Aktor pemilu memanfaatkan Ramadhan dan momentum ritual mudik untuk mengerek jenama mereka. Seharusnya ini waktu yang tepat untuk menyodorkan jenama politik capres sebagai sosok presiden yang dibutuhkan bangsa ini.
Oleh
SUMBO TINARBUKO
·5 menit baca
HERYUNANTO
Aktor pemilu lihai memanfaatkan peristiwa Ramadhan dan momentum ritual mudik untuk mengerek jenama mereka. Di hadapan calon pemilih yang notabene pelaku ritual mudik, para aktor pemilu menjalankan aktivitas komunikasi politik. Hal itu mereka kerjakan guna memoles penampakan visual jati diri berikut reputasinya.
Mengapa gegap gempita adu jenama sengaja dihadirkan pada momentum ritual mudik? Mereka menyadari, untuk mendongkak secara instan popularitas dirinya, para aktor pemilu menjalankan proses komunikasi politik juga secara instan. Peristiwa Ramadan dan ritual mudik dianggap sebagai momentum relevan untuk mengoyak celah sempit ceruk elektabilitas. Bagaimana caranya? Yang paling mudah lewat pameran baliho politik di ruang publik.
Strategi lainnya ikut nguntapake (memberangkatkan) para pemudik yang akan melaksanakan ritual mudik ke kampung halamannya. Para aktor pemilu membuat acara seremonial pemberangkatan pemudik di terminal bus antarkota antarprovinsi, pelabuhan, dan stasiun kereta api.
Pada titik itu, jenama aktor pemilu direkatkan di tempat strategis agar dapat terendus mata kamera telepon pintar para pemudik. Jenama aktor pemilu juga direproduksi ke dalam spanduk dan banner untuk direkatkan pada alat transportasi yang digunakan para pemudik. Ada pula jenama aktor pemilu disablonkan di kaus. Kemudian diberikan kepada pemudik. Kaus bergambar jenama aktor pemilu yang dipakai sebagai seragam pemudik. Pemakai kaus itu kemudian di-framing sebagai pendukung setia sang aktor pemilu.
Adu jenama aktor pemilu juga memanfaatkan hampers alias bingkisan Lebaran. Hal itu diberikan sebagai cendera mata. Maksud politiknya, sebagai upaya mendekatkan jenama aktor pemilu kepada target sasaran alias calon pemilih untuk mendukung mereka menjadi penguasa di negeri ini.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Sejumlah baliho tokoh politik terpasang di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (16/4/2022). Bulan Ramadhan menjadi momentum bagi partai politik untuk meraih simpati masyarakat.
Jenama politik
Paparan narasi di atas berhasil diabadikan harian Kompas (30/4/2022) menjadi sebuah liputan yang komprehensif dengan tajuk: Saat Figur Potensial Capres dan Parpol Membonceng Momen Mudik Lebaran. Kompas mewartakan, ”Sejumlah figur potensial capres yang menjabat menteri dan kepala daerah serta kader parpol meluangkan waktu untuk beragam kegiatan bagi pemudik. Ikhtiar meraih simpati publik guna kepentingan elektoral Pemilu 2024”.
Kompas mencatat nama gubernur yang sedang flamboyan namanya, menteri dan ketua partai politik menjalankan kerja komunikasi politik di ruang publik. Mereka yang disebut Kompas berupa mendongkrak elektabilitas jenama sebagai aktor pemilu. Di antaranya: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Dua gubernur yang merajai survei elektabilitas calon presiden, dengan riang gembira nguntapake mudik gratis warganya. Mereka berdua mengibarkan bendera startsebagai penanda visual memohon dukungan warganya untuk maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2024.
Di tempat berbeda, Erick Thohir, Menteri BUMN, dan Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, juga nguntapake pemudik lewat program khusus mudik gratis.
Ketika sosok calon presiden yang dijagokan survei elektabilitas dan mendapatkan dukungan partai politik secara serius mengukir jenama mereka sebagai aktor pemilu, pada titik itu sejatinya mereka sedang mengubah jenama dirinya menjadi jenama politik.
Representasi jenama dalam konteks marketing komunikasi dihadirkan menjadi nama produk barang dan jasa. Jenama juga berfungsi sebagai pembeda atas produk barang dan jasa yang beredar di jagat raya atau jagat maya. Pada titik ini, jenama capres Erick Thohir, Airlangga Hartarto, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, berikut partai politik pendukungnya selalu hadir dengan berbagai kostum diferensiasi sebagai pembeda artifisial keberadaan mereka.
Perlu juga diteliti rekam jejak prestasi dan karya nyata mereka yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Ketika keberadaan capres yang merupakan penampakan visual aktor pemilu dibaca sebagai sebuah jenama politik, konsekuensi logisnya mereka wajib menunjukkan kualitas performa jenama politik yang melekat di dalam dirinya. Hal paling mendasar dapat disimak dari tampilan fisik: cara berbicara berikut nada bicaranya. Cara menjawab pertanyaan. Upaya mengatasi masalah berikut ide solusinya. Gestur tubuh dan gaya berpakaian. Dapat juga ditelisik ambisi politik dan konsep diri maju sebagai capres. Perlu juga diteliti rekam jejak prestasi dan karya nyata mereka yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Diferensiasi sebagai unsur pembeda di antara jenama politik milik aktor pemilu, oleh konsumen alias calon pemilih akan menjadi sumber referensi. Ujungnya membawa mereka menuju ketetapan hati untuk memilih kandidat capres dalam Pemilu Presiden 2024.
Jaminan kualitas
Jenama politik yang melekat dalam tubuh capres yang merupakan reprentasi aktor pemilu wajib dibaca sebagai representasi jaminan kualitas seorang calon presiden. Jenama politik capres memberikan garansi kualitas atas prestasi dan kepribadiannya sebagai makhluk sosial maupun insan individu dari masing-masing capres tersebut.
Ketika rakyat sebagai konsumen akan membeli produk barang dan jasa berwujud calon presiden, maka mereka akan menimbang, mendengarkan, melihat dan memilih capres yang dibutuhkannya. Saat kuasa menimbang sampai memilih masih ada di tangan calon pemilih. Momentum seperti itu adalah waktu yang tepat bagi capres, tim sukses dan para relawan untuk segera menyodorkan jenama politik capres sebagai sosok presiden yang dibutuhkan bangsa Indonesia.
Sayangnya, sejak era reformasi memayungi Ibu Pertiwi, kesempatan emas tersebut sedikit sekali mereka dimanfaatkan. Dalam beberapa kali pemilu dan kesempatan kampanye, mereka justru menunjukkan egoisme politik. Mereka mengedepankan sikap adigang, adigung, adiguna lewat aksi kampanye yang menakutkan bagi masyarakat luas.
Mereka juga gemar menebar sampah visual iklan politik dengan memakukan dan memasang alat peraga kampanye capres di batang pohon dan fasilitas umum lainnya. Lewat alat peraga kampanye yang ditebarkan di ruang publik, mereka secara sengaja, melakukan aksi teror visual pada warga masyarakat.
Saat kualitas jenama politik capres yang merupakan representasi aktor pemilu dapat diterima konsumen sebagai calon pemilih, pada titik itulah positioning jenama politik capres tersebut menancap dengan manis di benak calon pemilih. Hal itu terjadi karena secara psikologis calon pemilih yang terkena sihir positioning jenama politik capres, merasa ikut menjadi bagian dari jenama politik capres yang dipromosikan dan dikumandangkan di ruang publik.
Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Komunikasi Publik; Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta