Aset Negara dan Etika Jabatan
Aset negara bukan aset pribadi yang boleh sesuka hati dipergunakan. Ada tanggung jawab selaku mantan pejabat agar memberikan contoh yang baik terhadap jajaran aparatur sipil ataupun penyelenggara negara.

Penataan kembali terhadap proses pengelolaan aset negara yang berkelanjutan sangat penting bagi lembaga/instansi pemerintah dalam membangun tata pemerintahan yang bersih (clean government). Dalam prinsip politik di negara demokrasi yang mapan, penggunaan aset negara hanya bisa dijustifikasi ketika menjabat. Ketika jabatan telah berakhir, berakhir pula hak untuk menggunakannya.
Bahkan barang negara yang dikuasai bisa mengganggu integritas sang pejabat. Hal itu pernah dicontohkan Jokowi ketika menjabat sebagai Gubernur DKI dengan menyerahkan hadiah gitar bas pemberian basis Metallica, Robert Trujillo, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada masa Orde Baru, juga ada Menteri Keuangan yang dikenal sebagai Mr Clean, Mar’ie Muhammad, yang memisahkan dengan tegas harta pribadinya dengan harta negara. Ia bahkan mengembalikan semua hadiah yang pernah ia terima ketika menjabat sebagai menteri. Hal itu menunjukkan bahwa etika kepemilikan barang, termasuk hadiah, tidak bisa dipisahkan dengan otoritas jabatan yang dimiliki seseorang, dan hal itu bisa dianggap sebagai tendensi korupsi.
Baca juga: Gratifikasi Runtuhkan Keadilan dalam Pelayanan Publik
Pascareformasi, pengelolaan aset negara baru mendapat perhatian serius pasca-disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Terbitnya pengaturan tersebut memberi legitimasi yang sangat kokoh terkait aset-aset negara (barang milik negara) yang seyogianya di kelola secara akuntabel, profesional, dan bertanggung jawab. Pengelolaan tersebut dilakukan melalui kegiatan inventarisasi aset, legal audit, penilaian aset, optimalisasi aset, dan sistem informasi manajemen aset.

Seseorang berdiri di antara mobil dinas Gubernur Sumatera Barat (kiri) dan mobil dinas Wakil Gubernur (kanan) di Auditorium Gubernuran Sumbar, Padang, Sumbar, Selasa (17/8/2021). Pembelian mobil dinas baru tipe SUV pasangan Gubernur-Wakil Gubernur Sumbar dinilai tidak patut karena provinsi sedang dalam kondisi krisis akibat pandemi Covid-19.
Penataan aset negara
Urgensi aset negara perlu diinventarisasi agar tidak menimbulkan kerugian negara serta berpotensi terjadi tindak pidana korupsi. Sebelum persoalan aset menjadi persoalan serius, pengelolaan aset dan penguasaannya harus ditata kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penguasaan aset negara tanpa hak jelas merupakan perbuatan yang melanggar hukum, dan untuk itu perlu dilakukan legal audit untuk memastikan penertiban posisi aset-aset yang selama ini telantar, tidak terurus, serta penguasaan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki alas hak secara hukum.
Di antara beragam aset negara, kita ambil contoh yang sering kali terjadi dan mendapat liputan berbagai media adalah kendaraan dinas. Sering kali ditemui dalam praktik penggunaannya bukan untuk kepentingan dinas pemerintahan, melainkan menjadi kendaraan pribadi. Persoalan lain juga muncul pada pejabat yang purnatugas. Post-power syndrome yang muncul biasanya keengganan mantan pejabat mengembalikan kendaraan dinas kepada petugas perbendaharaan negara. Rendahnya tingkat kesadaran menjadi pemicu utama perbuatan itu terus dilakukan.
Pembiaran perbuatan itu jelas merugikan keuangan negara. Untuk itu, pelibatan inspektorat dalam mengembalikan kendaraan dinas bisa saja dilakukan sebagai bagian dari penegakan hukum kedisiplinan aparatur sipil negara ataupun penyelenggara negara. Patut dipahami bahwa aset negara bukan aset pribadi yang boleh sesuka hati dipergunakan. Ada tanggung jawab selaku mantan pejabat untuk memberikan contoh yang baik terhadap jajaran aparatur sipil ataupun penyelenggara negara.
Patut dipahami bahwa aset negara bukan aset pribadi yang boleh sesuka hati dipergunakan.
Menyikapi hal tersebut, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Nomor 87/2005 tentang Pedoman Peningkatan Pelaksanaan Efisiensi, Penghematan, dan Disiplin Kerja disebutkan bahwa kendaraan dinas operasional hanya digunakan untuk kepentingan dinas yang menunjang tugas pokok dan fungsi. Penggunaan selain yang menunjang tugas pokok dan fungsi tentu tidak dapat dibenarkan. Dampak penggunaan kendaraan dinas sembarangan akan menimbulkan kerusakan dan keausan. Hal itu akan menyebabkan inefesiensi keuangan negara.
Di Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Hal yang kerap muncul, sang pejabat kerap melalaikan norma hukum tersebut dalam menggunakan aset negara ketika menjabat, seperti menggunakan kendaraan dinas untuk mudik dan liburan. Setelah tak lagi menjabat, sang pejabat pura-pura lupa mengembalikan rumah dan kendaraan dinas, dan terus menggunakan ketika tidak ada teguran.
Menurut etik UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, kegiatan seperti itu merugikan dan bisa dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Akibat dari penyalahgunaan aset negara dipastikan akan menimbulkan kerugian keuangan negara dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi. Maka penertiban itu harus dimulai sejak pejabat menjabat bahkan sampai ia purnatugas. Sebagai oase kepemimpinan birokrasi yang menjadi teladan, bukan malah bersikap ugal-ugalan.

Tim Kejaksaan Negeri Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, melakukan penertiban aset negara di daerah itu pada Jumat (26/11/2021).
Etika jabatan
Di sisi lain, kode etik juga cenderung membatasi hanya perilaku mereka yang sudah etis dengan tujuan tidak terjadi penyimpangan di dalamnya. Undang-undang bersifat menjelaskan apa yang benar dan dapat diterima dalam pelaksanaannya.
Berfungsinya etik ini menegaskan upaya pemerintah agar aparatur sipil negara dan penyelenggaraan negara diharapkan mematuhi ketentuan hukum. Oleh karena itu, peraturan tersebut bersifat mengikat aparatur sipil negara dan penyelenggaran negara, terutama berkenaan dengan penguasaan aset. Kegagalan mematuhi hukum dianggap melanggar standar etika yang telah ditetapkan, dan karenanya dapat dihukum.
Kegagalan untuk mematuhi hukum dianggap melanggar standar etika yang telah ditetapkan, dan karenanya dapat dihukum.
Sesuai zaman yang telah berubah, etika politik pun telah mengalami perubahan dan revisi, termasuk dalam membatasi kekuasaan negara dan aparaturnya. Dalam konteks demokrasi, kekuasaan itu bersifat siklikal, dan bukan permanen. Menurut etikus Franz Magnis-Suseno (1987), demokrasi membangun rumusan distingtif mana yang bisa disebut sebagai kesejahteraan umum dan kesejahteraan individual.
Makanya negara membuat hukum untuk membatasi penguasa atau pejabat sebagai totaliter dalam kekuasaannya, termasuk dalam memanfaat fasilitas negara. Ketika ia tidak menjabat, kesejahteraannya menjadi bersifat individual dan negara tidak boleh lagi memfasilitasi sebagai prinsip res publica: kesetaraan dalam urusan publik.
Menindaklajuti persoalan aset negara memang dibutuhkan upaya persuasif dan represif. Konsep itu sangat tergantung dari kepemimpinan yang memainkan peran penting dalam perkembangan lembaga/instansi pemerintah mana pun.
Baca juga: Menjaga Tata Kelola Pemerintahan
Peran pemerintah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara baik dan benar perlu terus ditingkatkan, termasuk pengawasan masyarakat terhadap penyalahgunaan aset negara harus menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang bersih, baik dilembaga maupun di instansi tertentu. Terakhir, yang penting dilakukan adalah penertiban aset, baik melalui upaya persuasif maupun represif, untuk terjaminnya kepastian hukum aset negara.
Karena itu, dimulai dari Aceh, meski sedang disorot KPK, penting membangun tata pemerintahan yang baik (good governance), termasuk penertiban dalam penggunaan aset negara oleh kaum partikelir post-power agar tidak menjadi budaya. Harus dibangun budaya baru, ”malu menggunakan aset negara untuk kepentingan yang tidak berhubungan dengan peran jabatan”, dan ”aib kalau masih menggunakan fasilitas negara”, karena tidak amanah seperti contoh Rasul dan Khilafah ar-Rasyidah.
Yusrizal Hasbi, Dosen Fakultas Hukum dan Kepala Pusat Studi Hukum, Sosial, dan Politik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe