Gempa bumi beruntun terbesar dalam dua dekade terakhir melanda California, AS. Kita bisa belajar dari kesiapsiagaan mereka mengingat banyak kota besar kita juga berada di bawah bayang-bayang gempa besar.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Gempa bumi beruntun terbesar dalam dua dekade terakhir melanda California, Amerika Serikat. Namun, gempa ini bukan terkuat yang dikhawatirkan. Kita bisa belajar dari upaya kesiapsiagaan mereka mengingat banyak kota besar kita juga berada di bawah bayang-bayang gempa besar.
Gempa pertama berkekuatan M 6,4 terjadi pada 4 Juli dan gempa M 7,1 menyusul di hari berikutnya. Kedua gempa ini berpusat di darat, di dekat kota kecil Ridgecrest, California, 241 kilometer dari Los Angeles. Sebanyak 50 rumah rusak. Namun, tak ada yang luka serius, apalagi korban jiwa.
Dampak bencana ini sangat tak sebanding dengan besarnya korban jiwa akibat gempa bumi di darat berkekuatan M 5,9 di Yogyakarta pada 2006 lalu yang menewaskan ribuan jiwa ataupun gempa-gempa lain di Indonesia. Sekalipun banyak faktor yang bisa membedakan, di antaranya amplifikasi tanah, kekuatan bangunan, dan jarak aman dengan garis patahan menjadi kunci utama untuk mengurangi dampak bencana.
Sejak tahun 1977, Amerika telah memiliki aturan yang melarang adanya bangunan minimal 150 meter dari sesar utama dan 60 meter dari sesar percabangan.
Khusus kota-kota di Negara Bagian California juga telah lama menerapkan standar bangunan tahan gempa dan belakangan mewajibkan perkuatan bangunan lama. Los Angeles, misalnya, mengeluarkan peraturan seismik pada Oktober 2015 untuk memperkuat bangunan lama dari guncangan, sedangkan San Francisco sejak 2013.
Selain itu, semua negara bagian itu juga telah membangun sistem peringatan dini gempa bumi, yang disebut California Integrated Seismic Network. Mereka telah menghabiskan lebih dari 16 juta dollar AS untuk memasang ribuan sensor pendeteksi seismik sehingga bisa bersiap sebelum guncangan dimulai.
Sistem tidak hanya akan memperingatkan publik secara langsung, tetapi juga akan terhubung dengan infrastruktur penting untuk secara otomatis mematikan beberapa bagian infrastruktur negara, seperti sistem kereta api, sesaat sebelum terjadi guncangan. Saat ini, sistem ini baru selesai sekitar 70 persen.
Pekerjaan itu kini dikebut karena dua gempa di selatan California kali ini bukan dari sumber yang paling dikhawatirkan: Sesar Besar San Andreas, tetapi hanya dari percabangannya. Menurut catatan US Geological Survey, Sesar San Andreas selatan biasanya memiliki siklus ulangan gempa bumi besar setiap 150 tahun. Dan sejak gempa besar terakhir terjadi pada tahun 1857, bagian selatan sesar ”dianggap sebagai lokasi yang mungkin untuk gempa” di tahun-tahun mendatang.
Kebanyakan penduduk California sebenarnya sangat menyadari ancaman itu. Bahkan, menurut Rachel Higgins, mahasiswa Diamond Bar, California kepada CNN, Selasa (9/7/2019), kata-kata ”be preparing for a big one” sudah menjadi ”bagian dari legenda California”.
Rios mengatakan bahwa sejak kanak-kanak ia dan teman-temannya diajari untuk ”merunduk dan berlindung” dan bersiap-siap. Dia juga menyimpan persediaan air dan makanan serta cadangan gas tambahan, katanya. ”Tetapi, saya pikir tidak ada orang yang (benar-benar) siap menghadapi sesuatu yang begitu dahsyat.”
Jika penduduk California saja masih merasa belum siap, bagaimana dengan kita?
Seperti di California, kepulauan Indonesia juga berada di jalur tektonik yang sangat aktif dan sebagian di antaranya diam-diam tengah menghadapi ancaman ”big one”. Karena merupakan negara kepulauan, sumber gempa kita sebagian besar berada di laut, sehingga selain ancaman guncangannya, kita juga menghadapi teror tsunami.
Setelah kombinasi gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi yang terjadi di Sulawesi Tengah pada 2018, salah satu daerah yang paling dikhawatirkan adalah kepulauan Maluku dan Maluku Utara, yang pada Minggu (7/7/2019) lalu diguncang gempa berkekuatan M 7. Gempa ini memang tak memicu tsunami, sekalipun memicu kepanikan dan peringatan dini tsunami. Namun, riwayat panjang gempa bumi diikuti tsunami di kawasan ini memang wajib membuat kita waspada.
Kajian Hamzah Latief, Nanang T Puspito, dan Fumihiko Imamura di Journal of Natural Disaster Science (2000) menyebutkan, dari tahun 1600 hingga 1999 telah terjadi 105 tsunami di Nusantara. Dari jumlah ini, 35 kali (32,3 persen) terjadi di Busur Banda, Maluku, dengan korban meninggal 5.570 orang. Sementara Laut Maluku telah dilanda tsunami 32 kali (30,8 persen) dengan jumlah korban mencapai 7.576 orang. Ini berarti lebih dari 60 persen kejadian tsunami yang terekam di Indonesia terjadi di perairan Maluku dan Maluku Utara.
Kajian Jack Rynn dari Centre for Earthquake Research in Australia (2002) menyebutkan, tsunami di kawasan Maluku dan Maluku Utara tak hanya dipicu oleh gempa bumi. Tsunami di kawasan ini banyak disebabkan oleh letusan gunung api, di antaranya letusan Gunung Teon pada 11 November 1659, Gamkonora di Halmahera pada 20 Mei 1673, dan Gamalama di Ternate pada 1 September 1763.
Dokumen tertua nan rinci tentang kejadian tsunami di Nusantara juga berasal dari Maluku, yaitu oleh naturalis Jerman yang bekerja untuk Pemerintah Belanda, Georg Everhard Rumphius (1627-1702). Dalam bukunya, Amboina (1675), Rumphius dengan rinci mendeskripsikan kehancuran kawasan Ambon dan Seram akibat gempa dan tsunami dahsyat yang melanda pada 17 Februari 1674.
Menurut catatan Rumphius, tsunami itu sedemikian tinggi hingga menenggelamkan benteng (Amsterdam) di Ambon, melampaui atap rumah, dan menyapu bersih desa. Batuan koral terdampar jauh dari pantai. Sebanyak 2.322 orang di Pulau Ambon dan Seram tewas, termasuk istri dan anak perempuan Rumphius. Di katalog tsunami Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) serta WinITB yang disusun para ahli Rusia, ketinggian tsunami di Ambon dan Seram tahun 1674 itu 80 meter.
Perlu dicatat, kerentanan gempa dan tsunami di Indonesia tidak hanya di Maluku atau Maluku Utara. Namun, kebetulan kejadian saat itu dicatat Rumphius sehingga peristiwa bencana masa lalu tidak hanya menjadi foklor dan mitos, seperti banyak terjadi di daerah lain negeri ini. Sekalipun pahit, harus disadari bahwa kita saat ini ibarat penduduk California yang harap-harap cemas menanti big one. Bedanya, kita cenderung buta, di bagian mana yang bakal duluan terjadi....