Indonesia sudah hampir 77 tahun merdeka, tetapi ada wilayah udara yang dikuasai asing, yaitu Singapura. Diperlukan aksi cepat agar kedaulatan udara Indonesia segera dikembalikan Singapura.
Oleh
MUSTAKIM
·5 menit baca
Harian Kompas pada 17 Mei 2022 memuat foto dengan judul ”Pesawat Asing Dipaksa Mendarat di Batam” dengan berita ”Pesawat asing dengan tipe DA62 diamankan di Bandara Internasional Hang Nadim, Batam, Kepulauan Riau, Senin (16/5/2022). Pesawat asing dengan nomor registrasi G-DVOR yang terbang dari Kuching ke Senai, Malaysia, itu dipaksa mendarat oleh TNI AU pada Jumat (13/5) karena tidak memiliki izin melintas di wilayah udara Indonesia.”
Dalam Kompas TV (14/5) diberitakan bahwa pilot yang berkewarganegaraan Inggris menanyakan kepada petugas apa salahnya. Dijawab kalau mau ke Indonesia butuh izin. Menurut pilot, yang bersangkutan telah terbang seperti itu tiga kali dari ke Johor Bahru, setelah itu ke Singapura. Oleh Singapura diberi tahu bahwa tidak perlu permit.
Ini peristiwa yang tragis karena mau lewat wilayah kedaulatan udara Indonesia disebutkan tidak perlu minta permit. Mengapa ini terjadi?
Ini merupakan masalah tragis, seolah-olah dilupakan ada sebagian wilayah kedaulatan udara Indonesia, yaitu di Kepulauan Natuna dan Kepulauan Riau, yang sejak tahun 1944 dikuasasi oleh Inggris dan kemudian dilanjutkan oleh Singapura setelah Indonesia merdeka. Artinya, setiap pesawat sipil dan militer yang akan melintasi wilayah tersebut harus mendapat izin dan persetujuan dari Singapura, yang dikenal dengan flight clearance, termasuk pesawat Indonesia, bahkan pesawat VVIP yang akan melintasi wilayah udaranya sendiri.
Di mana letak ketahanan dan keamanan pertahanan Indonesia? Belum lagi masalah ekonomi karena setiap pesawat yang melintasi wilayah tersebut juga harus membayar fee kepada Singapura. Hal ini disebabkan Indonesia dianggap oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization/ICAO) belum mampu mengelola keamanan penerbangan wilayah udara yang padat lalu lintasnya tersebut.
Orde Baru yang mempunyai Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) demi Repelita ataupun pemerintahan zaman Reformasi tidak mempunyai program untuk mengontrol dan mengelola kembali wilayah kedaulatan udara tersebut dengan membangun sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang diperlukan.
Penjelasan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan M Pramintohadi Sukarno mengenai ”Transporasi Udara Indonesia Lepas Landas” tahun 2018 juga tidak menyinggung sedikit pun bagaimana untuk mengambil alih kembali wilayah udara Indonesia yang dikuasai Singapura tersebut, yang dalam dunia penerbangan dikenal dengan istilah flight information region (FIR), sehingga Singapura merasa superior atas Indonesia.
Kalau kita kembali ke Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, kesadaran kedaulatan udara memang belum menjadi pemikiran. Pengetahuan mengenai kedaulatan udara belum menjadi simbol karena memang baru tanah dan air sesuai dengan teknologi di zamannya, dan belum tanah, air, dan udara.
Juga dalam lagu anak-anak disebut ”nenek moyangku orang pelaut”. Hal ini juga tecermin dalam Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang mendeklarasikan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dan laut-laut antara pulau di Indonesia merupakan wilayah Indonesia dan bukan merupakan laut bebas, yang mendapat tentangan dari sejumlah negara.
PBB pun membahasnya dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada tahun 1958 dan baru disetujui tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika. Berarti perjuangan Indonesia untuk pengakuan Deklarasi Djuanda oleh dunia internasional memakan waktu cukup lama, yaitu 24 tahun.
Berdasarkan Pasal 6 UU Nomor 43 Tahun 2003 tentang Wilayah Negara dikatakan bahwa wilayah udara Indonesia mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut.
Ruang udara
Ada hikmah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, disebut dalam Pasal 2 Ayat (2) bahwa ”Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya”. Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 dan telah mendepositkan piagam ratifikasinya pada Sekretariat Jenderal PBB tanggal 3 Februari 1986.
Indonesia mengeluarkan UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia di mana dalam Pasal 4 disebutkan, ”Kedaulatan negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman, serta ruang udara di atas laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.
Berdasarkan Pasal 6 UU Nomor 43 Tahun 2003 tentang Wilayah Negara dikatakan bahwa wilayah udara Indonesia mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut. Dalam Pasal 5 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan disebut ruang udara merupakan bagian kedaulatan wilayah suatu negara, yang berarti termasuk wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna. Ini sesuai juga dengan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.
Pada tanggal 8 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo saat bertemu Perdana Menteri Lee Hsien Loong di Singapura dalam rangka pertemuan tahunan telah menyampaikan keinginan Indonesia untuk mengelola wilayah udaranya sendiri, yaitu di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Anehnya, PM Lee Hsien Loong juga menyampaikan agar Indonesia menghormati dan mengakui hak Singapura untuk melakukan latihan militer di Laut China Selatan serta kepentingan Singapura terkait masa depan Bandara Changi.
Dengan adanya pandemi Covid-19, kelihatannya perundingan atau pembahasan pengembalian FIR tersebut kepada Indonesia terkendala. Singapura sebagai negara tetangga langsung dan sesama negara ASEAN seharusnya dengan sukarela mengembalikan pengelolaan FIR tersebut, yang memang hak dan kepunyaan Indonesia. Ini, misalnya, terjadi antara Thailand dan Kamboja. Thailand menguasai FIR Kamboja dan dengan komunikasi di antara kedua negara, Thailand secara sukarela mau menyerahkan kembali FIR Kamboja pada tahun 2002.
Singapura merasa superior atas Indonesia karena menguasai dan mengontrol wilayah udara Indonesia, dan tidak peduli dengan slogan kerja sama ASEAN. Indonesia, misalnya, berkepentingan untuk mengekstradisi orang-orang Indonesia yang diduga melakukan korupsi dan bersembunyi di Singapura, tetapi Singapura menolaknya. Singapura baru mau membuat perjanjian ekstradisi, tetapi dikaitkan dengan perjanjian pertahanan.
Kedua perjanjian tersebut ditandatangani di Istana Tampaksiring, Bali, pada tanggal 28 April 2007 oleh kedua menlu untuk perjanjian ekstradisi dan kedua menteri pertahanan untuk perjanjian pertahanan. DPR tidak menyetujui ratifikasi perjanjian pertahanan tersebut karena ada hak Singapura untuk mengundang negara ketiga ikut latihan militer.
Di sinilah perlunya aksi cepat agar kedaulatan udara Indonesia segera dikembalikan oleh Singapura mengingat Indonesia sudah hampir 77 tahun merdeka, tetapi masih ada wilayah udara yang FIR-nya dikendalikan oleh negara asing, yaitu Singapura.
Mustakim, Lulusan Fakultas Hukum UI; Mantan Diplomat