Melawan Dehumanisasi, Krisis Lingkungan, dan Perubahan Iklim
Krisis lingkungan, krisis sosial, dan perubahan iklim lahir dari cara berpikir pemangku kebijakan yang menyimpang dalam menarasikan pembanguan ke dalam konsep lingkungan hidup yang adil dan lestari.
Oleh
DEDDY FEBRIANTO HOLO
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Di Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2022, ini kita dihadapkan pada persoalan krusial yang berkaitan dengan penurunan kualitas kepekaan sosial dan lingkungan yang berpengaruh terhadap keselamatan warga dan ruang hidupnnya. Isu perubahan iklim telah memasuki masa kritis. Cuaca ekstrem, pemanasan global, kekeringan, hujan yang tidak menentu disertai dengan angin yang kencang, serta banjir menandakan bumi kita semakin rapuh akibat berbagai aktivitas manusia dan kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan keseimbangan.
Cara pandang konsep pembangunan hari ini ini telah melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Orientasi manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga dapat berpengaruh besar karena cara pandang manusia tentang sistem lingkungannya memiliki andil yang besar terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini. Ini diperkuat dengan pandangan beberapa ahli, seperti White (1967) dan Ravest (1971), yang melihat adanya pandangan dikotomi yang memandang alam sebagai bagian terpisah dari manusia dan paham antroposentris yang menganggap bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terjadinya kerusakan lingkungan.
Dalam konteks ekolinguistik krisis lingkungan yang terjadi seperti diuraikan di atas, hanyalah symptom (gejala) yang terlihat, sedangkan sumber utama penyebab krisis lingkungan adalah cara berpikir (way of thinking) yang terefleksi dalam bahasa. Demikian Jeffrey Wollock menegaskan bahwa gejala krisis lingkungan yang terlihat sekarang jika ditarik ke belakang merupakan produksi cara berpikir yang dimanifestasikan melalui bahasa.
Saat ini bencana ekologi sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Banjir, tanah longsor, pencemaran air, limbah, dan sampah plastik sering kita jumpai di era industrialisasi sekarang ini. Tentu saja dari sejumlah peristiwa ekologi ini kita sudah banyak kehilangan sumber daya alam yang menjadi penopang kehidupan manusia sekaligus sebagai penyeimbang ekosistem makhluk hidup. Maraknya bencana ekologi saat ini tidak terlepas dari buruknya tata kelola lingkungan hidup yang cenderung memanfaatkan sumber daya alam tanpa ada pemulihan lingkungan secara tepat dan berkelanjutan.
ISMAIL ZAKARIA
Kayu gelondongan sisa banjir bandang di Dusun Batulayar Utara, Desa Batulayar Barat, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, terlihat pada Senin (6/12/2021) sore. Akibat banjir bandang tersebut, 4 warga meninggal, 1 hilang, dan 1 lainnya mengalami patah kaki.
Anak muda
Krisis iklim dan buruknya tata kelola lingkungan hidup merupakan kombinasi munculnya berbagai bencana ekologi, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tidak luput juga dampak krisis iklim yang paling dirasakan adalah kelompok perempuan nelayan dan petani yang kehidupannya bergantung pada lingkungan itu sendiri.
Melansir dari Unicef, anak muda di Indonesia merupakan salah satu kelompok di dunia yang menghadapi risiko dampak perubahan iklim yang tinggi dengan ancaman terhadap kesehatan, pendidikan, dan perlindungan mereka. Laporan Unicef mengemukakan, Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Secara global, Children’s Climate Risk Index (CCRI;2021) menemukan 240 juta anak mengalami keterpaparan tingkat tinggi terhadap banjir rob, 330 juta anak mengalami keterpaparan tingkat tinggi terhadap banjir sungai, dan 400 juta anak mengalami keterpaparan tingkat tinggi terhadap siklon. Dan, yang paling menarik perhatian dunia adalah 920 anak mengalami keterpaparan tingkat tinggi terhadap kelangkaan air dan seterusnya, seperti pencemaran laut, gelombang panas, dan polusi udara.
Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia dengan anak-anak yang paling berisiko terpapar dampak dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan.
Dengan situasi seperti ini, pemerintah perlu memberikan pendidikan serta pengetahuan tentang iklim dan lingkungan hidup sebagai keterampilan yang penting bagi kemampuan mereka beradaptasi dan mempersiapkan diri menghadapi efek perubahan iklim. Anak dan remaja adalah kelompok yang mengalami konsekuensi penuh dan terberat dari krisis iklim dan kelangkaan air. Pada saat yang sama, mereka memiliki andil yang terkecil dalam terjadinya perubahan iklim.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT menilai, berbagai krisis lingkungan, krisis sosial, dan perubahan iklim lahir dari cara berpikir pemangku kebijakan yang menyimpang dalam menarasikan pembanguan ke dalam konsep lingkungan hidup yang adil dan lestari. Di NTT, misalnya, ada banyak ketimpangan tata kelola lingkungan hidup yang mengakibatkan munculnya kemiskinan, kemerosotan moral, pengabaian terhadap lingkungan, kriminalisasi, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta perampasan ruang hidup masyarakat dan akses masyarakat terhadap sumber daya alam.
Dalam catatan Walhi NTT, tata kelola lingkungan mengalami kemunduran yang jauh. Kini semacam ada konsep egosentris yang memicu degredasi lingkungan, di mana motif kebijakan pembangunan saat ini masih mengutamakan kepentingan investor, pengusaha modal besar, yang tentu saja sejarah dan kontribusinya terhadap pelestarian lingkungan sangat buruk di NTT, lingkungan dan sumber daya alam hanya dijadikan obyek dan dieksploitasi tanpa memikirkan keberlanjutannya. Sudah tentu tanpa pengendalian yang ketat atas gerak peradaban industrial, lingkungan kian rusak dan kerusakan ini akan terus berkelanjutan yang dampak besarnya adalah bencana.
KOMPAS/HERYUNANTO
Sudah saatnya pemerintah menyikapi secara serius dalam urusan tata kelola lingkungan hidup karena segala sumber kehidupan dan pembangunan daerah bersumber dari lingkungan/alam. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan pun harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Selain itu, pemerintah juga harus berperan aktif dalam misi penyelamatan lingkungan bersama masyarakat. Di sinilah peran dan tanggungjawab negara hadir untuk memastikan keselamatan warga dan keberlanjutan lingkungan dapat berjalan secara baik.
Dengan demikian, upaya praktis penyelamatan lingkungan dan krisis iklim bukan masalah teknis ekologi semata, akan tetapi juga menyangkut teologi. Kita sudah hampir melupakan konsep-konsep teologi lingkungan dalam upaya pelestariannya. Karena persoalan lingkungan yang begitu kompleks dan adanya krisis sosial hari ini akan kepekaan kita terhadap lingkungan dapat berpotensi mendorong konflik sumber daya alam. Oleh karena itu, nilai-nilai agama dan kearifan lokal masyarakat adat dapat digunakan sebagai landasan berpijak dalam upaya penyelamatan lingkungan.
Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Enviromental Day), Walhi NTT mengajak seluruh elemen untuk bersolidaritas menyelamatkan planet bumi, membangun kesadaran publik akan pentingnya keberlanjutan lingkungan bagi seluruh kehidupan. Krisis sosial yang terjadi saat ini atas lingkungan hidup merupakan sebuah dehumanisasi. Kita kehilangan kepekaan, kehilangan harkat, dan kehilangan nilai-nilai kebaikan sebagai manusia atas tanggung jawab utama dalam menjaga lingkungan. Oleh karena itu, kita harus menciptakan budaya peduli lingkungan yang berkelanjutan.
Deddy Febrianto Holo, Koordinator Divisi Perubahan Iklim dan Kebencanaan Walhi NTT