100 Tahun Rosihan Anwar, Buku Itu Tentu dan Perlu
Sejak remaja, ia terbiasa membaca buku-buku berbahasa asing. Di pengembaraan sastra dan intelektual, ia gandrung bacaan asing. Rosihan Anwar berada dalam zaman-zaman ”menguntungkan” untuk menjadi pembaca dan penulis.
Dengan membaca buku, saya mendidik diri sendiri. Saya tidak menyandang gelar kesarjanaan. Saya otodidak. Dengan buku, saya menjadi otodidak sepanjang hayat dengan segala keterbatasan saya.
(Rosihan Anwar, 2004)
Ia memilih ”makan” buku. Duit di tangan tak menjadi santapan lezat untuk perut, tetapi bacaan dengan cara sewa. Remaja ”memuja” buku itu bernama Rosihan Anwar, lulusan Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Remaja bisa berbahasa Belanda, selain bahasa Indonesia. Pada usia 13 tahun, ia terlalu menginginkan buku.
Ia sering mendatangi toko-bibliotik milik Tionghoa. Di situ dipinjamkan novel atau roman berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis. Toko-bibliotik di Padang turut membentuk biografi Rosihan Anwar sebagai pembaca rakus. Ia rajin bersama buku. Rosihan Anwar (2004) mengenang masa remaja telanjur memilih: ”Biaya pinjam satu buku seminggu satu gobang, dua setengah sen. Dengan satu gobang, saya sudah bisa makan soto padang yang enak dan pedas di pasar Kampung Jawo, dan kalau punya satu gobang lagi bisa menikmati bubur kampiun yang khas Padang.” Pada saat dewasa atau tua, ia tetap kurus. Kita mengira ia keterlaluan menggandrungi buku ketimbang menggunakan duit untuk makan enak. Kerakusan membaca itu teringat pada 1935.
Tahun-tahun berlalu, ia melanjutkan belajar ke Jawa. Ia menjadi murid di AMS A-II Jogjakarta. Di situ, ia dan para murid diwajibkan membaca roman-roman gubahan Multatuli, Louis Couperus, Charles Dickens, dan lain-lain. Pelajaran-pelajaran menimbulkan kesibukan, tetapi keinginan membaca tak boleh padam. Beragam bahasa dipelajari setiap hari. Roman-toman terbaca meski kadang terhambat atau terganggu.
Ia mondok di rumah Tjan Tjoe Siem. Rumah penuh kenikmatan bacaan. Rosihan Anwar membaca buku-buku berat dan koleksi disertasi. Pengalaman terpenting adalah menguping dan mengamati percakapan para tamu dengan Tjan Tjoe Siem. ”Mereka datang sore hari dan sambil minum teh bercakap-cakap di beranda belakang,” kenang Rosihan Anwar. Para tokoh teringat: Stutterheim, Poerbatjaraka, Zoetmulder, Pigeaud, HJ de Graaf, dan Louis Damais. Ia terlalu beruntung dalam membentuk biografi sebagai pembaca buku dan pergaulan intelektual.
Rosihan Anwar membaca buku-buku berat dan koleksi disertasi.
Sejak remaja, ia terbiasa membaca buku-buku berbahasa asing. Di pengembaraan sastra dan intelektual, ia gandrung bacaan asing. Bacaan-bacaan bermutu dan mudah diperoleh pada masa kolonial sampai revolusi. Ia terlena buku-buku asing, tetapi masih berselera dengan buku-buku berbahasa Indonesia.
Kita dibuat senewen dengan pengakuan Rosihan Anwar: ”Apakah saya membaca buku-buku dalam bahasa Indonesia? Tentu dan perlu. Misalnya, setelah kapitulasi Hindia-Belanda kepada Jepang, 9 Maret 1942, saya rajin membaca buku-buku Indonesia. Saya baca roman Sitti Noerbaja terbitan Balai Pustaka karangan Marah Roesli dan juga roman picisan Patjar Merah terbitan Medan karangan Matu Mona.” Ia membaca sedikit buku saja. Konon, urusan perkembangan (buku) sastra di Indonesia diikuti dengan membaca resensi-resensi. Cukup. Di sastra Indonesia, ia malah tercatat sebagai sastrawan. Ia terlalu beruntung gara-gara menjadikan buku itu ”tentu dan perlu”.
Di buku berjudul Menulis dalam Air (1983), Rosihan Anwar bercerita bahwa buku-buku membentuk biografi, sejak dari kampung halaman sampai ke tanah rantau (Jawa). Ia bertumbuh dengan buku-buku saat kolonialisme turut berdampak dengan kedatangan bacaan-bacaan asal Eropa beragam bahasa.
Bacaan-bacaan itu menuntun ia menjadi pengarang. Gairah muda diwujudkan dengan menggubah sastra. Pada 1943, Rosihan Anwar turut dalam lomba menulis cerita pendek. Ia terpilih menjadi peringkat ketiga. Cerita pendek berjudul ”Radio Masjarakat” dianggap penting, termunculkan dalam perbincangan sastra dan buku pelajaran sastra pada masa berbeda. Pada saat ingin menjadi pengarang, ia justru serius dan tekun dalam pers.
Rosihan Anwar adalah wartawan. Diri sebagai wartawan ”membunuh kemungkinan saya bertumbuh menjadi orang dari belles lettres”. Puluhan tahun membaca novel-novel tak memastikan ia menjadi novelis. Ia pun ingin tercatat dalam perkembangan puisi. Sekian puisi digubah dan dimuat dalam Pandji Poestaka. Kemauan berpuisi itu lekas melempem dan padam.
Rosihan Anwar berada dalam zaman-zaman ”menguntungkan” untuk menjadi pembaca dan penulis. Ia berada di tempat-tempat seperti dilimpahi mukjizat dalam pertemuan dengan buku-buku dan kalangan intelektual. Ia tak selalu menempuhi jalan lurus. Sekian hal memberi sulit dan gagal atas beragam pamrih intelektual dan kesusastraan. Ia besar sebagai wartawan, tak melupakan menulis buku-buku sering terbaca publik sebagai sajian sejarah, politik, seni, dan jurnalistik.
Baca juga: Seabad Rosihan Anwar, Sang Guru Pemberi Warna Pers Indonesia
Buku-buku pun memberi pengaruh untuk bergerak bersama orang-orang di titian sosialis. Ia membaca dan mengerti, tetapi tak merasa perlu berada dalam organisasi atau partai politik. Rosihan Anwar mengenang akhir 1945 atas kemunculan Sutan Sjahrir sebagai tokoh sosialis: ”Pemuda-pemuda yang hendak dianggap sebagai pejuang dan berpikiran progresif menggabungkan diri ke dalam Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Sosialisme memang populer pada masa itu. Sungguh pun begitu, saya tidak masuk Pesindo dan Partai Sosialis.” Ia berada dalam zaman memilih di arus ideologi: bersanding atau bertanding. Ia tetap kritis dengan membaca buku-buku dan mengikuti perkembangan ideologi-ideologi dalam pemberitaan pers.
Kini, kita memperingati seabad Rosihan Anwar (1922-2022) dengan keinsyafan bahwa masa lalu memiliki bab mengenai tokoh dan buku. Ia menempuhi zaman-zaman dengan membaca dan menulis. Pada abad XXI, kita adalah pembaca buku-buku telah dipersembahkan dengan segala pertaruhan iman, ideologi, estetika, bahasa, dan kesejarahan. Sejak mula tekun menulis, Rosihan Anwar memiliki pengharapan menjadi sepotong kecil dalam sejarah Indonesia. Kita mengerti itu terbukti. Begitu.
Bandung Mawardi Penulis Selingan dan Nukilan(2022)