Jurnalisme dan Kuasa Platform Digital
Para peneliti studi platform menekankan pentingnya melacak dimensi penguasaan dan pengendalian penetrasi bisnis perusahaan digital. Pendekatan kritis penting untuk Indonesia yang terlalu optimistik dengan digitalisasi.
Ketidakpastian telah menjadi kepastian. Disrupsi adalah normalitas, dan perubahan merupakan keniscayaan. Yang mengemuka kemudian adalah kerancuan dampak.
Di satu sisi lahir manfaat dan peluang, di sisi lain muncul ancaman dan krisis. Itulah kesimpulan riset The Centre for Media Transition tentang pengaruh digitalisasi terhadap industri media massa, khususnya di Australia.
Dengan judul ”The Impact of Digital Platforms on News and Journalistic Content” (2018), riset ini menjelaskan kemunculan perantara digital, seperti mesin pencari dan medsos, telah secara cepat mengubah ekologi bermedia. Semakin lazim orang menemukan berita melalui platform mesin pencari dan medsos. Semakin banyak penerbit mengeluhkan menurunnya kunjungan langsung pengguna ke situs web mereka.
Sebaliknya, semakin besar kontribusi platform mesin pencari dan medsos dalam memberikan rujukan kepada pengguna untuk mengakses situs web penerbit. Dengan Facebook Instant Articles atau Google Accelerated Mobile Pages, pengguna bahkan bisa membaca berita tanpa perlu mengunjungi situs web penerbit yang memproduksi berita.
Namun, mereka juga menyebabkan penerbit kian berjarak dengan khalayak.
Platform mesin pencari dan medsos memang telah menyediakan peluang-peluang baru bagi penerbit untuk menyajikan dan menyebarkan konten secara lebih efisien, interaktif, dan atraktif. Namun, mereka juga menyebabkan penerbit kian berjarak dengan khalayak. Satu perubahan yang kemudian mengganggu reputasi penerbit, akses penerbit terhadap data pembaca, serta peluang untuk menarik perhatian pengiklan.
Secara keseluruhan, hubungan antara penerbit dan platform digital diwarnai tegangan antara peluang transformasi dan kolaborasi jangka pendek di satu sisi dengan kekhawatiran keberlanjutan nasib media dalam jangka panjang di tengah ketergantungan yang kian akut terhadap perantara digital.
Baca juga : Mempersoalkan Imparsialitas Platform Digital
Rasmus Kleis Nielsen dan Sarah Anne Ganter dalam artikel ”Dealing with digital intermediaries: A case study of the relations between publishers and platforms” (2018) menyatakan tegangan ini mencerminkan kesulitan penerbit mengukur risiko dan manfaat kolaborasi dengan platform digital, serta bayang-bayang hilangnya pemasukan dan khalayak di tengah tren hubungan yang semakin asimetris dengan perusahaan platform digital. Institusi media massa yang telah berkembang menjadi lembaga independen yang menentukan arah demokratisasi pada abad ke-20 tiba-tiba memasuki era di mana platform digital muncul sebagai episentrum baru arus informasi dan wacana publik.
Dengan kekuatan teknologi, modal, dan jaringannya, platform digital membuat semua pihak mesti merujuk ke dirinya. Mereka menciptakan ekosistem yang memaksa tak hanya setiap individu pengguna layanan mereka, tetapi juga media massa, pengiklan, bahkan negara senantiasa beradaptasi dengan model distribusi konten, interaksi sosial, dan skema bisnis yang diciptakannya. Muaranya tak pelak lagi dominasi platform digital terhadap lanskap media secara global.
Kendali platform digital
Salah satu perubahan besar di dunia media di era digital adalah pergeseran dari ”khalayak yang mengonsumsi konten” menjadi ”khalayak yang menghasilkan konten”. Digitalisasi tidak hanya memberi opsi sumber informasi yang sangat beragam, tetapi juga memungkinkan setiap orang menjadi sumber informasi. Platform digital memfasilitasi penggunanya untuk menjadi konsumen sekaligus produsen informasi.
Jurnalisme partisipatif mengalami radikalisasi. Khalayak tak hanya dapat secara bermakna merespons berita media massa, tetapi juga bisa memproduksi berita dan menyebarkannya. ”We media”, inilah pekik warganet dewasa ini. Berkat medsos, warganet mampu menyeleksi dan mendiskusikan, bahkan menghasilkan, konten lazimnya wartawan. Platform digital berada di jantung perubahan dramatis ini, menjadi episentrum arus pertukaran informasi dan secara cepat menduduki fungsi yang sebelumnya dilakukan media massa.
Dampak lain yang muncul adalah peran produser berita semakin terpisah dari peran distributor berita. Dalam hubungan antara media massa dan platform digital dewasa ini, yang semakin lazim terjadi adalah media massa membuat berita dan platform digital yang menyebarkannya. Keadaan ini memungkinkan platform digital seperti Facebook dan Google menjual inventori iklan dan menambang data pengguna dengan memanfaatkan konten milik media massa.
Lebih dari itu, mereka secara teknologis mampu menentukan arah pemberitaan.
Platform digital umumnya tidak menghasilkan konten. Mereka notabene bukan produser berita, tetapi memainkan peran kunci sebagai distributor berita. Lebih dari itu, mereka secara teknologis mampu menentukan arah pemberitaan. Algoritma kurasi dalam praktiknya sangat menentukan konten apa yang layak dibuat pengguna dan disebarkan melalui platform medsos atau mesin pencari.
Algoritma kurasi juga menentukan konten apa yang menarik bagi khalayak dan berpotensi menghasilkan pendapatan iklan bagi platform digital dan rekanannya. Dengan kata lain, platform digital telah melangkah jauh dari sekadar perantara konten. Mereka menghibridasi peran distributor dan editor konten. Apa yang dilakukan Facebook newsfeed, misalnya, bukan sekadar menyajikan daftar kronologi konten yang diunggah pengguna, melainkan juga mengurasi konten itu untuk menentukan posisinya dalam tampilan newsfeed.
Dengan pengoperasian algoritma yang kompleks, Facebook menilai, mengurasi, dan menyusun konten dalam hierarki, mempromosikan konten dengan standar yang mereka tetapkan, dan mengelola interaksi sosial di sekeliling konten untuk menghasilkan data pengguna.
Bersandar pada kekuatan teknologi dan keluasan jaringan yang tak dimiliki produsen konten, platform digital telah menjalankan fungsi infomediasi berita (news infomediation). Dijelaskan Nikos Smyrnaios dalam ”Google and the Algorithmic Infomediation of News” (2015), infomediasi berita merujuk pada kombinasi dari praktik agregasi, penyuntingan, dan penyebaran konten milik pihak ketiga guna mempertemukan penawaran dan permintaan atas konten.
Posisi infomediasi berita inilah yang dewasa ini ditempati Google dan Facebook. Bukan pembuat konten, tapi menentukan distribusi dan monetisasi konten. Berpretensi sebagai ”perantara” informasi, tapi sesungguhnya mengontrol hampir seluruh rantai sirkulasi informasi. Mereka pemain utama bisnis periklanan digital sekaligus wasit yang mendikte bagaimana praktik periklanan digital mesti dijalankan pihak lain.
Keberadaan konten jurnalistik ini, meski tidak dominan dalam jagat digital secara keseluruhan, tetap diperhitungkan oleh platform medsos.
Dalam perkembangannya, mereka bahkan menetapkan dan ”memaksakan” standar produksi konten. Prinsip personalisasi, kustomisasi, otomatisasi, dan atomisasi konten sebagai dampak dari penerapan sistem algoritma, analisis big data dan machine learning, kini sedang menggema di ruang redaksi media massa di seluruh dunia. Karakteristik umum perusahaan platform dalam konteks infomediasi berita sekali lagi adalah mereka tak memproduksi konten sendiri, tak terbebani kerepotan mengelola komponen kreatif industri budaya massa. Tak harus memiliki awak redaksi dengan kualifikasi jurnalistik tertentu.
Jika dilihat secara terbalik, platform digital sebagai infomediasi berita sesungguhnya hanya bisa berfungsi dengan syarat ketersediaan konten pihak lain, tanpa terkecuali konten jurnalistik media massa. Keberadaan konten jurnalistik ini, meski tidak dominan dalam jagat digital secara keseluruhan, tetap diperhitungkan oleh platform medsos. Bahkan meskipun konten buatan pengguna semakin mendapat tempat di medsos, berita berkualitas dari media massa profesional tetap diperlukan platform digital untuk membangun citra positif di depan khalayak dan pengiklan.
Baca juga : Menggugat Monopoli Platform Digital
Pendekatan kritis
Latar persoalan seperti di atas kemudian mendorong pergeseran dalam studi dampak digitalisasi terhadap jurnalisme yang sebelumnya didominasi pandangan optimistis studi jurnalisme digital. Studi ini menekankan bagaimana komunitas pers menyesuaikan diri dengan teknologi baru, atau bagaimana teknologi informasi diterapkan untuk menunjang kerja jurnalistik dan bisnis media.
Mereka meneliti bagaimana dengan standar profesional dan tradisi organisasi yang telah bertahan lama, media massa menginternalisasi teknologi baru. Kesimpulannya, teknologi digital berkontribusi pada perubahan praktik bermedia, dan komunitas media mesti menyesuaikan diri sesegera mungkin.
Hal yang luput dari perhatian studi jurnalisme digital menurut Nielsen dan Ganter adalah bahwa media massa juga telah kehilangan kendali atas jurnalismenya sendiri akibat perubahan-perubahan dalam transformasi digital. Media massa sesungguhnya hanya jadi bagian dari keseluruhan semesta informasi digital dengan nilai-nilai yang berbeda, bahkan sebagian bertolak belakang dengan nilai jurnalisme yang hakiki.
Kelemahan studi jurnalisme digital itu mendorong lahirnya pendekatan kritis untuk menjelaskan hubungan jurnalisme dan digitalisasi. Salah satunya adalah studi platform yang menegaskan bahwa dalam era algoritma kurasi dewasa ini, media massa sesungguhnya tak sedang menentukan nasibnya sendiri, alih-alih sedang didikte perusahaan platform global.
Jika studi jurnalisme digital berfokus pada bagaimana media massa mengadopsi teknologi komputasi untuk mengembangkan cara baru memproduksi dan mendistribusikan konten, studi platform secara kritis menjelaskan bagaimana teknologi itu dan entitas bisnis yang membelakangnya secara eksesif mengendalikan proses produksi, distribusi dan monetisasi konten jurnalistik.
Fokus studi jurnalisme digital adalah penyesuaian diri komunitas media terhadap tren digitalisasi melalui kombinasi pengembangan artefak tertentu (situs web, aplikasi), penerapan praktik (protokol, norma dan rutinitas profesional), dan perubahan struktural (struktur redaksi). Sebaliknya, studi platform meneliti bagaimana komunitas massa harus beradaptasi dengan berbagai teknologi perusahaan platform sedemikian rupa sehingga menghasilkan restrukturisasi ekosistem media secara keseluruhan.
Keseimbangan antara perspektif kritis dan perspektif positivistik dibutuhkan agar Indonesia bisa melihat fenomena digitalisasi secara lebih jernih, rasional, dan berjarak.
Dalam studi jurnalisme digital, adopsi terhadap artefak teknologi digital merupakan pilihan sadar komunitas media guna menyesuaikan diri dengan perubahan ekologi media yang terjadi. Sementara dalam studi platform, adopsi artefak teknologi digital sesungguhnya didorong oleh kekuatan ekonomi berskala raksasa yang memiliki kemampuan untuk memaksa pihak-pihak lain guna menjadikan kekuatan itu sebagai episentrum perubahan.
Para peneliti studi platform menekankan pentingnya melacak dimensi penguasaan dan pengendalian dari penetrasi bisnis perusahaan platform digital terhadap berbagai pihak yang kian tergantung pada teknologi, sistem distribusi, dan model bisnis yang mereka ciptakan. Pendekatan kritis semacam ini sangat penting untuk Indonesia hari ini yang terlalu optimistis dalam memandang fenomena digitalisasi dan kurang mengantisipasi residunya. Keseimbangan antara perspektif kritis dan perspektif positivistik dibutuhkan agar Indonesia bisa melihat fenomena digitalisasi secara lebih jernih, rasional, dan berjarak.
Agus Sudibyo Koordinator Taksforce Media Sustainability, Dosen ATVI Jakarta