Disrupsi pandemi membuka peluang untuk menyadari celah pendidikan tinggi yang dapat diselesaikan dengan teknologi. Namun, jika tidak segera menemukan nyawa barunya, perguruan tinggi barangkali tiba pada titik henti.
Oleh
ELISABETH RUKMINI
·5 menit baca
HERYUNANTO
Konvergensi, kata kunci utama cepatnya inovasi mendatang. Deret kecepatan perkembangan teknologi dalam suatu bidang berakselerasi bersama teknologi lain yang awalnya tidak berhubungan. Diamandis dan Kotler (The Future is Faster than You Think, 2020) menyebutkan ”the 6 Ds of exponentials technologies: Digitalization, Deception, Disruption, Demonetization, Dematerialization and Democratisation”. Dalam pendidikan, kita merindukan edukasi bagi kebutuhan pembelajar yang heterogen. Melalui teknologi digital, mesin belajar, kepandaian artifisial; personalisasi pendidikan dapat berkonvergensi.
Merujuk Paulo Freire, pendidikan sejatinya perlu membebaskan pembelajar untuk kritis dan kreatif. Kritik Freire terhadap pendidikan masih relevan, terutama pada konsep banking education. Konsep ini menjauhkan daya mencipta. Guru dan pembelajar berelasi dalam terminologi mengumpulkan, memberikan informasi, memenuhi tugas, kemudian melakukan daftar pekerjaan dalam industri massal.
Kerangka pikir ini tidak akan mencapai meaningful learning; yang mensyaratkan: penghargaan terhadap prior knowledge, materi yang bermakna, dan pilihan pembelajar. Konvergensi antara perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), teknologi edukasi, dan subyek; membantu pembelajar mengenali ketiga syarat meaningful learning itu. Dampaknya, siapa pun yang bisa berkonvergensi dengan teknologi digital bisa menjadi sumber belajar dan siapa pun memiliki sumber belajar. Ini menuntut syarat literasi digital dalam pendidikan.
Literasi digital dalam pendidikan mengandung dua pemeran utama: individu dan institusi. Secara individu, literasi digital berarti kemampuan untuk hidup, belajar, dan bekerja dalam komunitas digital. Bagi institusi pendidikan, literasi digital adalah upaya institusi menciptakan budaya dan infrastruktur untuk berpraktik digital. Kedua peran ini tidak perlu diperdebatkan mana dahulu yang harus tercapai. Keduanya perlu sinergi. Dalam dua tahun ini dapat dipastikan literasi digital dalam pendidikan meningkat pesat. Bagaimana dalam jangka mendatang?
Masa depan pendidikan tinggi
Sejak April 2022, sektor pendidikan tinggi mulai menambah jumlah pertemuan tatap muka, sesuai prokes. Interaksi tatap muka secara fisik memang dibutuhkan. Pembelajaran daring tidak sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan belajar.
Sementara itu, metaverse, yang dijanjikan akan mendukung interaksi pembelajaran, belum meluas tersedia. Apabila pun metaverse telah menjadi jawaban, tak semua kebutuhan interaksi belajar terpenuhi. Sebagai contoh, dalam lab kimia dan lab pangan terdapat interaksi dengan indera penciuman. Sensori bau dan rasa hingga saat ini belum dapat terpenuhi oleh augmented reality (AR) dan virtual reality (VR).
Skenario masa depan pendidikan tinggi telah terbaca dengan jelas. Disrupsi pandemi sudah membuka peluang untuk menyadari celah pendidikan tinggi yang dapat diselesaikan dengan teknologi. Dari sinilah lahir skenario-skenario pendidikan tinggi dalam 10 tahun mendatang.
Disrupsi pandemi sudah membuka peluang untuk menyadari celah pendidikan tinggi yang dapat diselesaikan dengan teknologi.
Sinyal kolaborasi, peer-to-peer, pertumbuhan start-ups bidang edukasi, penguatan regional, dan percepatan teknologi digital; membuahkan lima skenario (lihat Global Impact Intelligence https://www.holoniq.com/). Apabila perguruan tinggi tak jeli, bisa jadi kita kembali ke education as usual. Pertemuan tatap muka fisik memang dibutuhkan. Meskipun demikian, ada pilihan strategis agar tak terjebak dalam education as usual, misalnya menentukan praktik terbaik bagi desain belajar yang mengadopsi lanjutan teknologi edukasi.
Skenario kedua adalah kolaborasi regional yang menguat, termasuk kawasan di dalam negeri sendiri. Perguruan tinggi yang mampu berkolaborasi dengan daerah sedang mengarah kepada perkembangan masa depan yang menjanjikan. Michelle Weise (Long Life Learning: Preparing for Jobs that Don’t Even Exist Yet, 2020) menyebutkan sukses Phoenix University sebagai universitas terbuka karena kemampuan melihat non-traditional and non-consumers market (bukan lulusan baru SMA, bukan usia muda). Dalam sinyal kolaborasi penguatan kawasan, pasar yang tidak tradisional mudah dideteksi dan didekati.
Skenario ketiga, peer-to-peer learning tampak jelas melalui tumbuhnya kekuatan komunitas. Perkembangan start-ups edukasi mendukung tren micro-learning. Batas tipis antara pendidikan tinggi berupa keterampilan dan praktik di tempat riil versus teori di perguruan tinggi sudah lepas tuntas.
Skenario ini sangat jelas mengemuka, lalu di manakah tempat perguruan tinggi? Yang tak dapat terpenuhi dalam peer to peer learning adalah ketersediaan ekosistem riset dan mentoring. Barangkali perguruan tinggi perlu transformasi pada fokus tersebut. Penyediaan fasilitas terbuka dan mentor beserta ekosistem riset akan mendorong konsumen pendidikan berinovasi. Apabila universitas tak siap, bakal tergerus oleh peer to peer learning yang masif dengan keahlian khusus, cepat, tepat, dan responsif.
Skenario keempat: tumbuhnya raksasa bisnis bidang edukasi. Sementara skenario kelima, perkembangan otomatisasi menunjukkan tren peningkatan. Apabila universitas kembali kepada bisnis lama sebelum pandemi, maka jelaslah gerusan raksasa ini melanda perguruan tinggi kita. Bisnis bidang edukasi terbuka luas tanpa batas negara. Transaksi lintas negara pun semakin mudah. Ini berarti kebutuhan sumber daya manusia (SDM) terpenuhi dari beragam tawaran.
Sementara itu, adopsi teknologi edukasi di perguruan tinggi tak semudah dan secepat sektor industri lainnya. Faktor penghambat dari regulasi dan harga sudah pasti di depan mata. Jika demikian, di luar perguruan tinggi, teknologi sudah dipakai. Ironi ini memberikan pilihan segar bagi konsumen pendidikan tinggi, tanpa memilih perguruan tinggi.
Fungsi inkubator dan penilai dapat menjadi pilihan perguruan tinggi masa depan. Sebagai fungsi inkubator, perguruan tinggi menyediakan ekosistem untuk berkembang bagi segala usia dengan bentuk program beragam. Sebagai penilai, perguruan tinggi menilai dan memberikan jaminan atas mutu ketercapaian individu. Universitas tetap menjalankan esensi kebebasan berpikirnya, dalam makna independensi ini ia layak menjadi penilai yang independen atas agregat ketercapaian kumpulan pengetahuan dan keterampilan pembelajar. Dengan kedua fungsi utama itu, perguruan tinggi dapat lentur menuju skenario masa depan. Apabila tak segera menemukan nyawa barunya, perguruan tinggi barangkali tiba pada titik henti.
Elisabeth Rukmini, Dosen dan Manager of Strategic Development di Universitas Bina Nusantara