JAKARTA, KOMPAS – Perjalanan Tinjauan Antarpemerintah terkait Program Global Aksi Perlindungan Lingkungan Laut dari Kegiatan Daratan berada di persimpangan jalan. Pertemuan lima tahunan di bawah Organisasi PBB untuk Lingkungan ini terancam berhenti karena keputusan tak mengikat serta jarak antarpertemuan yang terlalu lama.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki kepentingan tinggi di dalamnya. Pertemuan ini nanti secara khusus membahas polusi organik laut, sampah laut, dan limbah cair dari darat yang berakhir di laut. Karena itu Indonesia mendorong dan melobi negara-negara lain agar pertemuan ini bisa terus berlanjut karena lingkungan laut saling terkait dan dampaknya sangat besar bagi negara kepulauan seperti Indonesia.
Duta Besar Indonesia untuk United Nations Environment Programme (UNEP/Organisasi PBB untuk Lingkungan) dan UN Habitat, Soehardjono Sastromihardjo, Senin (8/10/2018), di Jakarta, mengatakan, Indonesia akan memanfaatkan momen sebagai tuan rumah The Fourth Intergovernmental Review on Global Programme of Action for the Protection of the Marine Environment from Landbased Activities (IGR-4 GPA) pada 31 Oktober – 1 November 2018 di Bali.
“Walaupun Bali tidak keluarkan putusan, tapi (menghasilkan) rekomendasi yang didiskusikan ke negara masing-masing. Pada sidang UN Environment Assembly (UNEA) di Nairobi Maret 2019 akan diputuskan, tetapi arahnya akan kelihatan di Bali, terkait opsi-opsi dan pendanaan,” kata dia.
Soehardjono mengatakan, GPA merupakan mekanisme sukarela yang diadopsi negara-negara anggota UNEP atau sekarang UN Environment. Sifatnya yang sukarela tidak mewajibkan anggotanya memberikan laporan kegiatan.
Pelaksanaan IGR pun hanya lima tahun sehingga agenda GPA kurang melekat atau dipahami rezim pemerintahan di negara anggota. “Berdasarkan dua hal tersebut berimplikasi pada komitmen negara GPA mengenai kontribusi terhadap trust fund yang sejak 2011 sudah berhenti karena tidak mengikat dan tidak ada kewajiban. Ini yang dianggap menghambat program GPA,” kata dia.
Tiga opsi
Dengan pertimbangan itu, kata Soehardjono, Sekretariat UN Environment memberikan tiga opsi pengelolaan GPA mendatang. Pertama, GPA berjalan seperti biasa yang implementasinya didasarkan pada hasil deklarasi. Kelemahan, dari sisi keuangan kesulitan mengisi trust fund.
Opsi kedua, GPA diintegrasikan ke dalam UNEP. Ini membuat setiap keputusan terkait GPA diambil oleh UNEA yang pertemuannya dilakukan dua tahun sekali.
Opsi ketiga berupa jalan tengah yaitu IGR dilakukan bersama dengan UNEA sehingga pertemuan bisa dilakukan intensif dua tahun. Implikasinya dari sisi pendanaan trust fund pada GPA digunakan sebagai pendirian proyek di mana Sekretariat UN bertanggungjawab untuk pendanaan.
Duta Besar Indonesia untuk PBB 2004-2007 Makarim Wibisono mengatakan, pertemuan IGR penting bagi Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia. Namun IGR saat ini berada titik persimpangan masa depannya. “Pertemuan di Bali merupakan pertemuan yang menentukan kelanjutan di IGR,” kata dia.
Direktur Jenderal Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim, MR Karliansyah, mengatakan misi delegasi RI yang dipimpin Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam IGR-4 GPA ini adalah membawa program Indonesia agar dijalankan juga oleh negara lain. Ini agar perlindungan laut menjadi gerakan seluruh negara karena kegiatan di darat berpengaruh ke laut dan laut tidak memiliki sekat administrasi.
Termasuk kata dia, soal langkah Indonesia yang memiliki Perpres 83 tahun 2017 tentang Penanganan Sampah di Laut. “Indonesia komitmen pada 2030 agar 70 persen sampah di laut tidak ada lagi, kita harap negara lain juga sama. Kalau negara lain masih hasilkan (sampah) ya percuma,”kata dia.
Pertemuan IGR-4 GPA ini diawali dari pertemuan internasional anggota-anggota UNEP di Washington DC Amerika Serikat pada 3 November 1995. Pertemuan ini mengadopsi GPA yang merupakan komitmen antarnegara yang bertujuan melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari dampak negatif kegiatan di darat.
Kemudian, negara GPA bersepakat melakukan pertemuan berkala untuk mengevaluasi dan memberikan rekomendasi terhadpa efektivitas pelaksanaan GPA melalui forum IGR. Pertemuan IGR-1 diselenggarakan di Montreal, Kanada (2001), IGR-2 di Beijing China (2006), dan pertemuan IGR-3 di Manila Filipina (2012).
Pada pertemuan terakhir itu dihasilkan Manila Declaration yang berisi kesepakatan untuk memprioritaskan GPA pada perlindungan laut dari sumber pencemaran nutrien (organik), air limbah, dan sampah laut yang berasal dari daratan.
Pada IGR-4 di Bali nanti, semula akan digelar pada Oktober 2017. Namun karena erupsi Gunung Agung, kegiatan diundur pada 31 Oktober – 1 November 2018. Agenda pertemuan di Bali ini yaitu meninjau pelaksanaan GPA 2012-2017 sebagai mandat Manila Declaration, kebijakan masa depan GPA 2018-2022, program kerja GPA 2018-2022. Hasil-hasil ini dituangkan dalam Bali Declaration.
Dua hari sebelum IGR-4 GPA ini, di Bali pada 29 -30 Oktober 2018 juga digelar kegiatan internasional Our Ocean Conference (OOC). Pembahasan kedua kegiatan ini beririsan pada isu sampah di laut. Bedanya, pada OOC merupakan inisiatif di luar badan PBB yang berisi komitmen-komitmen untuk dikerjakan secara nyata.