Setelah Twitter Dimiliki Elon Musk
Akuisisi Twitter oleh Elon Musk mengundang perhatian publik dan media. Selain aspek komersial dari transaksi yang dilakukan, perhatian publik pun tertuju pada masa depan konten Twitter di bawah kendali orang terkaya itu.
Persetujuan dewan direksi Twitter Inc pada 25 April 2022 untuk menerima unsolicited bid Elon Musk senilai 44 miliar dollar AS, untuk pembelian semua saham perusahaan micro-blogging and social networking yang berumur 16 tahun tersebut, mengakhiri kisah perburuan kepemilikan perusahaan yang, walaupun berlangsung singkat, penuh dengan cerita dan drama.
Tidak berhenti sampai di sini, kontroversi yang menyertai transaksi ini sejak Musk pertama kali menyatakan intensinya untuk mengambil alih Twitter pada 14 April lalu diperkirakan akan terus berlangsung lama setelahnya.
Transaksi pembelian Twitter oleh Musk ini sebenarnya transaksi merger dan akusisi yang tidak berbeda dengan transaksi serupa lainnya. Ditinjau dari nilai transaksinya, juga tidak lebih besar daripada transaksi pembelian Activision Blizzard Inc, holding company perusahaan pembuat gim, oleh Microsoft pada awal 2022 dengan nilai transaksi 68,7 miliar dollar AS.
Namun, tampaknya perhatian publik dan media, termasuk para pengguna Twitter, lebih tersita pada transaksi ini dibandingkan pada transaksi merger dan akuisisi lainnya. Paling tidak selama hari-hari terakhir ini berbagai tulisan muncul setiap hari di media-media arus utama dunia, ditulis oleh kolumnisnya, menyoroti transaksi ini.
Memang, jika dilihat sedikit lebih dalam, perhatian publik dan media saat ini sudah tidak lagi kepada aspek komersial dari transaksi ini.
Harian Kompas, 27 April, juga memuat berita mengenai ini di halaman depan. Sangat jarang sebelumnya, Kompas memuat berita mengenai aksi korporasi di halaman depan.
Memang, jika dilihat sedikit lebih dalam, perhatian publik dan media saat ini sudah tidak lagi kepada aspek komersial dari transaksi ini. Hanya media khusus bisnis dan keuangan yang masih menyoroti hal tersebut, sementara kontroversi publik dan media lebih terfokus pada pertanyaan akan seperti apa Twitter di masa depan di bawah pengendalian orang terkaya di dunia itu.
”Digital town square”
Perhatian publik dan media yang intens terhadap masa depan Twitter ini memang pada akhirnya seperti memberikan justifikasi bahwa media micro-blogging itu sungguh telah menjelma menjadi apa yang oleh Musk disebut sebagai digital town square atau ruang publik terbuka digital, tempat hal-hal penting untuk kemanusiaan diperdebatkan.
Pandangan mengenai posisi Twitter yang idealistis dan utopis ini memang dapat diperdebatkan dan mungkin belum tercapai pada saat ini, tetapi bagaimana agar hal ini dapat terjadi di saat Twitter dikendalikan oleh Musk, bisa jadi merupakan kepentingan bersama (common interest) yang mendorong munculnya kontroversi mengenai masa depan Twitter ini.
Baca juga Elon Musk Tunda Akuisisi Twitter Terkait Banyak Akun Palsu
Faktanya, memang pengguna aktif (daily active user) Twitter hanya 217 juta (triwulan IV-2021, Statista), tetapi karena di dalam kelompok ini terdapat banyak figur terkemuka yang berpengaruh di bidangnya atau selebritas dari dunia politik, bisnis, teknologi, hiburan, dan olahraga, termasuk kepala negara dan pemimpin dunia usaha, maka trending topic yang muncul dari perdebatan di platform ini sering kali kemudian dapat bergulir menjadi isu-isu yang mampu mendorong perubahan di masyarakat ataupun pembuatan kebijakan publik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun lintas negara.
Pengguna aktif Twitter mayoritas berasal dari 20 negara pengguna terbesar yang didominasi oleh kelompok pria (70 persen), penduduk urban (27 persen), dan memiliki tingkat pendidikan college (S-1) atau di atasnya (33 persen).
Dari semua kontroversi dan komentar yang masih terus muncul mengiringi transaksi Twitter ini, bisa dibaca bahwa tema utama yang menjadi common interest sebenarnya adalah mengenai visi Musk yang menganggap dirinya sebagai pejuang dan advokat untuk menjadikan Twitter sebagai free speech platform, atau yang dalam bahasanya sendiri didefinisikan sebagai politically neutral.
Dengan membawa Twitter menjadi perusahaan swasta (non-public company, private company) yang bebas dari pengawasan publik dan otoritas pascaakuisisi, secara teknis Musk akan memiliki waktu dan ruang yang luas untuk membuat Twitter menjadi seperti yang diangankannya, yaitu menjadi platform diskusi sosial publik yang bisa dipercaya dan inklusif yang penting artinya untuk masa depan peradaban.
Moderasi konten
Di sinilah sebetulnya inti masalahnya karena sudah menyentuh subyek yang sangat sensitif dan kontroversial selama tahun-tahun terakhir ini. Bukan hanya untuk Twitter, melainkan juga untuk Facebook, Instagram, dan media sosial lain yang sejenis, yaitu mengenai moderasi konten.
Moderasi konten sendiri oleh Musk diakui sebagai hal yang tak mudah untuk dijelaskan dan harus dilakukan sangat hati-hati. Sesuatu yang tampaknya memang lebih mudah dikatakan daripada dilaksanakan.
Hal ini karena jika moderasi konten disimplifikasi hanya menjadi penetapan batas ruang bermain—yang dapat dimasuki oleh semua alur pemikiran dan gagasan yang berkembang di masyarakat tanpa kecuali—maka idealnya di dalam ruang bermain itu tetap harus disediakan mekanisme yang dapat melindungi kelompok termarginalisasi karena perbedaan pemikiran dengan kelompok mayoritas.
Selanjutnya, ruang bermain yang pada dasarnya adalah ruang diskursus publik itu harus terus dijaga dan dipelihara agar tetap berfungsi dengan baik karena tanpa itu, tujuan ideal untuk membuat Twitter menjadi platform yang tepercaya, inklusif, dan politically neutral tidak akan pernah tercapai.
Baca juga Harap-harap Cemas Setelah Elon Musk Membeli Twitter
Setelah itu, hal penting lain yang harus dilakukan untuk perbaikan adalah dengan membersihkan Twitter dari hal-hal yang selama ini membebani dan memberikan citra buruk kepadanya. Contoh, munculnya hal-hal seperti ujaran kebencian, hasutan, terorisme, perdagangan ilegal, pornografi, dan online bullying.
Caranya, antara lain dengan membersihkan Twitter dari spam bot dan memperkuat mekanisme otentikasi identitas pengguna. Asumsinya, kelihatan sederhana, tapi sebetulnya efektif, yaitu pada dasarnya legitimate person cenderung akan bertindak lebih hati-hati dalam interaksi digitalnya agar terhindar dari masalah hukum dan ekses yang menyertainya.
Pada akhirnya, semua langkah perbaikan yang disebutkan di atas hanya akan berhasil dan menjadikan Twitter sebagai sebenar-benarnya digital town square yang netral secara politik, berfungsi baik, dan bermanfaat untuk masyarakat jika Musk dapat melepaskan keterkaitannya dengan seluruh proses bisnis Twitter.
Ancaman terbesar untuk menjadikan Twitter lebih baik setelah akuisisi justru datang dari pemilik barunya yang kepentingannya terlalu banyak dan terlalu luas, baik yang menyangkut urusan bisnisnya secara langsung maupun tak langsung, sehingga akan sangat berisiko jika terkait dengan proses bisnis Twitter yang diposisikan sebagai platform tanpa kepentingan pribadi di dalamnya.
Moderasi konten sendiri oleh Musk diakui sebagai hal yang tak mudah untuk dijelaskan dan harus dilakukan sangat hati-hati.
Meski demikian, justru pada saat seperti ini, dapat menjadi moment of truth bagi Elon Musk untuk membuktikan apa yang telah disampaikannya sebelumnya, bahwa akuisisi Twitter sama sekali tidak didasari oleh kepentingan komersial.
Opsi yang dapat dilakukan adalah dengan cara yang sangat teknis dan sarat teknologi, yakni dengan menyerahkan sepenuhnya masalah moderasi konten kepada deep machine learning yang dibekali dengan kecerdasan buatan dan big data dan memiliki kemampuan untuk melakukan proses moderasi konten yang lebih baik, lebih bijaksana dan lebih sensitif dari waktu ke waktu.
Sesuatu yang terlihat futuristis, tetapi sebetulnya tidak lebih dari eksperimen sosial yang difasilitasi oleh teknologi dan dapat berdampak besar di masa depan dalam melakukan moderasi konten di media sosial lainnya. Singkatnya, inilah kesempatan emas bagi Elon Musk untuk menjadi seorang utopis yang akan dicatat oleh peradaban sebagai orang yang memberi jalan terbentuknya worldwide open society.
Iwan Soemekto, Peneliti Teknologi dan Komunikasi Sosial