Anak-anak Menjadi Korbannya

Ridho (12) hanya bisa tergolek lemah di rumahnya di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kapubaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (4/8/2018). Desa Cinangka merupakan desa yang masyarakatnya sejak 1978 sudah menjalankan peleburan aki bekas. Sekitar 2002, usaha peleburan itu mulai ditinggalkan sejak 10 pekerja peleburan aki di desa itu meninggal dengan gejala yang serupa, yakni sesak napas dan gangguan pada paru-paru.
Di usianya yang hampir 11 tahun, ASF lebih menyerupai anak usia 5 tahun dibandingkan anak perempuan yang beranjak remaja. AN (12), sang kakak, pun menunjukkan perilaku menyerupai kekanak-kanakan, hanya peduli terhadap barang yang disukai. AN juga kerap kejang-kejang, salah satu gejala anak keracunan timbel.
Keduanya adalah sebagian dari sejumlah anak di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang perilakunya menyerupai anak dengan keterbelakangan mental. Di desa itu juga mudah dijumpai anak-anak yang telapak tangannya pengkor, menekuk ke dalam, indikasi anak yang darahnya terkontaminasi timbel.
Sejak 1978, Desa Cinangka telah menjadi sentra peleburan aki bekas ilegal yang dijalankan secara tradisional, tanpa penangkap debu. Meskipun kini bukan lagi aki bekas yang dilebur melainkan slag, limbah yang dihasilkan dari peleburan aki bekas sebelumnya. Debu timbel dari peleburan itu telah mencemari lingkungan desa tersebut.
Hasil pengujian tanah yang dilakukan Kompas dari desa itu menunjukkan konsentrasi debu timbel sangat tinggi, 3.883 miligram per kilogram. Konsentrasi itu 2 kali lipat dari nilai baku mutu karakteristik beracun total konsentrasi B (TK-B), 1.500 mg/kg.
Kadar timbel dalam darah ASF dan AN pun ditemukan cukup tinggi. Berdasarkan pengujian di salah satu laboratorium kesehatan di Bogor, konsentrasi timbel dalam darah ASF sebesar 25,3 mikrogram per dL. Sementara konsentrasi timbel dalam darah AN 23,3 mikrogram per dL.
Merujuk pada Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika (CDC) yang dijadikan acuan penelitian kesehatan di dalam negeri, kadar timbel di dalam darah saat ini harus kurang dari 5 mikrogram per dL. Sebelumnya, hingga 2012, lembaga itu menetapkan kurang dari 10 mikrogram per dL.
Hingga usianya yang sudah belasan tahun, baik AN maupun ASF tak mampu membaca dan menulis. Bahkan, tubuh ASF jauh lebih kecil dan pendek dibandingkan adiknya, AU (8) yang duduk di kelas III sekolah dasar. Wajah ASF juga menyerupai anak yang menderita down syndrome.
Sementara pandangan mata AN hanya tertuju pada barang-barang yang disukainya. Dibandingkan menjawab pertanyaan, AN lebih tertarik dengan minuman kemasan yang Kompas bawa. ”Teh kotak. Teh kotak. Ada teh kotak, Bah (merujuk ayahnya),” ucap AN.

Petugas kesehatan mengambil sampel darah Arya (12), anak penderita gangguan mental, di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (20/9/2018). Gangguan mental yang dialami Arya diduga salah satunya dipicu tingginya kadar timbal di lingkungan Desa Cinangka yang diakibatkan aktivitas peleburan aki bekas ilegal di kawasan tersebut.
Iswandi (46), ayah kakak beradik itu, mengungkapkan, dari lima anaknya, AN dan ASF yang memiliki perilaku berbeda dan tak mampu sekolah. Dua anaknya yang lain, AU dan AR (16), mampu bersekolah seperti anak pada umumnya. Sementara anaknya satu lagi masih berusia 15 bulan. ”AN itu mau sekolah seperti kakaknya yang tertua, AR (16) yang bersekolah di SMA. Tapi kan dia tidak mampu. Selain itu, dia juga sering kejang-kejang,” katanya.
Dalam seminggu, menurut Iswandi, AN bisa mengalami kejang-kejang sampai 3 kali dan ada kalanya dia bisa kejang-kejang 2-3 kali sehari. Gangguan itu sudah dialami AN sejak berusia 2 tahun dan hingga sekarang tidak pernah bisa pulih.
”Pernah juga kejang dari pukul 18.00 sampai tengah malam. Kalau sedang kejang-kejang, badan AN menjadi biru-biru dan napasnya menjadi sesak. Kalau sudah selesai, anak itu jadi kelelahan,” kata Iswandi.
Beruntung AN masih dapat berjalan dengan normal, dan mandiri untuk mengurus dirinya, seperti mandi dan mengenakan pakaian. RD (12), anak lainnya di Desa Cinangka yang menunjukkan perilaku menyerupai keterbelakangan mental, ini hanya dapat menggelosor-gelosorkan tubuhnya di lantai. Untuk berpindah tempat, RD harus digendong orangtuanya, Yatni (32) dan Rizal (36).

RD juga tidak mampu berbicara dengan kata-kata jelas. Hanya suara-suara tertentu yang dia hasilkan. Kepala dan tulang-tulangnya pun kecil, bahkan sangat kecil dibandingkan anak seusianya. Air liur terkadang menetes begitu saja dari sela-sela geliginya.
Satu kemiripan dengan AN, RD juga kerap kejang-kejang dan membenturkan tubuhnya ke dinding rumah. ”Luka-luka di mulut, kepala, dan di tubuhnya itu karena dia menyakiti dirinya saat kejang-kejang, dan juga saat dia membentur-benturkan tubuhnya ke dinding,” kata Rizal.
Konsentrasi timbel di dalam darah RD juga tinggi, 13,8 mikrogram per dL.
Tak hanya usia belasan tahun, orang dewasa yang mengalami gangguan serupa juga dijumpai di Desa Cinangka ini. NR, gadis berusia 28 tahun ini, juga kerap menderita kejang-kejang sejak usianya 1,5 tahun. Di salah satu pojok di rumahnya, dia hanya terduduk di atas lantai sambil memeluk lututnya yang menghitam. Ukuran kepala dan tubuh NR jauh lebih kecil dibandingkan orang-orang seusianya.
Tak hanya usia belasan tahun, orang dewasa yang mengalami gangguan serupa juga dijumpai di Desa Cinangka ini.
Mata NR hanya menatap sang ibunda, RH (53), yang menceritakan kondisi kesehatannya. Menurut RH, anak bungsunya itu juga kesulitan berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang di sekitar. NR juga cepat marah jika tersinggung.
”Kalau kejang-kejang suka ngagetin teriak-teriak. Pontang-panting badannya, jadi harus didudukin. Dalam sebulan, dia bisa 2 kali kejang-kejang,” ucap RH.
RH, ibu empat anak itu, mengaku, sejak 1978, dia dan suaminya juga terlibat sebagai pekerja di peleburan aki bekas di Desa Cinangka. RH bekerja sebagai penyedia makanan bagi pekerja, sementara suaminya sebagai pekerja pelebur aki bekas.
Dengan pengetahuan suaminya sebagai pekerja di peleburan aki bekas, RH mengaku, 12 tahun kemudian, sekitar 1990, dia dan suaminya ikut menjalani usaha peleburan aki bekas di belakang rumahnya. pada tahun itu pula NR lahir. Kala itu, menurutnya, 10 tetangganya menjalankan usaha serupa.
”(Memang) asap kadang masuk rumah (lewat ventilasi). Tetapi, alhamdulillah (3 anaknya) ini sehat, hanya NR yang sakit,” kata RH.

Namun, usaha peleburan aki bekas milik RH tak berjalan panjang. Tahun 1993, dia dan suaminya kehabisan modal dan suaminya beralih pekerjaan sebagai buruh tani.
MA (53), mantan pengepul aki bekas di Desa Cinangka ini, mengungkapkan, sejak 1978 hingga 2002, peleburan aki bekas tumbuh subur di desanya. Namun setelah ada 10 pekerja pelebur aki bekas itu meninggal secara berturut-turut selama setahun pada 2002, warga mulai meninggalkan pekerjaan itu.
”Mereka yang meninggal itu bekerja di tempat peleburan aki bekas. Sejak itu, warga mulai khawatir (terhadap dampak peleburan aki bekas). Selain itu, sejak tahun 2000, anak-anak di sini juga mulai ada yang alami cacat (mental),” katanya.

Seorang pekerja membelah slag atau limbah dari peleburan aki bekas yang masih mengandung timbal di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (20/8/2018). Sebagian warga masih menggantungkan hidupnya dengan bekerja di peleburan aki bekas ilegal. Setidaknya, pembelah slag bisa membawa pulang sekitar Rp 30.000 per hari.
Kekurangan yang dialami anak-anak itu pun mendorong kalangan orangtua di desa itu meminta bantuan Kementerian Kesehatan agar dapat memperoleh keringanan biaya dan kemudahan untuk pemeriksaan kesehatan anak-anak mereka. Permohonan itu disampaikan 2015, dengan didampingi Komite Penghapusan Bensin Bertimbel.
Umumnya, warga Desa Cinangka bekerja sebagai tani, buruh serabutan, dan juga pedagang informal. Iswandi, ayah ASF dan AN, ini bekerja sebagai tenaga servis televisi tabung untuk menghidupi 5 anaknya.
Nita Nur Hidayah (36), ibu ASF dan AN, pun mengungkapkan, pada 2015 pihak Kemenkes berjanji memberikan kartu BPJS Kesehatan untuk warga Desa Cinangka. Dengan demikian, anak-anak yang mengalami gangguan kesehatan dan juga keterbelakangan mental itu dapat menjalani pengobatan dengan gratis.

”Namun, sampai sekarang kami belum menerima kartu BPJS Kesehatan. Padahal, kami sudah menyerahkan KTP dan kartu keluarga kepada dinas kesehatan sebagai syarat untuk memperoleh kartu BPJS Kesehatan itu,” kata Nita.
Menurut Nita, dia telah berikhtiar menyembuhkan kejang-kejang yang dialami anaknya, AN. Namun, usaha itu hanya bisa dia lakukan hingga di puskesmas, dan dokter di puskesmas menyarankan agar AN diperiksa oleh dokter saraf di rumah sakit.
”Sampai sekarang saya belum berani ke rumah sakit untuk memeriksakan AN ke dokter saraf, takut biayanya besar. Kami tak punya uang banyak,” katanya.
Peneliti kesehatan masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Budi Haryanto, mengungkapkan, dari tahun ke tahun kondisi Desa Cinangka memang tak berubah jauh, anak-anak di desa itu masih terjerat timbel dari peleburan aki bekas. Kondisi itu, menurut dia, terpantau dari penelitian-penelitian yang dilakukan sejumlah mahasiswanya.
”Dari hasil uji laboratorium yang dilakukan mahasiswa saya, warga di sana (Desa Cinangka), kadar timbel di darahnya itu tinggi,” katanya.
Dari tahun ke tahun kondisi Desa Cinangka tak berubah jauh, anak-anak di desa itu masih terjerat timbel dari peleburan aki bekas.
Sebelumnya, bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Budi juga telah meneliti dampak debu timbel dari peleburan aki bekas di sejumlah tempat di Jawa, di antaranya di sekitar peleburan berizin PT Non Ferindo Utama di Tangerang dan peleburan ilegal di Lamongan, Jawa Timur.
Penelitian yang dijalankan 2011 itu menunjukkan bahwa darah pada 101 anak di sekitar 2 lokasi sekitar peleburan itu rata-rata memiliki kadar timbel sebesar 24,5 mikrogram per desiliter. Kadar itu melampaui batas toleransi timbel dalam darah yang harus kurang dari 5 mikrogram/dL.
Penelitian kadar timbel di dalam darah siswa itu juga sebagai penelitian lanjutan terkait pencemaran debu timbel di udara Serpong, Tangerang Selatan. Dari hasil penelitian Kementerian LHK dan Badan Tenaga Nuklir Nasional pada 2011, debu timbel itu berasal dari peleburan aki bekas yang berada di sekitar kawasan Pasar Kemis dan Curug tempat PT NFU berada.
”Merujuk pada penelitian-penelitian sebelumnya, kadar timbel dalam darah pada 3 anak di Desa Cinangka itu mengonfirmasi bahwa pencemaran timbel itu masih terjadi,” katanya.
Pencemaran timbel, menurut Budi, sangat merugikan bagi anak-anak karena timbel itu mengganggu fungsi sistem saraf pusat, dan mengganggu regenerasi sel darah merah. Akibatnya, energi tubuh anak akan lebih banyak berjuang mengatasi gangguan yang dialami di dalam tubuhnya dibandingkan untuk tumbuh kembang. Gejala yang ditimbulkan mulai dari kejang-kejang, gangguan saraf yang sebabkan otak tak bisa memerintah otot sehingga tangan menekuk ke dalam, hingga penurunan inteligensi.
”Pertumbuhan anak menjadi terganggu dan tak maksimal,” katanya.
Budi pun menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung tak melakukan aksi apa pun terhadap pencemaran timbel. Padahal, serangkaian penelitian terkait pencemaran timbel dari peleburan aki bekas itu juga telah dilakukan Kementerian LHK dan Badan Tenaga Nuklir Nasional, termasuk perguruan tinggi.
”Sudah banyak riset, tetapi tak ada tindak lanjut untuk penanganannya,” katanya.
Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin pun mengungkapkan, sejak 2015 pihaknya bersama warga Desa Cinangka meminta bantuan kepada Kemenkes untuk pengobatan anak-anak yang terkontaminasi timbel di desa itu, tetapi hingga saat ini belum ada tindak lanjut. ”Janjinya akan diberikan BPJS Kesehatan agar anak-anak itu dapat menjalani pengobatan, tetapi nyatanya tak ada,” katanya.

Imran Agus Nurali
Sebaliknya, Direktur Kesehatan Lingkungan Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali hanya menyampaikan bahwa BPJS Kesehatan belum menanggung pemeriksaan untuk kandungan timbel di dalam darah. Lagi pula, lanjutnya, masyarakat juga belum timbul kesadaran untuk memeriksakan darahnya.
”Puskesmas sendiri lebih banyak menangani penyakit-penyakit yang umum, ini (gangguan kesehatan akibat timbel) kan lebih spesifik. Ini soalnya belum ada kasus karena ini kan baru dugaan-dugaan saja. Itu yang bisa dokter atau puskesmas lakukan,” katanya.
Direktur Pengendalian Pencemaran Udara, Kementerian LHK, Dasrul Chaniago juga menganggap bahwa konsentrasi debu timbel di udara itu masih dalam taraf aman. Ketika disodorkan data pengukuran konsentrasi timbel di udara Serpong, Tangerang Selatan, yang dilakukan Batan, itu juga dianggapnya tak ada masalah.

Dasrul Chaniago
Padahal, di dalam data itu konsentrasi maksimum debu timbel di udara Serpong, Tangerang Selatan, pernah beberapa kali melampaui baku mutu 2 mikrogram per meter kubik. Jika dibandingkan Jakarta, konsentrasi timbel di udara Serpong juga lebih tinggi. ”Enggak ada masalah. Ini kan hanya sesekali,” ucapnya.
Namun, seperti diungkapkan Budi, timbel itu paling efektif masuk ke dalam tubuh lewat udara. Ketika di udara dipenuhi debu timbel, terutama debu timbel PM 2,5 (debu berukuran kurang dari 2,5 mikrometer), debu itu bisa langsung masuk paru-paru saat manusia menghirup udara tersebut. ”Ini kan racun. Ketika kadarnya tinggi, itu bisa meracuni,” ucapnya.
Kini tinggal menunggu niat pemerintah untuk mengatasi pencemaran timbel ini karena toh serangkaian penelitian oleh sesama institusi pemerintah terkait pencemaran timbel dari peleburan aki bekas itu sudah dilakukan. Penelitian itu mulai dengan mengukur kadar timbel di udara, tanah, dan darah. (INGKI RINALDI/RYAN RINALDY/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA)