Menghindari Kekerasan Narasi Menuju Solidaritas Bangsa
Belum terlambat untuk membenahi karut-marut perkelahian narasi di media sosial sebelum bangsa di ambang kehancuran. Sebagai bangsa besar perlu menjadi poros keteladanan bagi generasi ke depan.
Selama ini masih terdapat ketimpangan di dalam melihat dan menilai suatu tindakan dipandang radikal. Padahal yang namanya tindakan radikal tidak hanya kekerasan yang berbentuk fisik atau teror yang mengakibatkan korban nyawa. Kekerasan bisa terjadi dalam bentuk verbal yang dilontarkan baik dalam bentuk narasi tulisan ataupun lisan/verbal.
Sayangnya hukum belum menjangkau sanksi hukuman dengan adil (fair) kepada orang-orang yang gemar mengumbar celotehan radikal di media sosial (medsos), baik lewat tulisan maupun oral/verbal. Pelaku yang mudah tersentuh hukum justru pelaku yang tidak memiliki akses dengan kekuasaan. Pelaku yang dekat dengan kekuasaan tampak kebal dari bidikan hukum. Bahkan yang sudah dinyatakan tersangka pun tidak segera ditindaklanjuti.
Berapa banyak kekerasan narasi terjadi di medsos yang dilakukan kasatmata terkesan dibiarkan. Lantaran yang melakukan (pelaku) dicurigai dilindungi dan dipelihara oleh kelompok elite berkepentingan. Bahkan kecurigaan itu hingga pada nominal empuk dan menggiurkan telah mampir di tangan dingin mereka.
Baca juga: Menyempitnya Ruang Perbedaan
Tentu saja dugaan ini masih perlu dibuktikan kebenarannya. Namun, terlepas benar atau tidaknya, peristiwa yang tidak sehat ini seharusnya bagi semua pihak bermawas diri paling serius. Lebih-lebih noktah hitam yang paling tragis dan memalukan telah terjadi baru-baru ini berupa tindak kekerasan oleh sekelompok orang kepada salah satu pegiat medsos.
Di sini sebenarnya yang menjadi titik pemicu adalah narasi di medsos yang tidak diimbangi dengan fitur kearifan dan nutrisi substansi yang meneduhkan. Sasaran narasi tidak fokus kepada pencerahan bijak terhadap kelompok Islam yang selama ini dipandang ekstrem/radikal.
Narasi di medsos tanpa disadari telah menyerempet dan menyasar keras kepada soal kritik tentang ajaran fundamental Islam mainstream. Pada ujungnya terminologi Islam kadrun dan Islam gurun yang dilontarkannya menjadi tidak efektif karena dapat melahirkan gelombang radikalisme baru akibat narasi kekerasan oleh segelintir pegiat medsos itu. Jadi siapa sesungguhnya yang radikal dan melahirkan radikal baru?
Islam dengan sangat arif menyerukan dan mendidik kepada semua umat untuk menghargai kawan dan lawan. Lawan boleh ditentang dan diluruskan menuju ke titik pencerahan/perbaikan. Tidak untuk disudutkan apalagi dimaki tanpa berkesudahan yang menyebabkan tatanan sosial kian terbelah dan berujung ke prahara kehancuran.
”Bertutur katalah dengan lembut, tegas, bermutu dan menyentuh ke substansi” (QS Taha: 44, Al-Ahzab: 70, dan an-Nisa: 63). Demikiah Tuhan berfirman.
Sejalan dengan pesan kitab suci di atas, seorang pemikir Muslim, Ali Jaritsah, dalam karyanya, Adab al-Hiwar Wa al-Munazarah, memaparkan secara lengkap perlunya bernarasi dengan mempraktikkan hal-hal berikut: pertama, berupaya menahan diri dari krisis terburuk (muhawalatu ihtiwa an az-zalamat al-fajarah); kedua, berargumentasi dengan argumen dan landasan nalar yang kokoh (iltizam al-adillh al-ushuliyah wa al-aqliyah); ketiga, tidak melakukan perundungan (bully) dan kekerasan verbal (al-imtina an al-izai wa al-sukhriyati); keempat, tidak bertele-tele dan keluar dari obyek masalah (alla yathila wa alla yakhruja an al-mathlub); kelima, menghindari pesan-pesan samar yang mengandung rasis dan di luar kontek materi (an yatajannaba fi al-alfazihi al-gharib wa al-muhtamil min qarinah); keenam, menguasi bidang keilmuan dengan komperhensif (muhithat madat al-ulum).
Islam dengan sangat arif menyerukan dan mendidik kepada semua umat untuk menghargai kawan dan lawan.
Perintah ayat dan pandangan pemikir Muslim di atas sangat sejalan dengan nuansa dan aspirasi Indonesia sebagai negara kebangsaan yang mengusung nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban berlandaskan Pancasila. Aspirasi ini juga termasuk sering didengungkan oleh para pemimpin bangsa dan para pemuka keagamaan yang sangat perihatin akan terjadinya keterbelahan sosial di negeri yang kita cintai ini.
Indonesia yang telah dilahirkan para founder bangsa dengan bersusah payah mengusir penjajah dan membentuk negara merdeka, dibantu oleh para tokoh agama/bangsa dan rakyat dari latar belakang ragam suku bangsa dan sosial keagamaan. Mereka semua turut menggelorakan semangat juang nan gigih. Pikiran, harta, tenaga/fisik bahkan nyawa dikorbankan. Di mana kemerdekaan kini telah direbut dan dinikmati. Sungguh naif dan dosa tiada ampun apabila negeri ini tidak diisi dengan karya dan inovasi.
Tanah Air yang subur dengan kekayaan alam yang sejatinya dikelola dengan menghasilkan kesejahteraan dan sumber daya manusia bangsa dicabik oleh hanya celotehan kekerasan narasi. Kegaduhan demi kegaduhan yang tiada henti membuat anak kandung bangsa kegerahan tak berdaya membangun karier demi kelangsungan kehidupannya ke depan. Sementara kekayaan alam yang subur dibiarkan dirusak oknum kaum oligarki dan kaum asing yang tegas-tegas mendominasi separuh dari jantung kekayaan Indonesia.
Lalu mengapa kita larut memaki dan berkelahi dengan bangsa sendiri? Tidakkah di sebelah sana masih terdapat musuh dan penjahat negara yang harus kita lawan dengan kekuatan dan soliditas bangsa yang kita miliki? Berapa banyak lagi dosa yang diterima apabila para pecundang bangsa itu hanya berani memusuhi dan bahkan menebas nyawa bangsa sendiri?
Bung Karno pernah mengingatkan bahwa bangsa akan berantakan hancur jika hanya berani bermusuhan dengan bangsa sendiri. Sebaliknya kekuatan dan kemenangan, kan, segera digapai manakala dengan kedamaian dan persatuan/solidtas bangsa melawan penjajah.
Waktu belum terlambat untuk membenahi karut-marut perkelahian narasi ini sebelum bangsa di ambang kehancuran. Aparat pemerintah telah menindak tegas dan menangkap kelompok sempalan teroris dan kelompok radikalisme lain, seperti para penista agama. Oleh karena itu, tidak perlu lagi ditambah dengan radikalisme baru, apalagi hanya dalam bentuk kekerasan narasi medsos yang tak ada untungnya dalam membangun kohesi sosial bangsa.
Bung Karno pernah mengingatkan bahwa bangsa akan berantakan hancur jika hanya berani bermusuhan dengan bangsa sendiri.
Sudah lama bangsa ini, menurut Azyumardi, menanggung beban penderitaan ekonomi akibat dilanda bancana Covid-19 yang menyebabkan kohesi sosial dan kegotongroyongan bangsa rapuh (Kompas, 4 Mei 2022). Bahaya besar apabila kekerasan narasi di medsos menjadi penambah dosis pemicu perpecahan bangsa. Saatnya kegenitan para pegiat medsos menghentikan petualangan narasi konyolnya oleh kesadaran yang bersangkutan. Apabila perlu aparat negara membuat regulasi yang mengatur kontennya lebih tegas lagi demi terwujudunya suasana keteduhan dan kedamaian bangsa.
Sejatinya semua pihak bersyukur, kebinekaan bangsa Indonesia yang terdiri dari suku dan agama masih dapat dipersatukan dengan rukun, harmoni, dan dengan penuh kedamaian. Dibandingkan negara-negara di kawasan Timur Tengah, Afghanistan, Myanmar, dan Ukraina yang hingga kini masih tetap berkecamuk dengan keganasan dan peperangan yang tiada berkesudahan. Rakyat di sana dilanda kesengsaraan bertubi-tubi dan bertumpuk beban penderitaan dari kebutuhan sandang, papan, dan pangan.
Sebagai bangsa besar perlu menjadi poros keteladanan bagi generasi ke depan. Jangan biarkan di kemudian hari anak cucu mempermalukan kita lantaran mereka telah menerima getah kepahitan hidup tanpa jejak kebahagiaan kualitas raga dan rohaniah yang didambakannya. Sementara para pendahulunya ramai dengan saling menghujat dalam dialektika narasi medsos.
Baca juga: Keteladanan di Dunia Digital
Tidak sampai di situ, para politikus dan kaum elite perumus kebijakan pun mencoba turut memorak-porandakan apa yang sudah disepakati oleh para legacy dengan cara melanggar konstitusi. Bung Karno dalam kesempatan lain selalu mengingatkan agar setiap bangsa tidak mengubah apa yang telah disepakati politisi dengan cara estetis. Artinya bangsa tidak dibenarkan bermain-main merombak kebijakan yang sudah disepakati atas nama bangsa dengan basa-basi dan permainan diplomasi demi meraih kedudukan politik sesaat.
Oleh karena itu, pesan kitab suci dan pandangan pemikir Muslim di atas perihal pedoman bernarasi agar dipraktikkan dengan nalar arif, penuh kelembutan, dan dengan hujah cerdas, tanpa mengundang rasisme kebencian dan permusuhan di antara bangsa sendiri. Sudah saatnya pesan profetik itu diimplementasikan oleh semua bangsa dengan nyata. Dengan demikian harapan menghindari narasi yang berkonten mengundang potensi menebas nyawa bangsa sendiri terhindari. Soliditas bangsa/kohesi sosial yang menjadi aspirasi bangsa dengan sendirinya terwujud. Keterbelahan sosial yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan bakal bergolak di negeri ini segera ditepis dari kenyataan.
Sungguh mengharukan pesan perofetik Nelson Mandela, seorang pahlawan Afrika antirasis, ”Anda lebih banyak mencapai di dunia melakuan tindakan belas kasih daripada Anda melakukan tindakan pembalasan”. Semoga!
Fauzul Iman, Guru Besar UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten; FB: fauzul.iman.395