24 Tahun Tragedi Trisakti dalam Pencarian Keadilan
Pemberian material oleh pemerintah kepada keluarga korban Tragedi Trisakti dapat menjadi sebuah pengakuan politik atas kejahatan yang dialami sanak keluarga mereka. Namun ini tak membatasi pencarian keadilan bagi korban.
Pemberian material oleh pemerintah kepada korban tragedi hak asasi manusia (HAM) bisa menjadi semacam politik pengakuan atas kekejaman. Pemberian material tidak bisa menjadi politik penggantian kerugian atas kehilangan sanak famili, apalagi menghapuskan kewajiban negara menegakkan keadilan.
Pengakuan politik atas kekejaman inilah yang mungkin melatarbelakangi sikap keluarga korban tragedi penembakan mahasiswa di Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, ketika baru-baru ini menerima pemberian material berupa uang dan rumah dari pemerintah.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Atas nama Presiden Joko Widodo, dan bertempat di kediaman Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Haru Koesmahargyo, Menteri BUMN Erick Thohir menyerahkan empat rumah bagi keluarga korban. Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto juga menyerahkan uang senilai Rp 2 miliar kepada mereka, masing-masing keluarga korban senilai Rp 750 juta.
Baca juga: Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Masih Tak Tentu
Kita menghargai pemberian tersebut. Kita juga menghormati keputusan keluarga korban dengan kebebasan sikapnya menerima pemberian itu. Seperti dikatakan di awal, pemberian material oleh pemerintah kepada keluarga korban memang dapat menjadi sebuah pengakuan politik atas kejahatan yang dialami sanak keluarga mereka.
Tinggal apakah itu dimaksudkan sebagai awal kebijakan politik pengakuan dalam kerangka pemenuhan keadilan korban yang lebih luas? Pertanyaan moral dan politik lainnya adalah sejauh mana pemberian itu mengandung keadilan? Bagaimana kerangka teoretik dan praktik di negara lain? Mengapa tidak langsung dari presiden atau menteri terkait HAM? Bagaimana perumusan kebijakan pemberian material dan pilihan korban ditetapkan oleh pemerintah?
Ide-ide keadilan
Berbagai pertanyaan dan perbedaan pendapat adalah bagian dari proses pencarian bersama untuk menemukan keadilan. Tidak mudah. Amartya Sen dalam bukunya, The Idea of Justice (2009), menjelaskan berbagai dimensi dari ide tentang keadilan yang cukup relevan, khususnya jika dikaitkan dengan konteks pencarian korban menemukan keadilan yang hakiki.
Salah satunya adalah bahwa ide keadilan membawa imajinasi tentang kebebasan yang menjamin kesejahteraan (welfare). Dari ide ini wajarlah jika manusia membutuhkan kepemilikan material. Keadilan juga membawa imajinasi tentang kebebasan yang menjamin tercapainya kebahagiaan (well-being). Agak berbeda dengan sebelumnya, ide ini lebih mengutamakan kesentosaan diri dan cenderung kurang mengutamakan kepemilikan material sebagai kebutuhan utama.
Jika yang pertama sangat dekat dengan ide keadilan sosial (social justice), maka ide yang kedua cukup dekat dengan imajinasi keadilan hukum (legal justice).
Dimensi-dimensi ide keadilan, menurut Sen, kerap kali berada dalam ketegangan antara prosedur mencari keadilan dan hasil keadilan yang ditemukan.
Dimensi-dimensi ide keadilan, menurut Sen, kerap kali berada dalam ketegangan antara prosedur mencari keadilan dan hasil keadilan yang ditemukan. Bahkan, ia melihat ada kesalahpahaman di kalangan pemikir sendiri, seperti Jurgen Habermas dan John Rawls, dalam melihat pentingnya deliberasi publik dalam demokrasi serta bagaimana penalaran publik ikut menentukan konsep dan wujud keadilan.
Meskipun senada, Sen menilai Rawls hanya memfokuskan teori keadilan dalam tradisi hak-hak liberal: kebebasan berkeyakinan dan nurani, perlindungan hak hidup, kebebasan personal dan hak atas properti. Properti pun, menurut dia, kurang menonjolkan hak-hak sosial yang penting agar tercipta kesejahteraan dan keadilan sosial, yang dinilai Sen merupakan bagian integral dari kebebasan.
Barangkali memang tak akan pernah mudah menemukan rasa keadilan. Sejarah menunjukkan pencarian keadilan adalah perjuangan abadi manusia. Berbagai konsep filsafat politik tentang keadilan telah begitu banyak dilahirkan. Pada akhirnya sarana mencari dan menemukannya atau tindakan politik untuk mewujudkannya ke dalam realitas tidaklah mudah.
Belajar dari Argentina
Pemberian material bukanlah hal tabu dalam konteks menjawab tuntutan keadilan korban sejauh itu mengangkat harkat dan martabat korban. Berbagai teks hukum internasional dan hukum kebiasaan, yurisprudensi, serta pendapat para juris telah menyediakan panduan pemenuhan hak-hak korban, antara lain hak atas kebenaran, hak atas keadilan hukum, hak atas reparasi, dan hak atas jaminan ketidakberulangan di masa depan.
Sejumlah negara telah mempraktikkan pemberian material sebagai satu dari sekian pelaksanaan kewajiban negara dalam memenuhi hak dan keadilan korban. Sebagai contoh, pada 2004 pemerintah Argentina menyediakan 3 miliar dollar AS sebagai ganti rugi untuk orang-orang yang ditahan tanpa pengadilan dari tahun 1976 hingga 1979.
Argentina menyediakan rumah sebagai bentuk pengembalian rumah mereka yang dirampas, mengganti tunjangan, dan menyediakan uang pensiun bagi korban yang kehilangan pekerjaan, serta beasiswa pendidikan hingga perguruan tinggi bagi keluarga korban.
Mereka menilai pemberian material sebagai bentuk pengakuan atas kekejaman. Ada pula yang menganggap reparasi sebagai kompensasi atas penderitaan mereka tetapi bukan kompensasi atas kerugian mereka karena kerugian mereka bukanlah sesuatu yang dapat diukur. Apresiatif.
Baca juga: Banyak yang Belum Terungkap, Kerusuhan Mei 1998 Serasa Mimpi
Akan tetapi, pendapat mereka berubah ketika impunitas ada dan banyak pelaku tidak diadili. Mereka lalu menuduh negara mencoba membeli keheningan dan kepatuhan mereka. Pencarian keadilan terus berlanjut di tahun-tahun selanjutnya hingga terjadi perubahan politik yang pro-keadilan korban.
Argentina sempat menghentikan penuntutan, termasuk saat Mahkamah Agung telah mencabut pengampunan dan undang-undang amnesti yang melindungi pelaku kejahatan era kediktatoran 1976-1983. Namun, penuntutan kembali berlanjut. Per Juni 2021, kejaksaan agung setempat mencatat 3.493 orang didakwa, 1.030 pelaku divonis bersama, dan hanya 159 orang dibebaskan.
Dari 631 investigasi kejahatan terhadap kemanusiaan, hakim telah mengeluarkan 256 putusan. Pada Agustus 2021, 130 korban yang ”diambil” secara ilegal dari orangtua mereka sebagai anak-anak telah diidentifikasi dan banyak yang telah dipersatukan kembali dengan keluarga mereka.
Belajar dari Argentina, jelas bahwa pencarian korban atas keadilan tidak dapat dibatasi oleh apa yang disebut reparasi, apalagi sekadar pemberian kompensasi material.
Pemilu sarana penghakiman
Kembali kepada pemberian material di atas, sulit dimungkiri adanya pandangan yang menilai pemberian itu sekadar politik pencitraan sang pemberi. Ini wajar karena kedua menteri tersebut belakangan memang intensif ”mengiklankan” diri untuk meraih dukungan menjelang momen pemilihan presiden pada 2024. Bagaimana sebaiknya kita memandang hal tersebut?
Pemilu adalah sarana demokrasi yang diharapkan membawa keadilan. Tetapi, pemilu belum tentu menghasilkan keadilan. Sejarah menunjukkan pemerintahan yang otoriter atau pemimpin tiran dapat terpilih (dan terpilih kembali) melalui pemilu. Bahkan, resesi demokrasi global hari ini bukan disebabkan oleh interupsi politik berupa kudeta militer atau perang sipil, melainkan oleh tindakan antidemokrasi dan anti-HAM dari pemimpin yang terpilih melalui pemilu demokratis.
Sulit dimungkiri adanya pandangan yang menilai pemberian itu sekadar politik pencitraan sang pemberi.
Pemilu adalah realitas politik yang tidak bisa dihindari. Karena itu, pemilu harus dilihat sebagai sarana untuk memilih pemimpin yang adil dan berani menegakkan keadilan. Pemilu tidak boleh jadi pesta politik di mana rakyat hanya datang ke kotak suara seperti datang ke pesta tanpa dapat mengontrol apa yang terjadi setelah pesta. Pemilu harus bisa dijadikan sarana untuk menghakimi pemimpin yang tiran dan enggan membela keadilan.
Di sinilah mungkin kita perlu meletakkan perbedaan pendapat tentang pemberian material bagi korban oleh dua menteri yang tengah bersiap mengikuti pemilu. Kalau benar motivasinya adalah meraih dukungan suara, memang setiap kontestan pemilu harus berani mempertaruhkan pikiran dan tindakan mereka sesuai harapan pemilih, termasuk korban yang mencari keadilan.
Tantangan ke depan
Pemberian material bagi korban Tragedi Trisakti seharusnya dapat dijadikan awal pengakuan politik resmi atas kekejaman masa lalu negara terhadap gerakan mahasiswa. Pemberian itu perlu dikembangkan bukan dalam kapasitas menteri secara pribadi, melainkan pemerintah dan negara.
Baca juga: Maaf, Negara Belum Hadir Sepenuhnya
Para pemimpin lembaga negara kita juga diharapkan dapat menjadi negarawan: memperhatikan seluruh korban tragedi HAM dalam kedudukan setara dan tanpa diskriminasi, baik yang terbuka atas pemberian material maupun yang tetap menuntut penghukuman pelaku. Ini adalah prinsip-prinsip terdasar hak asasi manusia dan titik tolak semua hak, kebebasan, dan keadilan.
Pemberian sebagai derma karitatif atau bakti sosial adalah kebaikan. Tetapi, kebijakan resmi negara juga dibutuhkan agar tindakan seperti itu benar-benar mengubah kehidupan sosial korban dan sejarah bangsa kita, termasuk melahirkan moralitas kolektif yang baru dan menunaikan kewajiban negara atas rasa keadilan korban.
Usman Hamid, Director Amnesty International Indonesia; Twitter: @amnestyIndo; IG: Instagram: @amnestyIndonesia