Refleksi Tiga Bulan Perang Rusia-Ukraina dan Dampaknya pada KTT G20
Pertemuan G20 akan diadakan saat tensi perang Rusia-Ukraina masih sangat tinggi. Pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa G20 tahun ini tidak bisa lagi berjalan normal.
Oleh
RADITYO DHARMAPUTRA
·5 menit baca
Selasa, 24 Mei 2022, tepat menandai tiga bulan invasi Rusia ke Ukraina yang telah menimbulkan perang berkepanjangan dan tragedi kemanusiaan yang terus terjadi. Perhatian masyarakat Indonesia yang awalnya cukup serius membahas perang ini mulai teralihkan dengan banyaknya isu lain. Namun, penting rasanya memulai bulan ketiga perang Rusia-Ukraina ini dengan beberapa refleksi mengenai dampak perang ini dan konsekuensinya bagi politik internasional, termasuk kemungkinan efeknya pada KTT G20 di Bali, November mendatang.
Pertama, semakin jelas bahwa invasi Rusia ke Ukraina tidak terlalu terkait dengan perluasan keanggotaan NATO. Kalau sejak awal invasi Rusia adalah upaya menyeimbangkan posisi NATO, maka Presiden Rusia Vladimir Putin sudah melakukan kesalahan fatal karena justru menguatkan solidaritas NATO. Perubahan sikap Finlandia dan Swedia yang memutuskan secara bersama mengajukan aplikasi keanggotaan NATO pada 18 Mei lalu menunjukkan indikasi nyata penguatan arti penting NATO bagi negara-negara Eropa.
Uniknya, respons Presiden Putin yang menganggap bahwa bergabungnya Swedia dan Finlandia ke NATO bisa diterima oleh Rusia semakin menunjukkan bahwa perang ini bukan soal NATO, melainkan soal Ukraina. Ambisi imperial Rusia yang merasa Ukraina adalah wilayah pengaruhnya dan bahwa Rusia memiliki hak untuk mengatur arah politik Ukraina karena keberadaan etnis serta penutur Rusia di sana menjadi alasan utama. Pengamat dan pengambil kebijakan Indonesia perlu menyadari hal ini dan lebih mendengarkan pandangan dari kawasan Eropa Timur, terutama dari Ukraina sebagai korban agresi.
Kedua, anggapan bahwa Rusia adalah negara besar secara militer, bahwa Ukraina lebih lemah, dan bahwa Rusia akan mampu menguasai Ukraina hanya dalam beberapa hari saja ternyata tidak terbukti. Sampai dengan bulan ketiga, Ukraina berhasil bertahan dan memukul balik Rusia dari beberapa wilayah yang sempat dikuasai di awal perang.
Perjuangan dan semangat juang rakyat Ukraina perlu digarisbawahi. Nasionalisme yang menguat apabila ada serangan dari luar dan solidaritas sebagai korban serangan sepertinya dilupakan oleh pihak penyerang. Hasil survei di Ukraina pada awal Mei 2022 menunjukkan penguatan identitas kebangsaan Ukraina dan kepercayaan bahwa mereka akan menang perang. Pelajaran penting dari aspek ini adalah bahwa invasi negara besar kepada negara kecil tidak saja terkait aspek kemampuan militer, tetapi juga terkait bangkitnya semangat nasionalisme dari korban.
Ketiga, banyak diskusi mengenai tidak efektifnya sanksi ekonomi dan politik terhadap Rusia melupakan satu aspek penting, yaitu dampaknya kepada masyarakat Rusia. Memang, sanksi politik dan ekonomi yang sudah diberikan sejak 2014 tidak berdampak pada perubahan sikap dari rezim yang memerintah. Namun, sanksi yang diberikan saat ini sepertinya memang ditujukan kepada masyarakat Rusia dan ditargetkan berlangsung dalam jangka panjang. Harapannya, masyarakat Rusia yang semakin menderita akan memprotes kebijakan perang dan meminta perubahan kebijakan.
Tentu debat soal moralitas sanksi macam ini akan terjadi. Namun, kita bisa melihat bagaimana gelombang demonstrasi antiperang di Rusia yang sempat terhenti karena kebijakan represif pemerintah dan propaganda masif di media lokal kembali muncul. Misalnya, dalam sebuah konser bang Kis-Kis di St Petersburg pada 20 Mei lalu, para penonton berteriak bersama mengecam perang. Oleh karena itu, argumen bahwa sanksi tidak berjalan dan perlu dihentikan jelas salah arah karena tidak melihat target jangka panjang dari sanksi tersebut.
Banyak diskusi mengenai tidak efektifnya sanksi ekonomi dan politik terhadap Rusia melupakan satu aspek penting, yaitu dampaknya kepada masyarakat Rusia.
Kemungkinan skenario lanjutan
Ada beberapa skenario yang mungkin terjadi dalam beberapa bulan ke depan, dan akan berdampak kepada penyelenggaraan KTT G20 di Indonesia. Satu prinsip yang pasti, mengutip pidato Presiden Polandia Andrzej Duda di Kiev, 20 Mei lalu, adalah dunia sudah berubah dan tidak akan kembali pada periode sebelum 24 Februari 2022. ”Business as usual” dengan Rusia tidak mungkin terjadi, terutama antara negara-negara Barat dengan Rusia, sebelum ada perubahan besar dalam pola perilaku Rusia terhadap tetangganya. Kondisi ini perlu menjadi perhatian Pemerintah Indonesia.
Skenario yang paling mungkin terjadi adalah kondisi imbang. Rusia akan menguasai wilayah Donbas, menguatkan pertahanan mereka di sana, dan memaksakan referendum bagi kota-kota seperti Kherson agar bergabung ke Rusia secara resmi. Ukraina tentu tidak akan menyerah dan akan berusaha mengambil kembali wilayahnya, tetapi serangan ke wilayah tersebut akan dianggap Rusia sebagai serangan pada negaranya.
Perang akan berlangsung lama dan negara-negara Barat akan terus membantu Ukraina. Dalam skenario ini, pertemuan G20 akan diadakan saat tensi masih sangat tinggi dan kehadiran Putin, baik langsung maupun virtual, tentu berpotensi menyebabkan boikot dari negara Barat. Kehadiran Zelenskyy, misalnya secara virtual, tidak lantas berarti AS dan negara-negara Eropa akan menerima kehadiran Putin.
Pada akhirnya, Pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa G20 tahun ini tidak bisa lagi berjalan normal. Suka atau tidak, invasi Rusia tiga bulan lalu telah mengubah dunia. Harapan bahwa perang akan selesai sebelum November perlu dikesampingkan, dan sebelum perang usai, sulit rasanya duduk bersama mendiskusikan bagaimana cara mengatasi krisis global sebagai dampak perang.
Indonesia perlu menerima fakta bahwa isu-isu krusial lain menjadi terkesampingkan karena perang. Indonesia juga tidak punya cukup modal untuk menjadi mediator perdamaian Rusia-Ukraina. Usulan agar forum G20 menjadi tempat bertemu AS-Rusia juga tidak sensitif karena meninggalkan peran Ukraina sebagai aktor utama.
Oleh karena itu, kontribusi Indonesia adalah tidak lagi memaksakan agenda dan tidak lagi bertindak sebagai pemimpin ataupun fasilitator, tetapi sebatas memberikan ruang bicara bagi pihak-pihak yang berseteru, terutama Ukraina. Jangan sampai G20 justru jadi ajang kompetisi kekuatan besar ataupun ajang ego presidensi semata dan melupakan posisi Ukraina sebagai korban perang.
Radityo Dharmaputra, Pengamat Kawasan Rusia dan Eropa Timur; Pengajar di Departemen Hubungan Internasional Universitas Airlangga; Sedang Menempuh S-3 di Johan Skytte Institute of Political Studies, University of Tartu, Estonia