Bangkit dari Mediokritas
Jika dihubungkan dengan indikasi mediokritas bangsa, pesan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini bisa sederhana: mari bangkit dari mediokritas kita. Yang tidak sederhana, menelisik sebab jadi medioker dan mencari solusi.
Hari-hari ini, kita menyaksikan banyak atlet Indonesia berlaga di kancah internasional, terutama dalam SEA Games 2022 di Hanoi, Vietnam.
Tak pelak, sebagai bangsa, kita berharap mereka bisa memberi rasa bangga kepada kita dengan mendapatkan hasil terbaik. Sayangnya, kemungkinan Indonesia menjadi juara umum relatif kecil mengingat kedigdayaan Vietnam sebagai tuan rumah.
Selain itu, jika menengok sejarah sepuluh tahun terakhir, Indonesia hanya ada di peringkat keempat atau kelima dari sebelas negara peserta. Indonesia hanya berkutat di ’tengah’, hampir selalu kalah dari Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina.
Mengingat Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, apa yang sebenarnya menjadi masalah kita? Bahkan, sesekali negara mini Singapura lebih unggul dari Indonesia!
Mediokritas
Bahwa Indonesia adalah negara ’tengah’ dalam hal prestasi, juga bisa dikatakan sebagai negara medioker, yang setengah-setengah saja. Peringkat kesebelasan sepak bola Indonesia di kancah internasional bahkan terhitung di bawah. Terhitung pada April 2022 kesebelasan Indonesia ada di peringkat ke-159 dari 211 asosiasi sepak bola di dunia, atau peringkat ketujuh di ASEAN. Apakah yang medioker hanya prestasi olahraganya?
Beberapa data lain menunjukkan hal yang kurang lebih senada. Terkait dengan korupsi, menurut catatan Transparency International, dengan skor 38 (dari 100) pada tahun 2021 persepsi korupsi di Indonesia ada di peringkat ke-96 dari 180 negara.
Hal ini juga sejajar dengan pengamatan World Justice Project. Dalam survei mereka tahun 2020 tentang penegakan hukum, Indonesia, dengan skor 0,53, menempati peringkat ke-58 dari 128 negara. Pun, menurut The Economist Intelligence Unit, dalam survei 2021, indeks demokrasi Indonesia adalah 6,71 dari skala 10, atau peringkat ke-52 dari 167 negara yang dikaji.
Hasil riset lembaga-lembaga internasional di atas bisa diperpanjang lagi. Menurut Social Progress Imperative, pada tahun 2021 skor Indonesia terkait kemajuan sosial hanya 66,26 dari skala 100, atau di tier 4 dengan peringkat ke-94 dari 168 negara yang diamati.
Kemudian, ada juga sebuah lembaga bernama Good Country yang berusaha ’menakar’ dampak positif suatu negara bagi kesejahteraan bersama di atas Bumi ini. Organisasi ini mau melanjutkan pemikiran Simon Anholt, penulis dan penasihat kebijakan di banyak negara. Dalam survei mereka pada 2021, Indonesia ada di peringkat ke-83 dari 169 negara.
Bagaimana dengan indeks kebahagiaan? Menurut hasil pengamatan World Happiness Report, pada 2021 Indonesia menempati peringkat ke-87 dari 146 negara. Skornya hanya 5,240, sedikit di angka lima, atau batas tengah! Itu berarti bahwa secara personal kebanyakan masyarakat Indonesia hanya setengah bahagia.
Perlu diketahui bahwa indeks ini juga memperhitungkan pengaruh pandemi Covid-19 dalam emosi seseorang. Hal ini tidak berbeda jauh dengan riset UNDP (United Nations Development Programme/Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-107 dari 180 negara dalam indeks perkembangan manusia (human development index) dengan skor 0,718.
Cermin kita
Beberapa hasil penelitian atau pengamatan di atas cukup jelas menunjukkan bagaimana keadaan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain dalam beberapa aspek hidup. Yang menarik, kebanyakan menempatkan Indonesia di peringkat tengah. Hal ini bisa jadi cermin bagi Indonesia.
Cermin pertama adalah cermin institusional. Yang dimaksud adalah cermin bagi Indonesia sebagai sebuah negara. Hal itu tentu terkait dengan kebijakan-kebijakan negara terkait dengan aspek-aspek yang diteliti oleh lembaga-lembaga itu. Bahwa kebanyakan ada di peringkat tengah, ada indikasi bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia sebenarnya juga hanya setengah-setengah!
Tentu, data tadi juga bisa menjadi cermin personal. Artinya, data itu memberi indikasi tentang tingkat partisipasi warga dalam kehidupan berbangsa. Memang, lebih gampang menyalahkan orang lain atau dalam hal ini menyalahkan struktur daripada menyalahkan diri sendiri. Meski begitu, sebagai warga, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, perlu bertanya jangan-jangan tingkat partisipasi untuk kemajuan bangsa juga hanya setengah-setengah.
Bangkit
Jika dihubungkan dengan indikasi mediokritas bangsa (baik negara maupun warga) di atas, pesan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini bisa sederhana: mari bangkit dari mediokritas kita. Yang tidak sederhana, tentunya, adalah menelisik sebab dan kemudian solusinya.
Sebagai pintu masuk untuk mencari sebabnya, dua indikasi bisa dihubungkan. Indikasi yang pertama adalah indeks penegakan hukum yang skornya hanya 0,53 dari skala 10.
Skor ini jelas menunjukkan bahwa hukum hanya ditegakkan setengah-setengah. Indikasi yang sangat mungkin terkait adalah indeks persepsi korupsi yang hanya 38. Dengan kata lain, penegakan hukum lemah bukan karena masyarakatnya susah diatur, melainkan karena penegaknya sendiri kurang serius menegakkan hukum.
Lemahnya penegakan hukum tentu berdampak pada lemahnya penerapan banyak kebijakan negara. Hal itu tampak dalam indeks-indeks yang lain, dari indeks perkembangan manusia (human development index) sampai indeks kemajuan sosial yang masih jauh dari memuaskan.
Diandaikan di sini bahwa penegakan hukum menjadi kunci, yang sangat tergantung kepada para penegaknya. Hal itu perlu menjadi perhatian serius. Jika para penegaknya sangat terkait dengan kualitas pemerintahan, proses pemilihan pejabat pemerintah dan juga wakil-wakil rakyat akan menjadi sangat menentukan.
Karena itu, senyampang tahun 2024 masih dua tahun, dalam konteks ini pendidikan politik menjadi sangat mendesak. Harapannya, rakyat bisa sungguh memilih pejabat pemerintah (termasuk presiden) ataupun wakil-wakil rakyatnya, nanti, dengan visi kebangkitan dari mediokritas ini. Jika partai-partai hanya mementingkan kelompoknya, 50 tahun lagi pun Indonesia akan tetap menjadi negara medioker!
Al Andang L Binawan,Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.