Wacana di Ruang Publik
Pembicaraan kita di ruang publik mesti dipahami sebagai momen penguatan dan perbaikan demokrasi. Pembicaraan itu juga harus mengalir dari motif etis sembari mengutamakan kebenaran, serta berciri etis, santun, dan elok.
Kegemaran kita untuk berbicara dan menyatakan sikap di ruang publik dijamin oleh konstitusi dan alam demokrasi kita. Kebebasan menyatakan pikiran, sikap, dan menyatakan pendapat diatur dalam UDD 1945 Pasal 28E Ayat (2) dan Ayat (3). Substansi amanah konstitusi itu meringkas keseluruhan makna etis paham demokrasi, yakni demokrasi sebagai legitimasi tatanan politik mengemban nilai bahwa kesetaraan, kebebasan kehendak, hak asasi, dan penentuan diri setiap warga merupakan nilai yang an sich dihormati.
Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan beberapa partai politik kekinian beberapa waktu lalu gemar mengulik narasi penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Luhut, misalnya, mengaku mempunyai big data 110 juta orang di media sosial mendukung penundaan Pemilu 2024. Klaim serupa lebih dahulu disampaikan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Kalangan akademisi sampai aktivis, termasuk partai-partai politik lain yang tergabung dalam koalisi pemerintah, menyatakan menolak usulan itu. Gelombang aksi demonstrasi mahasiswa menolak wacana itu lantas bergulir di beberapa wilayah di Indonesia pada 11 April 2022 dan 21 April 2022.
Baca juga: Jajak Pendapat ”Kompas”: Publik Berharap Pemilu Tetap Digelar 2024
Tentu sumbu persoalan bukan terletak kepada jumlah aksi, melainkan soal kualitas persoalan yang terus berkembang setelah wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden disodorkan ke ruang publik kita. Kita harus mengakui dengan sepenuh kejujuran bahwa bermain dengan narasi polemis seperti itu sebetulnya melampaui urusan pemilu.
Mereka yang merindukan wacana itu selain punya ambisi kepentingan politik, juga diam-diam ingin mengubah konstitusi dan menolak sistem pemerintahan demokrasi kita, seraya ingin menghidupkan kembali rezim otoriter Orde Baru. Maka, perjuangan kita bukan hanya menolak usulan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, tetapi bagaimana membuat wacana itu mustahil (unthinkable).
Untuk itu, sejumlah hal ini perlu didiskusikan: makna dasar demokrasi; makna wacana dalam alam demokrasi; makna Indonesia sebagai res publica serta bagaimana kaitan ketiganya dalam membangun demokrasi yang politis.
Demokrasi
Demokrasi mengandung dalil etis: ”dari, oleh, dan untuk rakyat”. Makna dasar kredo itu menunjuk dua nilai: nilai intrinsik dan nilai instrumental demokrasi.
Nilai intrinsik demokrasi melekat dengan etimologinya dalam bahasa Yunani, démokratía (demos: rakyat, kratos: kekuasaan, perintah). Denotasi demokrasi mengandung dalil bahwa rakyatlah yang berkuasa. Itu artinya, alam demokrasi mengemban nilai bahwa sentrum politik adalah warga negara. Status ontologi warga negara ini menduduki posisi sentral dalam keseluruhan makna intrinsik demokrasi. Yaitu, bahwa bahan dasar negara adalah warga negara dan ciri khas warga negara adalah kehendak bebasnya.
Lebih lanjut, nilai instrumental demokrasi selalu berkaitan dengan makna teleologisnya: menciptakan kemaslahatan bersama. Artinya, makna instrumental demokrasi menunjuk baik-buruknya demokrasi dinilai berdasarkan pencapaian nilai lain di luar nilai intrinsiknya. Utilitas demokrasi tidak diukur berdasarkan diktum etisnya, tetapi lewat kenyataan teknis dalam kondisi empiris sosiologis kita.
Nilai instrumental demokrasi selalu berkaitan dengan makna teologisnya: menciptakan kemaslahatan bersama.
Di Indonesia, paham demokrasi Pancasila yang kita anut sesungguhnya diturunkan dari konsep kunci tersebut. Sebagai nilai intrinsik, paham demokrasi Pancasila mengandung dalil etis bahwa prinsip kemanusiaan mesti dijunjung tinggi. Ideal moral ini selain diatur dalam konstitusi, yaitu UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, juga dirumuskan secara ketat dalam doktrin Pancasila kita: ketuhanan, kebangsaan, perikemanusiaan, kesejahteraan, dan demokrasi.
Sebagai nilai instrumental, paham demokrasi Pancasila mengacu kepada fungsi, peran, dan relevansi dari nilai-nilai ideal demokrasi dalam praksis politik keseharian kita. Ini menuntut tanggung jawab struktural-institusional kekuasaan kita, baik di level nasional maupun lokal.
Pada tataran praktikal, ideal demokrasi mesti menjadi panduan normatif bagi setiap keputusan publik. Di sini, meminjam istilah filosof klasik Yunani, Platon (428-348 SM), seorang pemimpin publik haruslah ber-keutamaan (virtues), yaitu pemimpin selain memiliki kecerdasan saintis, juga punya kacakapan etis dan ketajaman refleksi untuk mengelolah ”Indonesia” sebagai tujuan bersama.
Baca juga: Demokrasi Pancasila
Itu berarti, seorang pemimpin publik, seperti kata Rousseau (1712-1778), mestinya memiliki ”iktikad murni”. Ia tidak mencampurkan kepentingan bangsa dengan kepentingan egois sempit individual atau kelompok. Karena itu ideal demokrasi, senantiasa membutuhkan aktor politik dengan kedalaman refleksi, keluasan intelektual, dan kepekaan etis dalam melihat dan mendekati berbagai persoalan yang punya dampak pada pembentukan dan perusakan ”Indonesia”.
Wacana di ruang publik
Pluralitas wacana dalam ruang demokrasi mengaktifkan politik. Tanpa perbedaan wacana yang diarahkan bagi visi kemaslahatan bersama, tidak ada politik. Itu artinya, pluralitas pandangan di ruang publik merupakan ciri fundamental demokrasi.
Embrio demokrasi modern, dengan corak politik perwakilannya memang lahir dari rahim kebebasan dan kondisi pluralitas pandangan itu. Karena itu, demokrasi modern tidak mendogmatisasi dirinya dan cenderung menolak watak infalibilitas politik monarki absolut.
Konteks politik Eropa pada abad ke-18 ditandai dengan menguatnya kekuasan raja menjadi otoritas absolut itu. Melawan kekuasaan mutlak itulah, dikembangkan hak-hak berkebebasan untuk memproteksi warga negara dari kesewenang-wenangan otoritas negara. Kendati demokrasi bukan ideal terbaik bagi legitimasi tatanan politik, ia yang termungkin karena mengungkapkan apa yang khas manusia: kehendak bebas dan kesetaraan hak asasi.
Tanpa perbedaan wacana yang diarahkan bagi visi kemaslahatan bersama, tidak ada politik.
Di Indonesia, peristiwa Reformasi merupakan perjuangan mengembalikan demokrasi ke posisi ontologi itu. Seperti Revolusi Prancis dipicu oleh kecemasan akan kemutlakan otoritas kekuasaan, Reformasi adalah kesadaran etis warga untuk menyingkirkan watak absolutis Orde Baru. Tujuannya: mencegah kesewenang-wenangan otoritas negara, membatasi masa jabatan pimpinan, serta mengembalikan kedaulatan negara ke tangan rakyat.
Karena itu, dalam demokrasi perlu ada oposisi, baik parlemen, ormas, maupun partai politik, untuk mengontrol serta menyuarakan kepentingan rakyat. Sayangnya, dalil ideal itu kerap berbenturan dengan intensi, motif, dan ambisi pragmatis kita. Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan adalah contoh wacana polemis. Wacana itu tak hanya cacat moral, inkonstitusional, juga mematikan demokrasi sebagai sistem politik yang menjunjung tinggi dinamika sirkulasi elite politik dan perubahan susunan kekuasaan secara sistemik.
Baca juga: Kritik dan Demokrasi
Untuk itu, omongan di ruang publik perlu memperhatikan tiga hal ini. Pertama, pembicaraan kita di ruang publik mesti dipahami sebagai momen penguatan dan perbaikan demokrasi. Kedua, pembicaraan itu harus mengalir dari motif etis sembari mengutamakan kebenaran yang bisa divalidasi dan dipertanggungjawabkan. Ketiga, pembicaraan kita mesti berciri estetis, santun, dan elok.
Itu berarti, wacana kita harus berkualitas, bernilai edukatif, dan mesti menghasilkan bahasa yang komunikatif. Tanpa motif moral dengan validitas kebenaran yang sahih, pembicaraan kita selain defisit substansi, juga berpotensi memicu demagogi publik.
Indonesia sebagai ”res publica”
Indonesia sebagai res publica adalah realitas yang politis. Ia mengelola perbedaan kepentingan dan pluralitas pandangan demi pembentukan kehidupan bersama. Artinya, Indonesia adalah tatanan yang per se inklusif, ia membuka dirinya untuk dikoreksi dan diinterupsi bersama-sama bagi visi etis bonum commune.
Karena itu, realitas yang politis, bukan sekadar realitas pertarungan kepentingan teknis, melainkan sebuah imperatif etis di dalam upaya mewujudkan kemaslahatan publik. Konflik kepentingan dalam berpolitik bukan pertama-tama soal kompetisi kesempitan ago atau aksi penaklukan satu pihak kepada pihak lain, melainkan hasil percakapan etis yang mengutamakan kepentingan humanitas dan komunitas.
Jadi, Indonesia sebagai realitas yang politis bukan problem antagonisme dalam arti sempit, melainkan sebagai tanggung jawab etis bersama untuk merawat kehidupan bersama yang kita sebut ”Nusantara”.
Realitas yang politis, bukan sekadar realitas pertarungan kepentingan teknis, melainkan sebuah imperatif etis di dalam upaya mewujudkan kemaslahatan publik.
Visi bersama
Agenda bersama republik ini adalah mencapai kemakmuran, demokrasi, keadilan, dan kesetaraan hak-hak asasi manusia. Dalam perpektif demokrasi, probabilitas agenda itu diharapkan menjadi kepastian apabila diproyeksikan sebagai visi kerja sama.
Pertama, pembangunan Indonesia sebagai aksi memanusiakan manusia. Artinya, negara bertanggung jawab menciptakan kemakmuran, keadilan, demokrasi, dan perdamaian dengan tujuan menciptakan bonum commune. Maka, kerangka acuan politik pembangunan kita haruslah pembangunan dari bawah, yakni segala keputusan dan kebijakan wakil rakyat di Senayan harus bertujuan memberdayakan masyarakat Nusantara untuk mampu mendefinisikan diri mereka sendiri.
Karena itu, berikutnya warga negara dan pemerintah mesti sekehendak dalam upaya perbaikan dan pembangunan Indonesia. Mereka yang duduk di Istana perlu menghindari jebakan kebijakan yang mengobyekkan masyarakat, sebagaimana juga kepentingan warga tidak boleh menjegal langkah etis negara. Prinsip etis yang melatari kesamaan kehendak itu pertama-tama untuk memajukan Indonesia secara integral dan manusiawi.
Baca juga: Menyehatkan Demokrasi
Ketiga, mengelolah konflik kepentingan dan pluralitas pandangan. Negara punya tugas untuk mengelolah perbedaan kepentingan demi kemaslahatan bersama. Karena itu, setiap orang yang berkompetisi untuk meraih kekuasaan, ia sekaligus harus taat konstitusi negara dan bersikap demokratis. Politik libido yang inkonstitusional dan anti ideologi negara harus ditanggalkan. Tugas berat memajukan Indonesia itu hanya dapat ditunaikan kalau kita berani melucuti egoisme kita, mencari dialog, dan kerja sama secara berdaya guna.
Itu berarti, kegemaran kita untuk berwacana di ruang publik, kendati dijamin oleh konstitusi dan alam demokrasi kita, ia harus timbul dari kesadaran etis yang berdampak pada visi pembentukan dan perbaikan Indonesia.
A Jefrino Fahik, Magister Sosiologi Universitas Indonesia; Alumnus STF Driyarkara, Jakarta