Subsidi energi terus naik setiap tahun dan menekan APBN. Tantangan strategis SDGs bidang energi untuk Indonesia menyelaraskan aspek akses dan keterjangkauan terhadap energi dengan peningkatan proporsi energi terbarukan.
Oleh
IRNANDA LAKSANAWAN
·5 menit baca
Subsidi energi yang dikeluarkan pemerintah terus mengalami kenaikan setiap tahun. Dalam periode 2017-2022, subsidi BBM dan elpiji sudah melampaui Rp 100 triliun per tahun. Untuk 2022, pemerintah telah mematok anggaran subsidi energi, yang terdiri dari BBM, elpiji, dan listrik, sebesar Rp 134 triliun atau 7,2 persen dari APBN 2022.
Kenaikan subsidi energi dipengaruhi oleh perkembangan asumsi dasar ekonomi makro, yaitu harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupiah, volume konsumsi, serta pembayaran kekurangan subsidi pada tahun-tahun sebelumnya.
Beban subsidi makin menekan APBN setelah tren kenaikan ICP melampaui 100 dollar AS per barel sebagai dampak dari konflik geopolitik Rusia-Ukraina. Apalagi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi terjadi overkuota solar subsidi, pertalite, dan elpiji 3 kilogram sehingga tentu makin membebani APBN 2022.
Subsidi energi yang dikeluarkan pemerintah terus mengalami kenaikan setiap tahun.
Reformasi subsidi
Secara global, terdapat setidaknya tiga tema besar terkait subsidi energi dan perubahan iklim, yakni Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), transisi energi, dan dekarbonisasi. Salah satu komponen SDGs ialah akses energi bersih, andal, terjangkau, berkelanjutan.
Tantangan strategis SDGs di bidang energi untuk Indonesia ialah menyelaraskan aspek akses dan keterjangkauan terhadap energi dengan peningkatan proporsi energi terbarukan dalam bauran energi serta peningkatan penggunaan energi yang berkelanjutan.
Subsidi bahan bakar fosil yang mengurangi harga dan mendistorsi pasar energi semakin mengurangi daya saing energi baru dan terbarukan (EBT). Negara-negara kelompok G20 berkomitmen untuk secara bertahap menghapuskan subsidi bahan bakar fosil.
Pemerintah Indonesia juga mencanangkan sejumlah elemen strategi jangka panjang dengan target emisi nol karbon (net zero emission) di tahun 2050.
Mengacu hasil kajian Global Subsidies Initiative (GSI), terjadi pengurangan subsidi bahan bakar fosil yang diterapkan sejumlah negara. China, negara terbesar pengguna minyak, gas, dan batubara yang selama ini menyubsidi industri energinya, juga mulai melakukan reformasi secara bertahap melalui pajak konsumsi pengguna BBM dan perbaikan kebijakan sektor transportasi.
India adalah salah satu negara berkembang yang berhasil mereformasi subsidi bahan bakar fosil. India memotong subsidi hingga 76 persen, bahkan subsidi untuk BBM dicabut sepenuhnya pada 2016 dan menyisakan subsidi untuk sektor strategis, seperti eksplorasi migas, bukan konsumsi. India juga meningkatkan alokasi anggarannya untuk mengembangkan EBT secara drastis sebesar 410 persen.
Pengembangan EBT di India menunjukkan kemajuan yang agresif dengan target instalasi EBT mencapai 227 gigawatt pada tahun 2022. India saat ini menjadi salah satu negara investasi EBT paling menarik di dunia.
Tren transisi energi
Mempertimbangkan kondisi cadangan dan produksi migas yang makin menurun, kontribusi sektor energi fosil terhadap ekspor yang berkurang, dan besarnya porsi subsidi bahan bakar fosil terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) migas, maka mempertahankan subsidi fosil dinilai kurang efisien.
Sebagian besar subsidi BBM dinikmati oleh masyarakat menengah atas. Subsidi membuat semakin sulit melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil, padahal saat ini Indonesia berupaya mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025.
Diperlukan ketegasan terhadap upaya transisi energi dengan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen di 2030. Juga komitmen dan konsistensi terhadap kebijakan moratorium pembangunan PLTU batubara dan pengembangan kapasitas listrik berbasis EBT dengan target 48 persen di 2030.
Postur subsidi energi ke depan idealnya selaras dengan arah dan kebijakan pemerintah dalam upaya transisi energi dan tujuan pembangunan berkelanjutan. Terdapat beberapa catatan yang terkait dengan arah subsidi energi yang relevan dengan sasaran dalam kebijakan energi nasional.
Postur subsidi energi ke depan idealnya selaras dengan arah dan kebijakan pemerintah dalam upaya transisi energi dan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Pertama, subsidi bahan bakar fosil merupakan mekanisme yang tidak efisien, mempertimbangkan redistribusi pendapatan ekspor yang berkurang dari bahan bakar fosil. Kualitas BBM yang beredar sepatutnya sesuai secara teknis dengan kendaraan dengan spesifikasi yang ramah lingkungan. Diperlukan penyesuaian harga BBM secara bertahap mendekati harga keekonomiannya.
Kedua, melanjutkan pengurangan subsidi bahan bakar fosil dan dialihkan untuk sektor produktif. Beberapa tahun terakhir, subsidi energi dialihkan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ke depan, pemerintah perlu mengevaluasi ulang efektivitas pengalihan subsidi yang benar-benar memberikan dampak strategis bagi pertumbuhan ekonomi dan sasaran jangka panjang, misalnya mengalokasikan subsidi khusus untuk pengembangan industri EBT.
Ketiga, menyelesaikan persoalan teknis perubahan subsidi dari sebelumnya berbasis komoditas menjadi berbasis orang. Dengan perubahan kebijakan subsidi berbasis orang, semisal kerja sama dengan organisasi angkutan darat (Organda), subsidi akan lebih tepat sasaran. Untuk penyaluran subsidi elpiji bagi rumah tangga, ditargetkan untuk warga dengan kategori prasejahtera dengan basis Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) serta mengoptimalkan penggunaan kartu keluarga sejahtera.
Keempat, sejalan dengan tren global dalam penerapan aspek environmental, social, and governance (ESG), diperlukan perubahan kebijakan subsidi energi untuk mendukung ekonomi hijau. Diperlukan kebijakan fiskal, seperti tax allowance dan pembebasan bea masuk untuk sektor EBT, berikut dukungan insentif untuk akselerasi penggunaan kendaraan listrik.
Kelima, mendorong pemerintah mematangkan implementasi teknis terhadap Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon. Saat ini, sebanyak 25 negara telah menerapkan pungutan karbon. Finlandia menerapkan pajak karbon sejak 1990. Swedia dan Norwegia sejak 1991 dan berhasil menurunkan tingkat emisi karbon sebesar 25 persen.
Australia dan Jepang menerapkan sejak 2012, diikuti China 2017 dan Singapura pada 2019. Pajak karbon terbukti telah menurunkan polusi dan emisi serta dapat menambah penerimaan negara. Pengenaan pajak karbon ini tentu akan lebih efektif jika subsidi pada komoditas energi fosil dihilangkan.
Irnanda Laksanawan Strategic Advisor Centre for Energy and Innovations Technology Studies (CENITS), Dosen Penguji Doktor Strategic Management UI