Kematian merupakan fase akhir hidup yang pasti akan dihadapi semua orang. Namun, ketidakpastian kapan waktu datangnya kematian pada tiap individu, bisa saja membuat orang cemas, termasuk kalangan lanjut usia. Kecemasan itu bisa dikurangi dengan mendorong seseorang menjadi pribadi yang arif, termasuk dalam memandang kematian.
Usia harapan hidup orang Indonesia semakin tinggi. Jumlah para lanjut usia (lansia) pun semakin bertambah. Pada 2015, usia harapan hidup masyarakat Indonesia mencapai 72 tahun. Jauh lebih lama dibanding tahun 2004 yang hanya 68,6 tahun.
Data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia pada 2025 akan mencapai 273 juta jiwa dan hampir seperempatnya atau sebanyak 62,4 juta jiwa tergolong lansia. (Kompas,2016)
Namun, kecemasan para lansia dalam menghadapi kematian dapat dikurangi dengan membantu mereka menjadi pribadi yang arif. Lansia yang arif dicirikan sebagai individu yang memiliki kemampuan penilaian yang baik, berempati kepada orang lain, dan menerima perubahan-perubahan dalam hidupnya termasuk menerima kematian.
Hasil penelitian yang dilakukan Smitha Dinakaramani dan Aisah Indati dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dengan judul Peran Kearifan (Wisdom) Terhadap Kecemasan menghadapi Kematian Lansia yang dimuat di Jurnal Psikologi UGM Volume 45 Nomor 3, 2018, menunjukkan, peran kearifan terhadap kematian pada lansia sebesar 14,3 persen. Sisanya sebesar 85,7 persen merupakan sumbangan dari faktor lainnya. Kearifan lansia yang tinggi juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.
Penelitian dilakukan pada 130 orang lansia berusia 60-85 tahun yang tidak mengalami sakit fisik serius dan tinggal di rumah di Yogyakarta. Penelitian menggunakan alat ukur adaptasi dari Death Anxiety Scale (DAS) milik McMordie (1979) untuk kecemasan menghadapi kematian dengan menggunakan 13 item. Adapun variabel kearifan diukur menggunakan adaptasi Three-Dimensional Wisdom Scale dari Ardelt (2003) yang terdiri dari 37 item.
Peneliti mengumpulkan data kolektif dengan mendatangi kelompok senam lansia di Kampung Kauman Yogyakarta. Adapun pengumpulan data individual dilakukan dengan metode snowball sampling, di mana subyek akan mengarahkan peneliti pada subyek lainnya.
Ternyata, mayoritas lansia yang diteliti memiliki kearifan yang cenderung tinggi. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa lansia sudah cukup mampu memahami dan menerima perubahan yang terjadi di dalam hidupnya serta cukup mampu melihat segala peristiwa dari berbagai sudut pandang.
Menerima Diri
Lansia yang arif akan pasrah dan tanpa putus asa menerima kondisi dirinya yang terus menurun hingga datangnya kematian. Lansia yang arif juga memandang kematian dari berbagai sudut pandang sehingga mampu memandang kematian secara positif. Penerimaan serta kemampuan untuk melihat kematian dari berbagai sudut pandang inilah yang mampu menurunkan kecemasan menghadapi kematian pada lansia.
Kematian yang tidak diketahui datangnya dapat memicu seseorang menjadi cemas. Mereka bisa saja cemas karena belum siap. Tomar dan Eliason (1996) dalam Model of Death Anxiety menyebutkan seseorang merasa cemas dalam menghadapi kematian tergantung pada bagaimana individu tersebut mengevaluasi hidupnya dan ada atau tidak penyesalan yang dirasakan dalam hidupnya. Tidak ada penyesalan dalam hidup merupakan salah satu aspek dari konsep kearifan yang dicetuskan oleh Ardelt (2003).
Ardel (2007) berpendapat bahwa kearifan dapat membuat lansia mengerti makna dari hidup, menerima perubahan-perubahan dalam hidup, serta melihat segala peristiwa dalam hidup dari berbagai peristiwa, mampu membuat lansia menerima keterbatasan yang dimiliki oleh manusia, termasuk datangnya kematian sebagai salah satu fase kehidupan.
Permasalahan psikologi yang terjadi di masa lansia adalah permasalahan yang berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan lansia. Menurut Havinghurst, tugas perkembangan yang diemban lansia berupa penyesuaian diri terhadap penurunan-penurunan yang terjadi, baik fisik maupun psikologis. Selain itu, lansia juga memiliki tugas untuk menyesuaikan diri dengan datangnya kematian (Hurlock,1980).
Berangkat dari penelitian ini, penting bagi institusi yang bergerak di bidang sosial untuk menyusun program-program yang berkaitan dengan lansia yang memuat dukungan dalam mempertahankan atau meningkatkan kearifan pada lansia. Program bisa berupa intervensi atau pelatihan serta penyuluhan yang mengangkat tema penerimaan kondisi lansia. Dengan demikian, para lansia tidak cemas dalam menghadapi kematian.