Pandemi ini telah memberi ruang dan waktu bagi kita untuk melakukan hibernasi, juga sebagai ruang kreasi yang lebih optimal bagi seni pertunjukan, khususnya tari.
Oleh
PURNAWAN ANDRA
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Kang Sue-jin, penari, koreografer, dan Direktur Artistik Korean National Ballet, dalam pesannya pada peringatan Hari Tari Internasional, 29 April 2022, menyebut bahwa pandemi ini membuat kita memikirkan kembali arti ”menari” dan ”penari”. Di masa lalu, tari adalah sarana ekspresi dan komunikasi utama melalui gerak tubuh; menjadi performance art yang menggugah jiwa dan menginspirasi penonton. Tarian dibuat dari momen-momen fana, yang membuat para penari bergerak. Namun, Covid-19 telah membatasi, bahkan menghalangi, seni tari dalam bentuk aslinya.
Seiring berkembangnya teknologi, terlebih di masa pandemi, sajian komunikasi seni (tari) saat ini tidak lagi (hanya) muncul dalam ruang waktu yang terbatas, tetapi juga menerabas berbagai medium, mekanisme jaringan digital, hingga bentuk presentasinya. Platorm digital mengubah konfigurasi moda komunikasi dan membuka alternatif ruang untuk beradaptasi serta mengekspresikan gagasan dan imajinasi artistik.
Di masa pandemi ini, seturut Simone de Beauvoir, sesungguhnya dengan bergerak, tari menjadi tubuh yang menjadi (becoming), tubuh yang ingin menerobos batasan-batasannya. Dan dalam peristiwa tari, merunut Merleau-Ponty, bagaimana tubuh menjangkau lainnya sesungguhnya adalah pengalaman yang dibagikan, bukan pengalaman yang introver, sendiri, tetapi pengalaman yang menghadirkan (dan atau bersama) orang lain (Saras Dewi, 2020).
Pandemi menyatukan kehidupan tari sebagai wujud relasi keterhubungan, sebuah ruang interrelasi antara ketubuhan dan lingkungannya, antara konstruksi sosial dan logika kultural. Meskipun masih menyimpan catatan, tari mulai menjelajah lebih jauh pemanfaatan arena virtual untuk menemukan artikulasi artistik yang baru dan sesuai dengan platform yang ada.
Hal ini menjadi salah satu upaya dan pembuktian kemampuan seni dalam beradaptasi menghadapi kenyataan dan permasalahan zaman. Artinya, bukan aspek digital dan virtualitas yang mengatur hasil ekspresi seni, tetapi kita bisa membacanya sebagai suatu kenyataan bahwa karya seni mempunyai kemampuan yang bersifat terbuka, lentur, dan luwes dalam bentuk perwujudan artistiknya.
Tidak hanya sebagai sebuah pengalaman estetik, hal ini mendukung lahirnya sensasi dan sublimitas yang lain, yang baru. Merleau Ponty melalui teori kebertubuhan manusia menyebut bahwa ”tubuh dan segenap kebertubuhan adalah cara kita berkomunikasi dengan waktu dan ruang” di mana pun, tak terkecuali di ruang virtual di masa pandemi ini (Afianto, 2020).
ISTIMEWA/ANTIDA MUSIC PRODUCTION/ANGGARA MAHENDRA
Antida Music Production bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menghadirkan acara Panggung Seni Tradisi dengan menampilkan pementasan seni tradisi secara virtual. Pementasan tari Sanghyang Dedari, tari Kecak Ramayana, dan tari Sanghyang Jaran dari Sekaa (kelompok kesenian) Tari Kecak Trena Jenggala Padangtegal, Ubud, itu ditayangkan di kanal Youtube Antidamusic dan Kemenparekraf, Minggu (8/8/2021).
Definisi-definisi terkait berbagai bentuk ekspresi seni perlahan jadi mengabur dalam arus virtualitas yang membangun konsepsi baru dan perubahan fundamental terkait persepsi kita mengenai tari. Dengannya, tubuh yang telah berefleksi dan berkontemplasi dengan keadaan, yang telah menjelajah dalam konteks dan teknik yang semakin matang, bisa bergerak lebih bermakna sebagai ekspresi artistik.
Hal ini karena praktik ketubuhan dalam karya tari adalah praktik yang negosiatif dan berlangsung terus-menerus. Tubuh tari adalah ruang dialog yang mempertemukan pelbagai pengaruh yang bersifat kultural ataupun ideologis, seperti halnya merespons pandemi yang terjadi. Dengannya, tubuh tari sesudah pandemi telah mempunyai bekal untuk menjadi tubuh yang lebih berkualitas secara teknik, juga cerdas dan bernas mewacanakan ekspresinya.
Praktik ketubuhan dalam karya tari adalah praktik yang negosiatif dan berlangsung terus-menerus.
Karena berkaca pada sejarah, mengutip Kang Sue-jin, pada masa setelah terjadi pandemi pes (Black Death) di Eropa pada abad ke-14, lahir Giselle (Giselle, ou les Wilis), karya balet yang mendapat apresiasi luar biasa dari khalayak. Sejak tampil di Opera Paris, 28 Juni 1841, karya ini lalu pentas di seluruh dunia untuk menghibur dan menyemangati orang-orang pascapandemi. Penonton yang sedih, kesepian, dan haus akan simpati mendapat suntikan energi dari para penari. Para penari adalah harapan bagi hati mereka dan memberi keberanian untuk mengatasi pandemi yang terjadi.
Proses
Maka, penting bagi penari untuk meningkatkan kualitas tubuhnya sebagai media utama dan titik tolak wacana dan studi pada proses kekaryaannya. Eko Supriyanto (2018) menyebut penari memulai dialog tubuh, melakukan kontrol organik ketubuhan untuk memahami esensi gerak tubuhnya. Ia perlu melakukan penjelajahan menelusuri netralitas tubuh yang tidak lagi mengacu pada vokabuler tari tradisi tertentu. Ia menyelami diri lebih dalam untuk menemukan identitas pribadi dan keunikan dari setiap individu, dan kemudian merajutkan pendekatan fisikal dan kinestetik untuk mencapai sebuah gagasan dalam menciptakan karya.
Pengetahuan dan pengalaman inilah yang kemudian diolah terus-menerus, dipertanyakan, dielaborasi ke dalam konsep, dimaterialisasi ke dalam bentuk gerak, diintervensi, ditantang signifikansinya melalui serangkaian reinterpretasi, dilatihkan, dan akhirnya ditampilkan dalam sebuah eksekusi koreografi yang matang untuk merumuskan makna (Sal Murgiyanto, 2012).
Pandemi mengajarkan bahwa kita membutuhkan imajinasi budaya untuk menumbuhkan daya adaptasi dan kreasi ekspresi dan moda yang dibutuhkan dalam berekspresi. Selama ini kita terbiasa berpikir tentang budaya yang terkait dengan masa lalu, dengan konservasi, transmisi, dan pewarisan tradisi masyarakat tertentu. Tetapi, budaya juga memiliki wajah yang mengarah ke masa depan: kebudayaan yang maju, yang terwujud dari penemuan yang prospektif.
Yang utama adalah terus menggulirkan wacana tentang dampak seni bagi masyarakat, yakni bagaimana praktik seni dapat menjaga kelangsungan dan mendorong kohesi sosial. Pandemi ini telah memberi ruang dan waktu bagi kita untuk melakukan hibernasi, juga sebagai ruang kreasi yang lebih optimal bagi seni pertunjukan, khususnya tari.
Purnawan Andra, Alumnus Jurusan Tari ISI Surakarta; Bekerja di Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek