Untuk memastikan pasokan minyak goreng domestik dengan harga terjangkau, pemerintah bisa menaikturunkan pajak ekspor. Dengan cara ini, insentif pelaku usaha untuk memasok minyak goreng ke pasar domestik lebih tinggi.
Oleh
KHUDORI
·5 menit baca
Ada dua tujuan utama tatkala pemerintah menata ulang tata niaga minyak goreng, yaitu ketersediaannya melimpah dengan harga terjangkau oleh masyarakat (umum). Tata ulang dilakukan pemerintah tatkala harga minyak goreng, baik curah maupun kemasan, melambung tinggi di pasar.
Harga minyak goreng naik tinggi sejak September 2021. Ini terkait kenaikan harga minyak nabati di pasar dunia, termasuk minyak kelapa sawit mentah (CPO), bahan baku minyak goreng di Indonesia. Sebagai gambaran, Januari 2019 harga CPO masih 537 dollar AS per ton, tetapi pada Maret 2022 melambung menjadi 1.823 dollar AS per ton atau naik 3,4 kali.
Sebelum beleid satu harga Rp 14.000 per liter untuk semua jenis minyak goreng pada 19 Januari 2022 (Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022), tata niaga minyak goreng adalah open trade dan open market. Karena bersifat terbuka, apa yang terjadi di pasar dunia langsung ditularkan ke pasar domestik.
Ketika harga bahan baku minyak goreng melambung tinggi, harga minyak goreng otomatis juga melompat tinggi. Sepenuhnya berlaku mekanisme pasar. Tak peduli Indonesia produsen dan eksportir sawit dunia nomor wahid. Satu-satunya rem guna memastikan harga (dan pasokan) domestik adalah pajak ekspor. Rem ini tak efektif.
Pemerintah, sebagai pemegang mandat dari negara, mencoba hadir untuk rakyat agar daya beli terhadap minyak goreng terjaga. Lewat Kementerian Perdagangan, aneka jurus diracik sejak November 2021. Tidak kurang delapan jurus dibuat dan dieksekusi, mulai dari wajib pasok kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO), wajib harga domestik (domectic price obligation/DPO) CPO dan olein, kebijakan satu harga, subsidi dan BLT minyak goreng, harga eceran tertinggi (HET), hingga pelarangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. Namun, semua jurus tampak masih belum cespleng.
Indikatornya jelas: ketersediaan minyak goreng di pasar masih terbatas dengan harga nangkring di atas HET. Khusus minyak goreng curah yang jadi sasaran kebijakan terakhir, ketersediaan sudah melampaui kebutuhan kala Presiden Joko Widodo mengumumkan mencabut larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya, 19 Mei 2022. Namun, harga masih tinggi. Menurut Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kemendag, 22 Mei 2022, harga minyak goreng curah Rp 17.000 per liter, di atas HET Rp 14.000 per liter.
Diakui atau tidak, pemerintah selama ini bagaikan orang buta: meraba-raba guna menemukan jurus menjinakkan sengkarut minyak goreng. Tampak bagaimana masyarakat jadi kelinci percobaan kebijakan coba-coba, trial and error, dan tidak berbasis evidence. Bukannya tertangani, karut-marut justru kian meruyak. Apalagi, pada awal tata ulang dilakukan pemerintah memborong dua fungsi sekaligus: regulator dan operator. Selain rawan konflik kepentingan, kala kebijakan tak efektif pemerintah jadi sasaran hujatan.
Diakui atau tidak, pemerintah selama ini bagaikan orang buta: meraba-raba guna menemukan jurus menjinakkan sengkarut minyak goreng.
Di luar itu, ada dua ”kesalahan” pemerintah. Pertama, intervensi pasar dengan ”melawan pasar”. Ini dilakukan dengan memaksa pelaku usaha menjual minyak goreng atau bahan bakunya jauh di bawah harga pasar, bahkan hanya separuh harga pasar. Yang terjadi kemudian adalah ”harga pemaksaan pemerintah”. Siapa yang mau menjual rugi?
Untuk memastikan intervensi pasar berjalan, ditempuh langkah kedua: intervensi nonpasar dengan melibatkan Satgas Pangan. Lewat satgas, pemerintah berharap aneka perilaku culas bisa ditindak. Masalahnya, mengundang polisi bisa memicu ketidakpastian usaha. Pengusaha yang beritikad baik bisa terjaring. Juga terbuka peluang pemerasan.
Dua langkah itu meniscayakan pasar gelap (black market). Karena di pasar ada dua harga dengan disparitas tinggi untuk barang yang sama. Misalnya, ketika pemerintah menetapkan CPO DMO Rp 9.300 per kg pada 1 Februari 2022, CPO di pasar lelang Rp 18.000 per kg. Kala minyak goreng dipatok dengan HET Rp 11.500 per liter hingga Rp 14.000 per liter, harga minyak goreng industri Rp 18.000 per liter dan di pasar dunia Rp 26.000-an per liter.
Pajak ekspor
Selain itu, aneka racikan kebijakan pemerintah tersebut mensyaratkan dua hal: data akurat dan pengawasan ketat. Sialnya, kedua hal itu belum bisa dipenuhi oleh pemerintah. Ini yang jadi penjelas mengapa aneka moral hazard terjadi: oplos, selundupan, dan lainnya.
Karena itu, kala pintu ekspor minyak goreng dan bahan bakunya kembali dibuka mulai 23 Mei 2022, pertanyaannya: bisakah dua tujuan tata ulang tata niaga minyak goreng bisa diraih? Sebenarnya, dalam tata niaga sawit Indonesia memiliki kebijakan sapu jagat: kombinasi pajak ekspor dan pungutan ekspor (levy) dipadu dengan hilirisasi dan mandatori biodiesel. Seiring kenaikan harga CPO dan produk turunannya, pemerintah lewat Menteri Keuangan menaikkan batas atas levy. Dengan cara ini, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berpeluang meraih pemasukan lebih tinggi.
Aneka racikan kebijakan pemerintah tersebut mensyaratkan dua hal: data akurat dan pengawasan ketat.
Untuk memastikan pasokan minyak goreng domestik dengan harga terjangkau, pemerintah bisa menaikturunkan pajak ekspor. Dengan cara ini, insentif pelaku usaha untuk memasok minyak goreng ke pasar domestik lebih tinggi ketimbang mengekspor.
Pada saat yang sama, upaya stabilisasi pasokan dan harga minyak goreng domestik tidak harus bertentangan dengan hilirasi dan mandatori biodiesel. Lebih dari itu, intervensi ini merupakan langkah yang ramah pasar dan diyakini tidak akan membuat pasar kacau. Beleid stop ekspor harus dihindari karena kerugian bagi perekonomian jauh lebih besar.
Bersamaan dengan itu, pemerintah harus mengurai masalah struktural di industri sawit. Pertama, mengintegrasikan industri minyak goreng dengan produsen CPO. Saat ini, kurang 10 dari 74 pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan kebun.
Kedua, efisiensi rantai pasok. Saat ini, 45 (60,8 persen) pabrik minyak goreng sawit ada di Jawa (BPS, 2021). Padahal, Jawa bukan produsen sawit. Ini yang membuat margin perdagangan dan pengangkutan tinggi, yaitu 17,41 persen.
Ketiga, menyehatkan pasar. Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), saat ini ada empat grup produsen raksasa minyak goreng menguasai 46,5 persen pasar. Mereka menguasai usaha hulu-hilir: dari perkebunan, pengolahan CPO hingga pabrik minyak goreng. Dengan pasar oligopolis ini, mereka leluasa mendikte pasar.
Jika tiga masalah struktural tersebut bisa diurai, instabilitas pasokan dan harga minyak goreng bisa diredam karena pasar sehat.
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)