Kondisi sistem perdagangan global sedang tak sehat, G20 harapan terakhir dunia untuk kebijakan perdagangan yang lebih baik. Agenda kerja sama G20 yang diusulkan Indonesia tahun ini terlalu penting untuk ditinggalkan.
Oleh
YOSE RIZAL DAMURI
·4 menit baca
Pertemuan tingkat tinggi para pemimpin ASEAN dengan Presiden Amerika Serikat Joe Biden bisa menjadi momentum untuk kembali menekankan pentingnya agenda G20 di 2022 yang diusulkan oleh Indonesia.
Sejumlah negara semakin merasakan tekanan inflasi yang tinggi dari naiknya harga pangan dan energi, sebagai akibat dari perang di Ukraina dan sanksi yang diberikan kepada Rusia. Inflasi AS mencapai 8,5 persen pada Maret, tertinggi selama empat dekade terakhir. Begitu pula di banyak perekonomian utama lain. Di Indonesia sendiri inflasi mencapai 3,47 persen, tertinggi lima tahun terakhir.
Pertumbuhan ekonomi juga mulai memburuk. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memprediksi perang akan menyebabkan penurunan pertumbuhan global sebesar 1 persen, dibandingkan tanpa adanya perang. Prospek tejadinya stagflasi (stagnasi dan inflasi) semakin nyata. Pemulihan ekonomi dari pandemi menjadi semakin sulit dilakukan karena situasi yang tak menentu dan sulitnya menjalankan kerja sama ekonomi.
Padahal untuk mencapai pemulihan ekonomi yang kuat, diperlukan kerja sama ekonomi yang lebih baik.
Padahal untuk mencapai pemulihan ekonomi yang kuat, diperlukan kerja sama ekonomi yang lebih baik. Dampak dari perang di Ukraina juga hanya dapat ditanggulangi dengan kerja sama di tingkatan global, termasuk untuk meminimalkan risiko disrupsi pasokan, krisis pangan, ataupun krisis energi.
Agenda yang diusung Indonesia di dalam presidensi G20 tahun ini menjadi sangat penting untuk dilaksanakan meski makin sulit untuk dicapai.
Peran penting G20 harus terus disuarakan oleh Indonesia dan anggota G20 lain. Saat ini ada pandangan dari beberapa negara, terutama anggota G7, bahwa hadirnya Rusia dalam pelbagai pertemuan G20 adalah hal yang tak patut. Ini bahkan berujung pada ancaman boikot terhadap pertemuan tingkat tinggi pada November nanti di Bali.
Mencegah dampak invasi
Ketika para pemimpin AS dan Indonesia bertemu di Washington, fokus diskusi dapat diarahkan untuk mencegah dampak invasi Rusia yang dapat menggagalkan agenda kerja sama ekonomi di bawah G20. Terkait ini ada beberapa hal yang perlu disampaikan secara tegas dalam pertemuan itu, dan pada berbagai kesempatan lain.
Pertama, pertemuan G20 tahun ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk memberikan dukungan bagi pemulihan ekonomi global yang lebih baik. Dengan kontribusi pada perekonomian dan perdagangan global hanya sekitar 30 persen, G7 mustahil dapat mencapai aspirasi bagi pemulihan yang lebih kuat, adil, dan berkelanjutan, tanpa partisipasi aktif negara berkembang, terutama yang tergabung dalam G20.
Agenda yang diusulkan Indonesia berusaha menjembatani berbagai kepentingan negara maju dan berkembang, yang terkadang berbeda, dalam pemulihan ekonomi global. Prioritas yang diangkat juga mewakili kepentingan negara berkembang. Peran penting ekonomi Indonesia di Asia dan di antara negara berkembang, serta tradisi sejarah sebagai negara Non-Blok, menjadikannya sedikit dari negara yang dapat menjalankan fungsi tersebut.
Kedua, Indonesia perlu menekankan pentingnya Indonesia dan ASEAN dalam menyukseskan agenda AS di kawasan ini. AS butuh Indonesia dan ASEAN untuk tujuannya menyukseskan rencana Indo-Pacific Framework. Rencana pemerintahan Biden di Asia akan membutuhkan dukungan Indonesia agar berhasil. Indonesia bisa menyampaikan ini bersama negara ASEAN lain yang juga menghadapi permasalahan serupa, seperti Thailand yang menjadi tuan rumah pertemuan APEC 2022. Peran Indonesia baik di G20 maupun bobotnya di ASEAN menjadikannya vital bagi AS.
Selain itu, dalam presidensi tahun ini, Indonesia juga perlu mengakui bahwa ada permasalahan geopolitik yang saat ini mengancam pemulihan global, dan perlu merespons dampak ekonomi dari konflik ini. Beberapa agenda perlu mengakomodasi tekanan yang muncul akibat isu ini, seperti permasalahan perdagangan, energi, dan juga ketahanan pangan global.
Indonesia juga dapat menawarkan untuk secara khusus membicarakan perang ini, bukan untuk tujuan menghentikannya, tetapi membicarakan apa yang bisa dilakukan untuk rekonstruksi dan pemulihan setelah perang, baik untuk Ukraina, Rusia, maupun perekonomian global. Memasukkan isu terkait perkembangan geopolitik, tak menjadikan G20 sebagai forum politik, tetapi menunjukkan agenda yang diangkat Indonesia adaptif terhadap perkembangan yang terjadi.
Kepemimpinan Indonesia
Terakhir, Indonesia juga perlu memperlihatkan kepemimpinannya di G20 dengan memberikan contoh nyata. Akibat naiknya harga pangan dan meningkatnya ancaman terhadap keamanan pangan dunia, kebijakan larangan ekspor pangan dari suatu negara merupakan hal yang sangat tidak produktif.
Larangan ekspor CPO yang dikeluarkan pada bulan lalu merupakan contoh kebijakan spontan yang, jika direplikasi di seluruh dunia, akan membahayakan pemulihan pascapandemi dan ketahanan pangan. Bayangkan jika akibat dari berkurangnya pasokan gandum atau beras, beberapa negara produsen mulai menerapkan larangan ekspor. Indonesia tentu juga akan sangat dirugikan.
Agenda kerja sama G20 yang diusulkan Indonesia di presidensi tahun ini terlalu penting untuk ditinggalkan.
Dengan sistem perdagangan global dalam kondisi tak sehat, G20 harapan terakhir dunia untuk kebijakan perdagangan yang tak saling merugikan. Indonesia mempunyai kewajiban moral untuk mendukung, bukan malah merusaknya. Agenda kerja sama G20 yang diusulkan Indonesia di presidensi tahun ini terlalu penting untuk ditinggalkan.
Demi keberlangsungan perekonomian global yang lebih baik, adil, dan berkelanjutan, merupakan kewajiban Indonesia dan negara G20 lain untuk menyelamatkan agenda G20 tahun ini. Pertemuan di Washington bisa jadi salah satu momentum penting bagi Indonesia.
Yose Rizal Damuri, Executive Director CSIS/Executive Co-Chair T20 Indonesia.