judul film yang memperoleh penonton bioskop di atas satu juta orang hanya dua judul. Kondisi sekarang, sekitar 10 judul film bisa mendapatkan penonton di atas satu juta. Artinya, secara kualitas pun, film buatan lokal semakin mendapat sambutan positif warga,” tuturnya.
Alex menambahkan, pencapaian positif tersebut tidak lantas tidak menyisakan permasalahan. Menurut dia, persoalannya kini adalah mendorong monetisasi bisnis. Film buatan lokal harus bisa mempunyai akses pasar yang lebih luas.
Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Fauzan Zidni yang dihubungi pada Minggu (22/9/2019) di Jakarta membenarkan bahwa pembukaan daftar negatif investasi menjadi pemicu utama kegairahan di industri film nasional. Dia menggambarkan, dalam setahun, rata-rata produksi film bisa mencapai hampir 200 judul. Ditambah lagi, masih ada permintaan produksi film ataupun konten seri untuk aplikasi internet (over-the-top/OTT) yang tuntutannya kualitas di atas tayangan televisi.
”Dengan jumlah produksi yang semakin banyak, penyerapan kru dan pemain film sudah melebihi kapasitas,” ujarnya.
Akibatnya, antarproduser berebut kru dan pemeran utama sering terjadi. Salah satu contoh adalah shooting proyek film harus dibagi waktu karena pemeran utama harus shooting di proyek lain. Situasi seperti itu tidak ideal.
Berdasarkan data Filmindonesia.or.id, jumlah orang pernah terlibat sebagai pekerja film, baik kru maupun aktor, mencapai sekitar 23.000 orang sejak tahun 1998-2017. Tingkat pergantian pekerja atau turnover sebesar 64 persen.
Fauzan memandang situasi sekarang merupakan dampak dari under investment pendidikan lima hingga sepuluh tahun lalu sehingga tidak ada cukup talenta untuk memenuhi kebutuhan industri. Sekitar kurun 1970-1990-an Indonesia hanya mempunyai dua sekolah film dengan fokus awal mencetak tenaga yang dibutuhkan stasiun televisi. Saat ini, di Indonesia berdiri sekitar sepuluh sekolah film yang menawarkan program sarjana tanpa ada satu pun berkaitan dengan akting. Belajar akting hanya bisa ditemui lewat kursus. Tidak semua lulusan sarjana film terjun menjadi kru di industri.
”Pendidikan formal itu penting untuk memberikan akselarasi keterampilan dan pengetahuan. Jika tidak segera diatasi, persoalan tersebut akan berdampak ke daya saing industri film jangka panjang,” ujarnya.
Fauzan menambahkan, pengembangan sekolah film sebenarnya tidak perlu menunggu pemerintah membangun. Institusi pendidikan tinggi swasta mempunyai peluang mendirikan sekolah atau jurusan film.