Menimbang Pemanfaatan ”Blockchain” pada Industri Sawit
Pemanfaatan ”blockchain” layak dipertimbangkan dalam industri kelapa sawit. Namun, ada sejumlah prasyarat agar teknologi ”blockchain” dapat menjadi solusi dalam memecahkan sejumlah isu keberlanjutan dalam rantai pasok.

Tulisan Wihana Kirana Jaya tentang ”Ekonomi Hijau Digital” (Kompas, 28/4/2022) menarik untuk disimak dan didiskusikan lebih lanjut. Akhir-akhir ini ekonomi hijau dan ekonomi digital menjadi primadona dan pusat perhatian global. Tak heran keduanya menjadi fokus agenda dalam presidensi G20 Indonesia.
Ekonomi hijau diartikan sebagai suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan. Sementara ekonomi digital sebagai sebuah keseluruhan kegiatan ekonomi yang menggunakan pemanfaatan IoT (internet of things) dan juga kecerdasan buatan atau AI (artificial intelligence).
Melihat urgensi dua mekanisme pasar baru tersebut, dalam tulisannya, Wihana mengusulkan perlu ada akselerasi dan integrasi antara keduanya menjadi digital green economy atau ekonomi hijau digital (EHD). Menarik, tetapi bangunan argumen Wihana, tampaknya, terjebak dalam asumsi simplistis dan over-generalisir dengan berkesimpulan bahwa teknologi digital mampu menjadi panasea tanpa memperhitungkan risiko dan seberapa mampu teknologi digital tersebut memecahkan permasalahan keberlanjutan lingkungan yang ada.
Baca juga: Ekonomi Hijau Digital
Penting untuk memahami masalah sebelum memutuskan apakah pemanfaatan teknologi digital merupakan solusi yang tepat atau justru berisiko menimbulkan masalah hak asasi manusia baru.
Sebagai sebuah studi kasus, tulisan ini ingin melihat pemanfaatan blockchain pada industri sawit dengan berupaya menunjukkan bahwa kompleksnya persoalan di industri sawit tidaklah cukup dengan hanya mengorbitkan solusi-solusi praktis berbasis otomatisasi. Sawit merupakan studi kasus yang cukup sahih untuk menguji seberapa mampu teknologi blockchain menjawab dan memecahkan sejumlah isu keberlanjutan dalam rantai pasok.

Sejumlah persoalan
Walaupun selama ini sawit diklaim berkontribusi besar dalam menyokong perekonomian nasional, melalui pendapatan (devisa hasil ekspor, PPN, PPh) dan penyerapan tenaga kerja, keberadaan industri sawit menyisakan sederet persoalan. Ekspansi perkebunan sawit dituding menyebabkan munculnya sejumlah persoalan, di antaranya deforestasi, eksploitasi pekerja, hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Belum lagi persoalan kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng sawit sebagai akibat penguasaan sumber daya yang masih terkonsentrasi di tangan segelintir pemain besar sehingga menyebabkan komoditas vital ini jatuh dalam permainan kartel yang selama ini sudah dimanja dengan berbagai insentif dan fasilitas.
Rantai pasokan minyak sawit begitu kompleks dan panjang, apalagi perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) baik pada tingkat kawasan maupun secara bilateral yang menurunkan hambatan perdagangan dan peningkatan teknologi di bidang manufaktur dan transportasi telah mendorong rantai pasok menjadi global.
Rantai pasokan minyak sawit begitu kompleks dan panjang.
Perjalanan sawit dimulai dari perkebunan dan berakhir sebagai berbagai produk olahan sawit. Secara umum, hasil kebun sawit berupa tandan buah segar (TBS) dipanen dari perkebunan dengan dua mekanisme. Pertama, perusahaan sawit memanen dari perkebunan mereka sendiri (inti) dan dari perkebunan petani kecil yang dikelola oleh perusahaan (plasma).
Kedua, perusahaan sawit mendapat persediaan TBS dari pemasok pihak ketiga, selanjutnya TBS diangkut ke pabrik untuk diekstrak menjadi minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang dijadikan industri-industri sebagai bahan baku untuk berbagai macam produk makanan, produk perawatan tubuh, minyak goreng, lilin, hingga campuran biodiesel.
Kompleksnya rantai pasokan sawit tersebut ternyata turut dijumpai dengan sejumlah tantangan keberlanjutan. Penelitian Forest People Programme dan sejumlah organisasi masyarakat sipil, misalnya, mengungkap masih terjadi dugaan pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan pada rantai pasok sawit, yang melibatkan berbagai perusahaan di hilir, pemodal, hingga perusahaan perdagangan dan penghasil barang konsumsi dari produksi minyak sawit.
Baca juga: Polemik Tata Kelola Sawit
Untuk memitigasi dampak buruk akibat pesatnya industri sawit, umumnya direspons melalui berbagai skema sertifikasi. Minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling diatur dan bersertifikat di seluruh dunia (most highly regulated and certified vegetable oil). Namun, tanpa sistem ketertelusuran (traceability) yang transparan dan kuat, boleh dibilang hampir tidak mungkin untuk menentukan apakah minyak sawit telah diproduksi secara berkelanjutan, bebas dari praktik-praktik buruk, seperti eksploitasi pekerja/buruh, juga pembukaan hutan dan lahan gambut yang berpotensi menyebabkan deforestasi dan tingginya GRK.
Sejumlah skema sertifikasi, seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), International Sustainability & Carbon Certification (ISCC) maupun Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), telah menyediakan mekanisme ketertelusuran rantai pasok sehingga ketertelusuran di perkebunan inti dan plasma dapat dipantau perusahaan. Namun, tantangannya, ketika TBS bukan berasal dari kebun inti ataupun plasma, melainkan dipasok oleh pihak ketiga, yang mengumpulkan TBS dari berbagai sumber termasuk petani swadaya. Hal ini kian sulit ketika keberadaan petani swadaya tidak terdata dengan baik oleh pemerintah, padahal peran mereka sangat penting.

Petani menata tandan buah segar kelapa sawit yang baru mereka panen di Desa Paku, Kecamatan galang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Senin (10/9/2012).
"Blockchain" sebagai jalan keluar?
Blockchain merupakan sebuah buku besar yang digunakan secara bersama-sama dan tidak dapat diubah untuk memfasilitasi proses pencatatan transaksi dan pelacakan aset dalam jaringan bisnis (Manav Gupta, 2013). Sederhananya, blockchain merupakan tempat penyimpanan data di mana data itu tidak bisa diubah, aman dan kekal, jadi sifatnya sebagai pencatat abadi transaksi. Daya tarik blockchain dapat dilihat dari empat karakteristik utama teknologi ini, yakni immutable atau tidak dapat diubah (permanen), decentralized (terdesentralisasi), consensus driven (verifikasi kepercayaan), transparent (riwayat transaksi lengkap).
Dalam dekade terakhir, blockchain menjadi salah satu inovasi yang begitu menggeliat dan sering diperbincangkan sebagai bagian dari perkembangan ekonomi digital. Blockchain bermanfaat untuk mempermudah berbagai macam proses transaksi serta pencatatan di dalam sebuah blok (block) yang dihubungkan bersama untuk membentuk rantai (chain).
Selama ini pemanfaatan blockchain di Indonesia masih minim dan terfokus pada aplikasi layanan keuangan. Namun, dengan melihat potensinya yang besar, saat ini teknologi blockchain juga sedang digagas pemanfaatannya pada sektor lain, salah satunya pada industri sawit khususnya perihal ketertelusuran.
Selama ini pemanfaatan blockchain di Indonesia masih minim dan terfokus pada aplikasi layanan keuangan.
Gagasan pemanfaatan blockchain pada industri sawit di Indonesia sebelumnya pernah disuarakan Taufik Djatna, dosen IPB University. Pengembangan smart contract berbasis blockchain di industri kelapa sawit diklaim dapat menguntungkan petani karena akan ada transparansi harga yang diberikan berdasarkan kualitas produk yang ditawarkan sehingga petani bisa mendapatkan harga terbaik dari hasil penjualan TBS.
Sementara keuntungan yang diperoleh koperasi atau pedagang adalah informasi yang akurat dan tepercaya dari petani sehingga meningkatkan kepercayaan untuk membeli TBS dari petani yang datanya dialirkan melalui blockchain. Selain itu, pabrik kelapa sawit (PKS) sebagai pihak hilir yang menerima dan mengolah produk TBS, dapat melakukan ketertelusuran secara cepat terkait dengan kualitas minyak sawit yang diperolehnya sehingga dapat mengoptimalkan kualitas CPO yang dihasilkannya.
Namun terlepas dari sejumlah manfaat yang ditawarkan, teknologi blockchain tidak terbebas dari risiko dan tantangan. Laporan Center for Strategic & International Studies (CSIS) yang dirilis akhir tahun lalu berjudul ”The Human Right Risks and Opportunities in Blockchain” telah menyadarkan kita, selain peluang dan keuntungan yang ditawarkan, terdapat risiko dan tantangan hak asasi manusia dalam penerapan solusi blockchain khususnya untuk ketertelusuran rantai pasokan.
Blockchain tidak dapat memverifikasi keakuratan data yang diunggah. Hal ini menciptakan risiko bahwa sistem keterlacakan blockchain justru dapat melegitimasi kondisi pekerja yang dipalsukan oleh pelaku rantai pasokan tentang praktik perburuhan mereka.
Pemanfaatan blockchain juga memerlukan sinkronisasi berbagai data perizinan dan pendukungnya, misalnya izin lokasi, amdal atau UKL-UPL, izin lingkungan, izin usaha perkebunan, izin pelepasan kawasan hutan, hak guna usaha, dan sebagainya. Selain itu, juga dibutuhkan verifikasi kesesuaian data lapangan dari aktivitas perkebunan yang ada.
Baca juga: Mengatur Ulang Industri Sawit
Oleh karena itu, ketersediaan dukungan data yang valid menjadi sangat penting. Sayangnya, lemahnya database perizinan pemerintah akan menjadi tantangan terbesar pada pemanfaatan blockchain dalam industri ini. Kebijakan Inpres Moratorium Sawit sejatinya hendak menata itu, tetapi pencapaiannya masih jauh dari panggang api bahkan keberlakuan inpres tersebut tidak diperpanjang oleh presiden.
Belum lagi risiko privasi yang mengemuka atas pemanfaatan blockchain di industri sawit. Informasi yang ditempatkan dalam sistem blockchain akan berada di sana selamanya. Dengan demikian, sistem blockchain menimbulkan risiko privasi yang sangat tinggi setiap kali digunakan untuk merekam informasi pribadi yang sensitif. Hal ini akan selalu rentan terhadap peretasan dan menimbulkan risiko bahwa informasi tersebut dapat terekspos atau memungkinkan adanya ”serangan balik” dari pengusaha karena melaporkan pelanggaran. Dalam yurisdiksi Uni Eropa, General Data Protection Regulation (GDPR) tidak mengizinkan informasi sensitif disimpan dengan cara yang tidak dapat diubah, mengingat diakuinya hak untuk dilupakan (right to be forgotten).

"Blockchain" dengan syarat
Sebagai sebuah tawaran guna memitigasi sejumlah praktik buruk dalam industri sawit, pemanfaatan blockchain layak dipertimbangkan mengingat sejumlah keuntungan yang ditawarkan seperti dapat membantu perusahaan melakukan uji tuntas dan memperbaiki pelanggaran HAM dalam rantai pasokan mereka. Namun, terdapat sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi agar teknologi blockchain tersebut dapat menjadi solusi dalam memecahkan sejumlah isu keberlanjutan dalam rantai pasok.
Pertama, solusi blockchain sangat mengandalkan akses, konektivitas, dan infrastruktur digital yang memadai untuk menghubungkan proses mereka ke sistem blockchain. Bagi petani kecil yang mayoritas lokasinya di daerah terpencil atau remote area memiliki keterbatasan pada hal tersebut. Selain itu, banyak dari mereka masih mengandalkan sistem pencatatan kertas. Untuk melakukan transformasi ke sistem blockchain membutuhkan penyediaan infrastruktur teknologi serta pelatihan-pelatihan.
Keberhasilan sistem ketertelusuran bergantung kepada dukungan para pelaku di seluruh rantai pasokan, jika beberapa pelaku menolak berpartisipasi, informasi penting tentang hubungan pemasok tidak akan tersedia bagi pembeli hilir dan pengamat luar. Untuk itu perlu juga diciptakan insentif atau disinsentif untuk mendorong semua pelaku berpartisipasi dalam mencatat dan membagikan catatan rutin mereka tentang asal-usul dan transaksi TBS.
Baca juga: Bijak Mengelola Minyak Sawit
Kedua, keterlacakan dalam sistem blockchain sangat bergantung kepada informasi yang dilaporkan, untuk itu ketersediaan dukungan data yang valid menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, transparansi dan keterbukaan data ke publik menjadi krusial. Pemerintah harus memiliki dan melakukan penataan database perizinan, termasuk melakukan sinkronisasi berbagai data perizinan dan verifikasi kesesuaian data lapangan dari aktivitas perkebunan yang ada.
Ketiga, pemerintah harus mendata petani swadaya kelapa sawit, mengingat peran mereka penting dalam keseluruhan rantai pasok sawit. Walaupun sudah diwajibkan melalui surat tanda daftar budidaya (STD-B), keberadaan mereka belum terdata dengan baik, hal ini berakibat petani swadaya kelapa sawit tidak menjadi dasar dalam menjawab tantangan petani yang sebenarnya terjadi.
Pada akhirnya, pemanfaatan blockchain sudah semestinya perlu dimulai dari perbaikan tata kelola terlebih dahulu dengan lebih menekankan kepada pemecahan masalah yang lebih mendasar ini.
Muhammad Busyrol Fuad, Pengacara Publik dan Manajer Advokasi ELSAM

Muhammad Busyrol Fuad