Evaluasi Mudik 2022
Kelancaran arus mudik dan balik tahun ini dinilai lebih baik. Dukungan kesiapan infrastruktur dan rekayasa lalu lintas berpengaruh signifikan. Harapan ke depan, mudik dapat berlangsung dengan penggunaan energi bersih.
Dari perspektif teori Path Dependence, tradisi mudik Lebaran secara massal kemungkinan besar mulai eksis di era kolonialis Belanda pada akhir dekade 1920-an.
Hal ini dimungkinkan dengan berkembangnya teknologi transportasi massal (trem dan kereta api) dan masifnya pembangunan jaringan rel kereta api (KA) dan jalan raya, terutama di Jawa, akhir dekade itu. Urbanisasi yang dipicu revolusi industri dan politik etis zaman Hindia Belanda menjadi faktor pendorong lainnya. Pascakemerdekaan, istilah mudik mulai populer tahun 1970-an.
Selanjutnya, tradisi mudik melekat dalam budaya masyarakat Indonesia. Kini, fenomena mudik menciptakan pergerakan ritual tahunan secara kolosal dengan kecenderungan membeludaknya arus kendaraan dan manusia di jalanan keluar dari kota-kota besar, terutama megapolitan Jabodetabek.
Pengelolaan mudik Lebaran sebelum pandemi, pada 2019, dan mudik 2022, sama-sama dibilang sukses. Namun, kinerja tahun ini bisa dikatakan lebih baik kendati dibayang-bayangi potensi lonjakan kasus Covid-19. Hal ini setidaknya dilihat dari aspek kelancaran transportasi/mobilitas dan angka kecelakaan/fatalitas lalu lintas.
Pergerakan arus mudik dan balik dari dan ke Jabodetabek masih jadi barometer.
Kelancaran mobilitas terkait dengan kesiapan infrastruktur, moda transportasi publik, dan strategi pengelolaan lalu lintas, kendati waktu persiapan relatif singkat, yakni hanya satu bulan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan boleh mudik 23 Maret lalu.
Kelancaran lalu lintas
Pergerakan arus mudik dan balik dari dan ke Jabodetabek masih jadi barometer. Dari prediksi sekitar 85,5 juta potensi pemudik secara nasional, 14,3 juta berasal dari Jabodetabek. Hasil penghitungan jumlah penumpang oleh Balitbang Kemenhub, berdasarkan jumlah semua moda transportasi yang keluar dari Jabodetabek sejak H-7 hingga H-1, termasuk sepeda motor, jumlah pemudik dari Jabodetabek mencapai 13 juta. Ini belum termasuk pemudik yang berangkat di luar rentang waktu itu dan pemudik ke destinasi dalam wilayah aglomerasi Jabodetabek sendiri.
Angka prediksi nasional mungkin perlu ”dihaluskan” lagi dengan persentase penduduk yang secara kultural berpotensi mudik dan mengeluarkan penduduk perdesaan dari perhitungan potensi pemudik. Untuk Jabodetabek, selain proporsi penduduk perdesaan kecil, mobilitas penduduknya tinggi.
Baca juga: Mudik dalam Konteks Demografi, Ekonomi, dan Dimensi Sosio-Kultural
Jalan tol seperti Jalan Tol Trans-Jawa (JTTJ) dan Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS) serta jalan arteri seperti jalur pantura tak didesain khusus untuk menampung beban lalu lintas mudik yang hanya berlangsung setahun sekali. Artinya, membeludaknya volume lalu lintas pemudik setiap musim Lebaran, termasuk di jalan-jalan tol, hal yang tak bisa dihindari. Maka, strategi dalam mengelola arus mudik dan arus baliknya jadi tantangan utama.
Dari aspek kelancaran lalu lintas, selama musim mudik Lebaran tidak ditemui kemacetan ”ekstrem” (hingga 24 jam atau lebih). Kemacetan terjadi, tetapi relatif dapat ditoleransi, misalnya kemacetan akses menuju pelabuhan penyeberangan Merak sekitar lima jam.
Di jalan tol Jakarta-Cikampek, sejak H-10 sampai H-1 (22 April–2 Mei) total dua juta kendaraan meninggalkan Jabodetabek. Di jalan tol ini, kendati lonjakan volume lalu lintas luar biasa, kondisi lalu lintas dapat dikendalikan. Ini yang membedakan dengan 2019. Pada 2019 butuh waktu hingga 24 jam untuk mengurai kepadatan luar biasa di berbagai segmen jalan tol Jakarta-Cikampek. Juga tak ada kemacetan yang parah pada ruas-ruas jalan tol lainnya di JTTJ dan JTTS. Perlambatan memang terjadi akibat tingginya volume lalu lintas, tetapi tak terjadi stagnasi.
Didie SW
Presiden Jokowi mengakui keberhasilan penanganan mudik tahun ini. Indikatornya, terutama relatif kecilnya komplain dari masyarakat dan tak ada pemudik terjebak dalam kemacetan yang terlampau lama (24 jam atau lebih). Koordinasi dengan berbagai pihak terkait secara intensif kiranya menjadi kunci sehingga tidak terjadi kepadatan yang berarti.
Jauh sebelum hari-H, telah dilakukan survei, simulasi, diskusi, rapat-rapat koordinasi, dan rekomendasi untuk dieksekusi para penanggung jawab di lapangan. Simulasi rekayasa lalu lintas dilaksanakan berulang kali dengan berbagai asumsi. Pos-pos layanan/pemantauan/pengamanan kemudian didirikan, baik di jalan tol, jalan arteri, terminal, pelabuhan, maupun bandara.
Secara simultan dibentuk pos koordinasi (posko) angkutan Lebaran terpadu melibatkan semua kementerian dan lembaga terkait, yang sangat penting untuk mengomunikasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan mudik, termasuk dalam mengantisipasi puncak mudik dan arus balik.
Secara ringkas aspek pengelolaan yang menunjang keberhasilan penyelenggaraan mudik Lebaran 2022 meliputi manajemen waktu, rekayasa lalu lintas, dan manajemen informasi.
Secara ringkas aspek pengelolaan yang menunjang keberhasilan penyelenggaraan mudik Lebaran 2022 meliputi manajemen waktu, rekayasa lalu lintas, dan manajemen informasi. Dari aspek waktu, cuti bersama yang cukup panjang ditambah work from home (WFH) selama satu minggu bagi aparatur sipil negara pasca-Lebaran membuat pilihan waktu mudik dan balik lebih fleksibel sehingga pola distribusi arus mudik dan arus balik menjadi lebih landai dan lebih manageable.
Dari aspek lalu lintas, rekayasa seperti ganjil genap, lawan arus, dan satu arah pada jalan tol, serta buka-tutup pada jalur arteri terbukti berhasil mencegah kemacetan parah. Dari aspek manajemen informasi, pemanfaatan teknologi informasi untuk memonitor secara real time kondisi jalan dan simpul-simpul transportasi membantu pengambilan keputusan secara tepat dan cepat, baik pada posko terpadu maupun posko di lapangan, dan menyediakan informasi kepada masyarakat (pemudik) secara akurat.
Kelancaran arus mudik dan balik tahun ini juga didukung kesiapan infrastruktur yang lebih baik. Tahun 2022, seluruh ruas JTTJ sudah tersambung dari Merak hingga Probolinggo. Panjang ruas JTTJ yang siap digunakan (operasional dan fungsional) pada musim Lebaran 2022 mencapai 1.619 kilometer, sedangkan tahun 2019 baru mencapai 985 kilometer.
Infografik Total Penumpang Arus Mudik dan Balik Lebaran 2022
Demikian pula panjang JTTS yang siap digunakan pada Lebaran 2022 mencapai 673 kilometer. Pada 2019, baru 503 kilometer. Secara nasional, panjang jalan tol yang siap mendukung arus mudik/balik sekitar 2.500 kilometer. Pada 2019 baru sekitar 1.600 kilometer.
Di sekitar Jabodetabek juga terdapat ruas-ruas jalan tol ataupun non-jalan tol baru yang ikut mendukung kelancaran lalu lintas. Sebut saja Jalan Layang Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) sepanjang 38 kilometer yang dibangun 2017-2019 di tengah jalan tol Jakarta-Cikampek. Jalan ini belum beroperasi pada musim Lebaran 2019.
Dengan adanya Jalan Layang MBZ, kapasitas jalan tol Jakarta-Cikampek menjadi empat lajur untuk kedua arah. Hal itu menambah kapasitas jalan tol Jakarta-Cikampek dari enam lajur dua arah menjadi 10 lajur sehingga ikut mendukung kelancaran lalu lintas mudik pada musim Lebaran 2022.
Baca juga: Tradisi Mudik Saat Lebaran
Sementara itu, kesiapan jalan nasional (tingkat kemantapan) relatif tidak jauh berbeda antara musim Lebaran 2022 dan 2019. Misalnya, jalur pantura mantap 93,49 persen (2022) dan 97 persen (2019), jalur lintas tengah Jawa mantap 95,7 persen (2022) dan 93 persen (2019), serta jalur lintas selatan Jawa mantap 94,95 persen (2022) dan 98 persen (2019).
Kian membaiknya infrastruktur transportasi darat, terutama JTTJ dan JTTS, menyebabkan pergeseran preferensi, pemudik lebih suka menggunakan kendaraan pribadi. Jumlah kendaraan yang keluar Jabodetabek melalui jalan tol pada periode H-7 hingga H-1 pada 2022 ini tercatat 1,33 juta, naik 9,3 persen dibandingkan tahun 2019.
Pergeseran preferensi dan faktor lain menyebabkan jumlah pengguna transportasi publik, termasuk pesawat, belum menyamai musim libur Lebaran 2019. Jumlah penumpang angkutan umum untuk mudik dari H-1 hingga H+2 sebesar 6,4 juta atau turun 27,5 persen dibandingkan 2019.
Kian membaiknya infrastruktur transportasi darat, terutama JTTJ dan JTTS, menyebabkan pergeseran preferensi, pemudik lebih suka menggunakan kendaraan pribadi.
Angka kecelakaan
Berdasarkan penjelasan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan belum lama ini, mengutip data PT Jasa Marga, pada musim mudik Lebaran tahun ini, angka kecelakaan turun 29 persen, angka fatalitas turun 56 persen, dan jumlah korban luka turun 30 persen dibandingkan musim Lebaran 2019. Ini berarti aspek keselamatan perjalanan pada musim mudik Lebaran tahun ini relatif lebih baik dibandingkan 2019.
Kontribusi sejumlah pihak dalam menyelenggarakan program mudik/balik gratis perlu diapresiasi, baik pemerintah, BUMN, maupun swasta. Termasuk di antaranya langkah Kemenhub menyediakan bus mudik gratis beserta truk pengangkut sepeda motor pemudik ke sejumlah kota di Jawa, bahkan hingga Lampung dan Palembang, guna mengurangi kemungkinan kecelakaan, sebab bersepeda motor untuk mudik amat rentan kecelakaan.
Output dari penyelenggaraan mudik Lebaran 2022 adalah kelancaran lalu lintas yang relatif lebih baik dibandingkan 2019, baik arus mudik maupun balik yang menunjang terjalinnya (kembali) silaturahmi antara pemudik dan kerabat di kampung halaman, dan meningkatnya aspek keselamatan dengan turunnya angka kecelakaan lalu lintas dan fatalitasnya.
Ke depan, perlu adanya sejumlah perbaikan. Perbaikan tersebut antara lain berupa peningkatan pemanfaatan teknologi informasi/digital, yakni dengan big data, artificial intelligence, dan cloud computing, untuk menangani data berjumlah besar, secara cepat, real time, terotomasi, dan terkoneksi internet dengan kapasitas data analytic yang andal.
Kinerja sukses pengelolaan mudik Lebaran tahun ini masih perlu dilengkapi dengan aspek lainnya, yakni relatif terjaganya angka kasus harian Covid-19 setelah mudik Lebaran. Jika angka kasus harian Covid-19 masih relatif terkendali, harapan menuju endemi terbentang lebar. Kita masih harus bersabar menunggu setidaknya satu bulan setelah puncak arus mudik Lebaran.
Kita juga berharap di masa mendatang, mudik dapat berlangsung lebih ”hijau” dengan menggunakan lebih banyak energi bersih (termasuk kendaraan listrik) dan pandemi telah berganti menjadi endemi. Dari Jabodetabek saja, mobilisasi jutaan mobil dan sepeda motor pada musim libur Lebaran tahun ini, baik pada arus mudik maupun balik, merilis ratusan ribu ton karbon ke udara.
Wihana Kirana JayaStaf Khusus Menteri Perhubungan