Urgensi Filosofi Pendidikan bagi Guru
Penting bagi seorang guru untuk mengetahui alasannya mengajar dan apa yang menurut dia akan memberikan pendidikan terbaik bagi siswanya di dalam kelas.
Mempelajari filsafat sebagai bagian dari pendidikan berarti mempelajari cara terbaik orang dalam belajar, fondasi pemikiran dalam masyarakat kita dan masyarakat yang datang sebelum kita. Dengan mempelajari cara berpikir orang dan masyarakat sebelumnya, kita bisa melihat bagaimana masyarakat, norma, dan struktur dunia kita terbentuk dan bekerja. Beberapa orang percaya bahwa filsafat pendidikan adalah bagian terpenting dari pelatihan guru dan yang lain percaya bahwa itu sudah ketinggalan zaman dan tidak memiliki peran penting dalam praktik pendidikan.
Filsafat pendidikan merupakan sumber pengetahuan yang penting bagi guru untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya. Filsafat pendidikan membuat guru memahami pekerjaan mereka dan tahu apa yang mereka akan lakukan di kelas.
Menjadi guru bukanlah tugas yang mudah. Para guru pun sadar bahwa tugas-tugas di kelas tidak akan selalu berjalan mulus seperti yang diharapkan. Terkadang, siswa membawa sesuatu yang baru, pengetahuan baru, gagasan baru, pertanyaan baru atau bahkan ”menantang” pengetahuan mapan gurunya. Atau bahkan, ada siswa yang tidak mampu mencerna baik-baik apa yang disampaikan guru di depan kelas, sedangkan yang lain sangat mudah memahaminya.
Baca juga: Tugas Mulia Guru
Atau sebaliknya, guru tidak mampu memahami apa kebutuhan belajar siswa-siswanya sehingga tidak semua siswa memahami maksud gurunya. Dalam kasus seperti itu, guru harus mengetahui aspek filosofis bagaimana pembelajaran berlangsung sehingga mereka dapat memahami bagaimana anak berpikir, berinteraksi dan bereaksi, dan juga guru dapat mengetahui kebutuhan siswa dalam belajar.
Kurangnya eksplorasi
Ada banyak hal yang kurang dieksplorasi dalam pendidikan kita. Hal ini kemudian menimbulkan pendidikan dan pengajaran dalam kelas menjadi kurang berjalan lancar. Sebabnya ada banyak. Kemungkinan paling umum: kurangnya kesiapan guru, metode belajar monoton, kurangnya fasilitas, dan guru tidak melibatkan siswa dalam kelas. Ini adalah problem umum pendidikan kita.
Akan tetapi, ada problem yang jauh lebih penting untuk diketahui dan perlu mendapatkan perhatian besar: bagaimana seharusnya seorang guru memahami filosofi pendidikan dan memilikinya agar dapat bekerja di dalam kelas mengajar siswanya? Jika seorang guru tidak mampu akan hal itu, pengajaran di dalam kelas akan terasa hambar, meskipun didukung dengan begitu banyak fasilitas. Semua siswa tidak akan memiliki kesempatan untuk terlibat dan menampilkan ”warna” dirinya di dalam kelas.
Saya ambil contoh. Seandainya seorang guru menunjukkan sekuntum bunga kepada siswa-siswa di depan kelas. Bagi guru, bunga itu berwarna merah. Maka, sang guru kemudian meminta anak-anak untuk menyebut warna dari bunga itu. Kemungkinan besarnya, mayoritas siswa pasti akan menyebut bunga itu berwarna merah.
Namun, pernahkah guru bertanya mengapa mereka menjawab bunga itu berwarna merah? Bagaimana jika sebagian siswa dalam kelas itu menyebut bunga berwarna bukan merah, melainkan kuning kemerah-merahan? Atau, jauh lebih ”kontroversi” dan di luar nalar si guru tersebut: satu atau dua orang siswa menyebut bunga itu berwarna putih? Dia mungkin akan menunjukkan wajah yang penuh keheranan di hadapan semua siswa.
Guru tidak akan bertanya kepada siswa-siswa yang menjawab bunga berwarna merah. Karena baginya, jawaban itu benar adanya dan dapat diterima. Dia akan lebih fokus kepada siswa yang menjawab bunga dengan warna lain dan mengatakan jawaban itu salah. Atau mungkin, sang guru akan mengajukan pertanyaan: ”Mengapa kamu menyebut bunga itu berwarna putih?”
Bagi kebanyakan guru, anak-anak yang seperti ini pasti punya masalah, ”abnormal”, dan mesti segera ditangani. Jika tidak, akan semakin parah. Jika parah, akan mengganggu yang lain. Jika mengganggu, akan merusak sistem. Maka, perlu segera diperiksa. Paling sering, guru-guru yang suka menjustifikasi akan memaksa siswa itu untuk menerima jawaban mayoritas: ”Nak, bunga ini berwarna merah. Itu jawaban yang benar ya” dan tentu tanpa penjelasan lebih lanjut.
Baca juga: Mengedepankan Pedagogi Egalitarian
Jika guru mampu memahami setiap kebutuhan dan pengetahuan siswanya di dalam kelas, di kepalanya akan muncul pertanyaan: memangnya kenapa kalau bunga itu berwarna putih, hijau, atau kuning? Apakah bunga pernah menyebut dirinya bunga? Apakah bunga pernah menyebut dirinya memiliki warna?
Ini yang sering terjadi dalam pendidikan kita, dan diterima begitu saja. Jawaban yang kita terima sejak kecil hingga tumbuh dewasa selalu datang dalam defenisi yang tunggal. Bahwa merah jambu adalah soal kesepakatan bersama antarsetiap orang dan hanya jawaban itu yang dapat diterima. Bagi yang tidak sepakat bunga itu berwarna selain merah akan disebut salah. Atau, paling parah disebut pembangkang.
Jika pun jawaban itu salah, pernahkah guru menjelaskan mengapa jawaban itu salah? Mengapa jawaban ”bunga berwarna merah” itu benar? Apa alasannya? Daripada mencari siapa yang benar dan salah, bukankah semua jawaban seharusnya ditampung terlebih dahulu kemudian didiskusikan? Jawabannya: guru tidak punya waktu menjelaskan hal semacam itu dan berurusan dengan anak semacam itu. Lalu, apa gunanya belajar di sekolah?
Contoh lain dari salah kaprah pendidikan kita. Pelabelan bodoh dan pintar. Ini cara pikir biner. Kalau tidak bodoh, ya, pintar. Jawabannya hanya dua itu. Pendidikan kita selalu mendefinisikan bahwa anak-anak yang tidak bisa matematika adalah anak yang bodoh. Jika, anak-anak yang piawai bermain musik, menggambar, mengukir, menari, dan menyanyi, apakah kita pernah menyebut mereka pintar? Label pintar dan bodoh masih perlu didiskusikan bahkan perlu diperdebatkan. Dan, sudah semestinya label-label semacam itu dibuang jauh-jauh dari ruang-ruang kelas kita.
Bukan berarti anak-anak tidak diminta belajar matematika. Ini juga perlu diluruskan. Sekadar belajar berbeda dengan mendalami bidang itu. Disesuaikan saja dengan kebutuhan. Anak yang suka bermain musik butuh belajar matematika untuk menyelesaikan hal-hal dasar. Misalnya, membayar makanan seharga Rp 15.000 dengan uang Rp 50.000. Maka, dia perlu tahu berapa uang kembaliannya. Jadi, perlu ditekankan bahwa tidak ada anak-anak yang bodoh. Mereka semua pintar di jalannya masing-masing. Begitu seharusnya setiap orang mendefenisikannya.
Contoh lain. Cara kita mendefinisikan makna pengetahuan. Bahwa pengetahuan hanya bisa didapatkan apabila kita pergi ke sekolah (baca: pendidikan formal). Padahal, cara setiap orang dalam mendapatkan pengetahuan itu sangatlah berbeda-beda. Pengetahuan bisa didapatkan di mana saja, kapan saja, dan bisa saja didapatkan secara kebetulan: di sekolah, di kebun, di hutan, atau pun di jalanan.
Pengetahuan bisa didapatkan di mana saja, kapan saja, dan bisa saja didapatkan secara kebetulan: di sekolah, di kebun, di hutan, atau pun di jalanan.
Seorang anak bisa mendapatkan pengetahuan baru dari tukang becak yang sedang mangkal di terminal. Seorang mahasiswa bisa mendapatkan pengetahuan baru dari pedagang buku di depan kampus. Seorang guru bisa mendapatkan pengetahuan baru dari seorang anak kecil berusia lima tahun dengan segala imajinasi luar biasanya. Saya bisa mendapatkan pengetahuan baru dari mahasiswa di kelas saya. Dari siapa pun tanpa memberikan batasan.
Tidak ada pengetahuan yang tunggal dan superior. Jika pendidikan kita tidak mampu menampung setiap defenisi, perspektif, pandangan, dan pikiran dari masing-masing orang, apa artinya kita pergi ke sekolah? Sekolah bukan tempat untuk sukses belaka, tetapi tempat untuk mengaktifkan setiap pikiran kritis, dan setiap pikiran mestilah ditampung, bagaimanapun bentuknya, meski tidak sesuai dengan pikiran setiap orang bahkan penguasa.
Jika anak-anak hanya ke sekolah untuk menerima bulat-bulat apa yang diutarakan guru, itu sama saja tidak ada artinya (useless) menjadi manusia (human being). Kita hanya akan menghasilkan manusia-manusia tanpa jiwa (nekrofili), nirnalar, mental follower, dan akhirnya terjun ke masyarakat tanpa bekal apa pun dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Memiliki filosofi pendidikan
Filosofi pendidikan berfokus kepada seputaran pertanyaan: siapa yang harus dididik serta bagaimana mereka harus dididik, dan apa yang seharusnya diajarkan? Apakah pendidikan itu adalah hak? Atau, pendidikan itu adalah hak istimewa?
Haruskah pendidikan bersifat publik dan mengikuti kemauan penguasa? Atau haruskah itu menjadi tanggung jawab masing-masing keluarga, atau semata untuk pribadi? Haruskah etika dan moral menjadi bagian dari kurikulum? Haruskah etika dan moral menjadi kurikulum?
Haruskah siswa diajarkan dasar-dasar calistung (membaca, menulis, dan berhitung) saja atau haruskah mereka diajari kewarganegaraan juga? Bagaimana dengan belajar seni? Musik? Apakah anak-anak belajar paling baik dengan cara menghafal? Atau apakah belajar paling baik dengan cara melakukan dan mengalami?
Dalam lingkungan apa siswa belajar paling baik? Sekolah negeri atau swasta? Atau mungkin, di lingkungan yang ”tidak sekolah?” Haruskah anak-anak dengan cacat fisik, emosional, atau mental diberikan pendidikan publik? Jika demikian, apakah mereka harus dididik sebagai bagian dari populasi umum—atau secara terpisah di ruang kelas atau sekolah khusus?
Filosofi pendidikan berfokus kepada seputaran pertanyaan: siapa yang harus dididik serta bagaimana mereka harus dididik, dan apa yang seharusnya diajarkan?
Semua pertanyaan tersebut (dan lebih banyak lagi) telah menjadi bahan perdebatan dalam praktik pendidikan kita.
Karena itu, pentingnya untuk mendefenisikan kembali filosofi pendidikan kita. Misalnya, bagi seorang guru, penting untuk memiliki beberapa cara bagaimana mengevaluasi semua pendapat di kelas. Kapan seorang guru akan menjadi orang pertama yang secara sukarela mencoba sesuatu karena menurutnya itu ide yang bagus? Kapan seorang guru akan berdiri atau berbicara menentang sesuatu yang menurutnya ini bukan kepentingan terbaik bagi siswanya? Bagaimana seorang guru akan memutuskannya?
Filosofi pendidikan seorang guru tidak harus kaku, atau bahkan sesuatu yang dapat guru simpulkan dengan mudah. Namun, penting bagi seorang guru untuk mengetahui alasannya mengajar dan apa yang menurutnya akan memberikan pendidikan terbaik bagi siswa di dalam kelasnya. Jika tidak, seorang guru akan menemukan dirinya menjadi pion, memerankan filosofi orang lain, inkonsisten, yang tampaknya akan berubah sepanjang waktu.
Para filsuf sepanjang sejarah telah memperkenalkan pandangan dan teori yang berbeda mengenai bagaimana proses belajar berlangsung dan bagaimana para siswa belajar. Para guru mempelajari dan mendapatkan pengetahuan ini ketika mereka masih berstatus mahasiswa di perguruan tinggi dan “berenang” di dalamnya, memperoleh banyak hal serta pengalaman belajar tentang bagaimana mengatasi masalah-masalah pembelajaran dalam pendidikan. Mereka memperoleh ide dan pengalaman teoretis yang cukup untuk melakukan pekerjaan mereka dengan lebih baik di masa depan ketika menjadi seorang guru. Dengan mempelajari dan memahami apa yang mereka dapatkan, maka akan menjadi mudah bagi seorang guru untuk mempraktikkan filosofi pendidikan seperti apa yang cocok diaplikasikan ketika mereka mengajar.
Baca juga: Guru (Belum) Merdeka Belajar
Ketika seorang guru memahami filosofi pendidikan itu, maka kerangka filosofis yang ada akan membantu memfokuskan pembelajaran pada sifat universal, dari mana segala sesuatu datang dan bagaimana mereka berkembang. Kerangka filosofis bukan satu-satunya alat bagi siswa untuk memahami dan memasukkan pengetahuan ke dalam tugas yang selalu mereka kumpulkan di kelas.
Bagi saya, pengetahuan bisa saja datang secara alami karena saya sangat sadar di mana dan kapan rasa ingin tahu saya dipicu. Mengapa beberapa hal baru yang mengejutkan bisa muncul entah dari mana? Mengapa seorang seniman meninggalkan kanvas untuk seni instalasi dan seni pertunjukan? Mengapa musisi mau menghabiskan waktu menulis lirik lagu berjam-jam? Semua harus diperoleh dengan kesadaran kritis dan didiskusikan, bukan diterima begitu saja.
Dengan demikian, saya dapat mengakhiri tulisan ini dengan mengatakan bahwa kunci terpenting bagi guru untuk berhasil di kelas mereka, membuat pembelajaran lebih dapat dicapai dan dirasakan oleh setiap siswa adalah dengan memahami filosofi pendidikan dan bagaimana mempraktikkannya di dalam kelas. Selamat bertungkus lumus!
Roy Martin Simamora, Pengajar Filsafat Pendidikan PSP ISI Yogyakarta; Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan