Taman Ismail Marzuki, Berusaha Bertahan sebagai Rumah Seniman
Taman Ismail Marzuki di kawasan Cikini, Jakarta akan berusia 50 tahun pada 10 November 2018 nanti. Didirikan pada masa Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki ini lebih populer disebut TIM. Sampai sekitar tahun 1980-an TIM menjadi “kiblat” kesenian nasional.
Pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan di arena-arena dalam kompleks TIM mampu menyedot pengunjung untuk menikmati sajian para seniman. Pertunjukan drama, wayang, lenong, sampai musik rock dan pop pun mendapat tempat untuk tampil di TIM. Agenda pertunjukan di TIM menjadi salah satu “pegangan” warga Jakarta untuk menikmati kesenian yang terus berkembang.
Memang tidak sia-sia investasi untuk mendirikan pusat kesenian TIM. Jakarta telah berhasil menjadi pusat kesenian nasional.
Pusat kesenian yang didirikan tahun 1968 di atas lahan seluas 5,5 hektar itu sampai sekarang berusaha bertahan, dengan berbagai suka duka yang menyertainya. Tumbuhnya tempat-tempat berkesenian yang lain di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) ikut memengaruhi dinamika yang berlangsung di TIM.
Mengamati pemberitaan yang berkaitan dengan TIM selama ini, ada beberapa hal yang menonjol. Selain agenda pertunjukan, soal komunikasi antar-lembaga yang menjalankan roda operasional TIM pun mengalami masa “pasang-surut” yang berakibat pada hasil kesenian itu sendiri. Masalah lain yang juga kerap menjadi bahan pembicaraan adalah keterbatasan dana, sehingga program yang telah dibuat pun terpaksa dibatalkan.
Bagaimanapun, pada masa jayanya TIM telah menjadi ajang diskusi untuk melahirkan ide-ide dan hasil kesenian yang menyertai perjalanan Indonesia. Harian Kompas edisi 22 Juni 1977 atau 41 tahun lalu, antara lain memuat berita tentang fasilitas kesenian di TIM yang pengaruhnya tak hanya dirasakan warga Jakarta, tetapi telah menjadi pusat kesenian nasional.
Simak cuplikan tulisannya, “Memang tidak sia-sia investasi untuk mendirikan pusat kesenian TIM. Jakarta telah berhasil menjadi pusat kesenian nasional. Jenis kesenian dari mana pun asalnya mendapat tempat di TIM. Kesenian jenis mutakhir pun lahir terus di sini”.
Pada masa awal keberadaan TIM, tampil di Teater jArena antara lain penyair Mansur Samin. Dia membawakan sajak-sajak karyanya yang diambil dari kumpulan sajak Lagu dari Tanah Air, Jiwa Rakyat, dan Perlawanan. Sementara dramawan Iwan Simatupang dengan grup Teater 2000 naik pentas di Teater Tertutup lewat naskah karyanya berjudul Kaktus dan Kemerdekaan.
Sedang di Ruang Pameran beberapa pelukis menampilkan karya mereka, seperti Oesman Effendi, Zaini, Nashar, Srijani dan Danarto (Kompas, 10 September 1969). Tak hanya kesenian “serius” yang mendapat tempat di TIM, tetapi pertunjukan sulap dari para pesulap yang tergabung dalam Ikatan Seni Sulap Indonesia (ISSI) pun menjadi salah satu agenda yang menarik anak-anak dan orang tua mereka datang ke TIM (Kompas, 26 September 1969).
Agenda padat
Keberadaan TIM memberikan berbagai alternatif tontonan bagi masyarakat. Arena pertunjukan maupun pameran yang ada di TIM pada 1970-1980-an nyaris selalu terisi. Kompas, 31 Oktober 1969 misalnya, menulis tentang pianis Tri Sutji Djuliati Djulham yang mementaskan opera Loro Djonggrang di Teater Tertutup.
Penampilan Tri Sutji dalam opera itu ditemani penyanyi sopran Maria Watimurni dan penyanyi tenor Sudharsono Toposubroto. Sementara tari-tarian dalam pertunjukan ini diciptakan Farida Sjuman. Sedangkan di Teater Terbuka, pengunjung yang menyukai kesenian lokal bisa menonton pertunjukan lenong yang antara lain muncul dengan lakon Si Gondrong. Kisahnya diambil dari novel karya Ali Shahab dengan judul sama (Kompas, 19 Januari 1970).
TIM juga menjadi ajang berbagi pengalaman. Ini antara lain bisa dilihat dari tulisan Kompas, 5 Februari 1970. Di Teater Arena, aktor tiga zaman, Tan Tjeng Bok (kala itu berusia 70 tahun) berbagi pengalamannya naik panggung pada masa stambul, masa komedi bangsawan, masa opera, wayang china, dardanella sampai bermain dalam film-film bioskop.
Beranda Ruang Pameran pun digunakan untuk diskusi, misalnya tentang film Bernafas Dalam Lumpur dengan beberapa tokoh perfilman seperti Asrul Sani, H Misbach Jusa Biran, juga produser dan sutradara Turino Djunaidy (Kompas, 11 Agustus 1970). Beragamnya agenda acara TIM juga bisa dilihat dari adanya pameran lukisan batik Mustika (Kompas, 6 Oktober 1970).
Sebagian negara sahabat pun memanfaatkan TIM untuk memperkenalkan kebudayaan mereka.
Sedangkan kesenian dari luar Jakarta antara lain muncul berkat kerja sama TIM dengan Badan Pembina Teater Nasional Indonesia atau BPTNI. Kompas, 24 Februari 1971 mencatat, tampilnya grup Teater Surabaya lewat lakon Suara2 Mati, Teater Sriwidjaja Palembang dengan Orang2 Dagang, Teater Makassar dengan judul Pembenci Matahari, dan Teater Antasari Banjarmasin dengan Hutan Kayu Gulam di Teater Arena.
Sebagian negara sahabat pun memanfaatkan TIM untuk memperkenalkan kebudayaan mereka. Jepang misalnya, memamerkan berbagai boneka yang erat berkaitan dengan sejarah bangsanya (Kompas, 22 Januari 1972). Sedangkan Perancis muncul antara lain di Teater Tertutup dengan drama komedi arahan sutradara Jacques Sereys dan Yves Gasc (Kompas, 13 Maret 1972).
Keuangan
Meskipun agendanya relatif padat dan sejak awal berdirinya TIM didukung Pemda DKI Jakarta, namun subsidi itu belum memenuhi kebutuhan operasionalnya. Tahun 1971 misalnya, biaya operasional TIM sekitar Rp 5 juta per bulan. Subsidi dari Pemda DKI sebesar Rp 1,3 juta, sisanya dipenuhi dari hasil menyewakan lahan untuk bioskop dan penjualan tiket (Kompas, 8 November 1971).
Agar biaya operasional terpenuhi, pengelola TIM antara lain memberi kesempatan pentas, pelaku kesenian yang banyak mengundang penonton. Ini antara lain pertunjukan band pop dan rock, wayang orang, lenong, dan pementasan drama. Salah satu pertunjukan drama dengan penonton meluber adalah Hamlet dari WS Rendra dengan Bengkel Teater.
Band pop yang tengah naik daun pada 1970-an dan mengadakan pertunjukan di TIM antara lain The Mercy’s dan Favourite’s Group (Kompas, 12 April 1973). Ahmad Albar dengan God Bless juga termasuk salah satu band yang menyedot banyak pengunjung di TIM (Kompas, 28 Mei 1975).
Waktu itu sempat muncul kritik terhadap pengelola TIM. Ada pihak yang menganggap TIM terlalu memberi tempat bagi budaya pop karena lebih menghasilkan uang. Sementara pihak lain menyebut TIM lebih mementingkan seni murni dan eksperimental (Kompas, 11 Desember 1972). Pengelola TIM membeberkan data pertunjukan yang digelar dalam dua tahun terakhir, untuk menjawab penilaian tersebut.
Sedangkan untuk mengatasi keterbatasan dana, pengelola TIM sempat membangun kios-kios untuk disewakan. Pembangunan kios ini mendapat restu dari Pemda DKI. Namun pembangunan itu mendapat kritikan tajam dari sebagian seniman (Kompas, 9 Juli 1983 dan 15 Juli 1983).
Organisasi
Tahun 1976 dalam lingkup TIM setidaknya terdapat tiga lembaga, yakni Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) sebagai lembaga pendidikan, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai lembaga seniman, dan Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) yang mengelola sisi administratifnya.
DKJ dan PKJ lebih dulu ada, sedangkan LPKJ baru diresmikan gedungnya pada 1976. LPKJ memiliki bangunan gedung sendiri dalam kompleks TIM. Untuk membangun gedung LPKJ di lahan seluas 3.140 meter persegi itu, Pemda DKI mengeluarkan dana sekitar Rp 450 juta (Kompas, 25 Juni 1976).
Pada masa Gubernur DKI Ali Sadikin, kegiatan di TIM relatif berjalan lancar. Untuk DKJ misalnya, subsidi dari Pemda DKI setahun Rp 200 juta dan berbagai bantuan fasilitas lainnya senilai sekitar Rp 1,5 miliar. Untuk semua pengeluaran tersebut, Bang Ali meyakini, kesenian memang seharusnya mendapat bantuan pemerintah dan swasta.
“Kesenian tidak mungkin berdiri sendiri. Jumlah bantuan minimal 90 persen dari kebutuhan. Selain itu, hidup seniman juga tergantung dari masyarakat. Tanpa masyarakat, seniman tidak ada artinya. Siapa yang mau menonton karya mereka kalau bukan masyarakatnya sendiri,” kata Bang Ali (Kompas, 20 Juli 1976).
Untuk kelancaran kegiatan di TIM, terlibat 196 karyawan. Dari jumlah tersebut, sekitar 50 orang merupakan tenaga lepas. Tahun 1977 sebanyak 119 orang dialihkan menjadi pegawai negeri DKI Jakarta (Kompas, 11 Agustus 1977). Selama proses ini berjalan sempat muncul keresahan di kalangan karyawan.
Beberapa kali pula mencuat perbedaan pendapat di antara pihak-pihak yang mengelola TIM. Kompas, 5 Juni 1980 mencatat, tak mulusnya komunikasi antara seniman dan DKJ berdampak pada program TIM. Kisruh dan terkatung-katungnya status kepengurusan DKJ kembali muncul pada 1982 (Kompas, 26 Februari 1982).
Kondisi fisik
Tahun 1970, Teater Arena terbakar. Kebakaran itu diperkirakan karena gangguan arus listrik (korsleting). Akibatnya atap sirap, kursi, lampu-lampu sorot, perlengkapan pengeras suara, dan lantai pun rusak. Kerugian diperkirakan sekitar Rp 8 juta (Kompas, 8 Agustus 1970).
Bukan hanya masalah fisik bangunan yang membuat pertunjukan di TIM terhambat. Ketika jam malam diberlakukan di Jakarta tahun 1974, agenda pertunjukan yang sudah disusun pun berantakan. Pameran foto Jepang yang sedianya untuk menyambut kedatangan PM Tanaka batal, pagelaran balet kontemporer dari Surabaya pun ditunda untuk waktu yang tak jelas (Kompas, 19 Januari 1974).
Gangguan juga muncul saat WS Rendra membaca sajak di Teater Terbuka pada 1978. Sekitar setengah jam setelah acara dimulai, ada orang yang melempar cairan amoniak ke atas panggung. Rendra sempat berhenti membaca sajak karena terbatuk-batuk, demikian pula dengan penonton yang berada dekat panggung. Namun acara yang dipenuhi pengunjung di area berkapasitas 2.100 orang itu, tetap berlanjut sampai selesai.
Ketika itu di antara penonton ada mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan mantan Kapolri Hoegeng. Menurut panitia, masalah pelemparan amoniak sudah ditangani Kodak Metro Jaya (Kompas, 1 Mei 1978).
Sekitar pertengahan 1980-an pamor TIM mulai menurun. Kesan pusat kesenian yang mulai memudar itu antara lain dilontarkan dramawan Ikranagara. Namun pengelola beralasan, keterbatasan dana mengakibatkan mereka tak bisa leluasa membuat program yang menarik masyarakat.
Tahun 1990 pengelolaan TIM diserahkan dari Pemda DKI kepada Yayasan Kesenian Jakarta atau YKJ (Kompas, 30 Januari 1990). Dewan penyantun YKJ antara lain tokoh bisnis dan perbankan seperti William Suryajaya, Probosutedjo, Ir Ciputra, Omar Abdalla, H Abdul Gani dan Robby Djohan. YKJ diharapkan bisa menghimbun dana untuk mencukupi kebutuhan operasional TIM.
Kreativitas luntur
Bukan hanya masalah dana yang membuat sosok TIM meredup, tetapi kreativitas para senimannya pun meluntur. Kompas, 16 Mei 1990 menurunkan tulisan berjudul “TIM, tak Pernah Surut dari Masalah”. Di sini sutradara Teater SAE, Boedi S Otong mengingatkan, sebagai pusat kesenian, fungsi TIM antara lain membuat seniman terdorong untuk bereksperimen dan kreatif.
Itu pun tak muncul. Jadilah Boedi menegaskan,” Bagaimana agar komitmen para seniman terhadap kesenian tidak luntur? Itu yang harus dipikirkan, bukan cuma dana dan profit.”
Meskipun disadari, masalah dana menjadi salah satu faktor penting di sini. Setiap bulan untuk biaya operasional TIM diperlukan sekitar Rp 90 juta. Ini termasuk gaji karyawan, membayar listrik, air dan perawatan peralatan. Sedang subsidi dari Pemda DKI hanya Rp 100 juta per tahun! Dengan dibentuknya YKJ diharapkan masalah dana teratasi. YKJ berperan mengelola dan mencarikan dana, sedangkan DKJ fokus pada program dan pemikiran kesenian.
Di sisi lain kondisi fisik TIM pun perlu perbaikan, karena selama lebih dari 20 tahun relatif tak ada perbaikan yang berarti. Kompas, 25 Oktober 1990 mencatat, Teater Tertutup dan Teater Terbuka sudah hampir dua tahun tak bisa digunakan. Kondisi serupa sebenarnya juga berlaku untuk Ruang Pameran Utama, Teater Arena dan Teater Halaman.
Tahun 1991 pembenahan TIM mulai terasa. Seniman ternama kembali tampil, seperti sutradara Arifin C. Noer, Putu Wijaya, juga pemusik Gilang Ramadhan. Meskipun untuk tampil di TIM, mereka harus membayar pemakaian gedung sekitar Rp 700.000 - Rp 3 juta per hari (Kompas, 15 Mei 1991).
Sementara bagi sebagian seniman, kondisi itu menunjukkan TIM sekadar sebagai bangunan fisik. Akan tetapi “roh” berkeseniannya sudah hilang. Mereka tak lagi bisa bertukar pikiran dan menjadikan TIM sebagai rumah untuk mengasah kreativitas.
Kompas, 19 November 1992 menulis, jumlah kegiatan di TIM menurun. Tahun 1968-1973 jumlah kegiatannya 870, pada 1974-1979 naik menjadi 1.641. Akan tetapi pada 1980-1984 turun menjadi 1.240 kegiatan, dan sepanjang tahun 1985-1990 menjadi 854 kegiatan atau lebih rendah dibanding tahun-tahun awal berdirinya TIM.
Petisi
Masalah dana dan program belum sepenuhnya teratasi, meski sudah ada “dana abadi” untuk menunjang kegiatan TIM. Di sisi lain, gonjang-ganjing terus menerpa pusat kesenian ini. Salah satunya Petisi Cikini 2015. Isinya menolak Peraturan Gubernur DKI yang menempatkan Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) TIM dibawah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pariwisata.
Bagi sebagian seniman, hal ini dianggap bisa mengerdilkan fungsi TIM dan seniman. Mereka pun berorasi mengecam kebijakan tersebut (Kompas, 16 Januari 2015). Meutia Hatta, putri Proklamator RI Mohammad Hatta turut berorasi. “Saya terenyuh ketika kebudayaan disepelekan. Pembangunan kebudayaan itu sama pentingnya dengan pembangunan ekonomi,” kata Meutia.
Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat dalam dialog dengan seniman mengatakan, “Kalau birokrasi Jakarta mengerdilkan seniman, gugat saya. Kami berkomitmen membangun budaya Indonesia. Salah besar kalau DKI berorientasi pada duit dalam mengelola TIM, karena DKI sudah cukup kaya.” Setiap tahun Pemprov DKI mengalokasikan dana hibah untuk TIM. Tahun 2014 misalnya, sebesar Rp 5 miliar.
Gugatan, kritik, tukar pikiran, dan solusi berkaitan dengan eksistensi TIM akan terus bergulir. Semoga semua itu bisa mengembalikan “roh” TIM sebagai pusat kesenian, seperti keinginan Bang Ali saat mendirikan TIM di bekas tanah milik pelukis Raden Saleh ini pada 1968.