Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, telah dijadikan kiblat Indonesia dalam konteks keberagamaan bangsa. Ironisnya, modernisasi Islam di Arab Saudi tidak dijadikan kiblat Indonesia.
Oleh
ADJIE SURADJI
·5 menit baca
”The most fanatical and cruelest political struggles are those that have been colored, inspired, and legitimized by religion. Perjuangan politik yang paling fanatik dan paling kejam adalah yang diwarnai, diilhami, dan dilegitimasi oleh agama.” (Adam Hamilton; Christianity and the World Religion, 2018).
Pendapat Adam Hamilton bahwa agama sebagai sumber malapetaka paling kejam dalam sejarah manusia mungkin terlalu berlebihan. Namun jika mengacu kepada survei akademis yang lain, yaitu hasil penelitian Hans Kung, Presiden ”Stiftung Weltethos” (A Global Ethic for Global Politics and Economics, 1998), dan Karen Armstrong (The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam, 2000), maka stigmatisasi agama sebagai sumber malapetaka paling kejam dalam sejarah manusia merupakan kebenaran yang tak terbantahkan.
Benang merah yang bisa ditarik dari perang antara Yaman versus (koalisi) Arab Saudi, aksi terorisme di Afrika (Nigeria, Chad, Mali, Niger, Burkina Faso, Ghana, Pantai Gading, hingga Togo) dan gerakan radikalisme di Indonesia (aksi bela agama, bela Tuhan, isu penistaan agama), semua itu melibatkan umat beragama (Islam).
Stigmatisasi agama sebagai sumber malapetaka paling kejam dalam sejarah manusia merupakan kebenaran yang tak terbantahkan.
Butuh pengakuan secara jujur
Semestinya ada pengakuan secara jujur bahwa agama memang menjadi elemen signifikan dalam menciptakan berbagai bentuk kekerasan, kekejaman, dan kebiadaban, baik dalam level domestik maupun global (terorisme) konflik politik dan tekanan sosial secara kolektif di berbagai belahan dunia.
Investigasi ACLED (Armed Conflict Location and Event Data Project) mencatat daftar konflik bersenjata global yang sedang berlangsung (2021-2022), yaitu dari 61 negara yang berkonflik, 37 negara di antaranya (60 persen) adalah konflik yang melibatkan umat beragama (berbasis agama).
Mark Juergensmeyer, dalam bukunya yang berjudul Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (2017), secara gamblang dan lengkap mendokumentasikan data konflik atau terorisme global, kekerasan dan tekanan sosial yang diwarnai, diinspirasi, dan dilegitimasi oleh agama.
Diakui atau tidak, dan disadari atau tidak, realitasnya agama bisa menjadi mesin pembunuh yang mematikan atau media perusak yang kejam dan efektif. Ada banyak teks/tulisan, dalam ajaran (ayat-ayat), doktrin, diskursus, slogan, jargon, dan simbol-simbol agama yang cenderung mengilhami, mendorong, menggerakkan, dan memotivasi para penganutnya yang hiperfanatik untuk melakukan berbagai tindakan kejahatan kemanusiaan secara biadab dan brutal.
Terlepas dari apa pun alasannya, perang Yaman versus (koalisi) Arab Saudi yang diklaim bukan disebabkan oleh agama, namun perang yang telah berlangsung selama tujuh tahun dan menewaskan 377.000 orang tersebut tergolong konflik intrareligius (intra religious conflict)atau perang antarpenganut agama yang sama (Islam).
Hal serupa juga terjadi pada krisis politik di Suriah, Afghanistan, dan Afrika, di mana dalam melakukan kekerasan setiap faksi yang bermusuhan saling memekikkan ayat-ayat, melafalkan dalil-dalil, hingga mengibarkan bendera agama yang sama. Setiap kelompok menganggap pahamnya paling benar, sedangkan yang lain salah (kafir), dan mereka sama-sama mengeksploitasi ajaran dan simbol agama sebagai legitimasi teologis dalam konflik intrareligius tersebut.
Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, telah dijadikan kiblat Indonesia dalam konteks keberagamaan bangsa. Seiring dengan reformasi ekonomi lewat program ”Visi Saudi 2030”, wajah baru Arab Saudi telah menjadikan agama (Islam) semakin moderat, terbuka bagi dunia dan bagi agama apa pun.
Visi Saudi 2030 akan merealisasikan Rencana Transformasi Nasional yang ditargetkan mampu melepaskan ketergantungan minyak dengan melakukan diversifikasi ekonomi serta mengembangkan sektor layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata.
Program strategis ini selain bertujuan mendiversifikasikan ekonominya agar lebih fokus kepada energi terbarukan, juga untuk mengembangkan zona ekonomi baru di pesisir Laut Merah. Tujuannya adalah menciptakan kawasan bebas (rekreasi dan pariwisata) layaknya Bali (Indonesia) dan Dubai di Uni Emirat Arab.
Target lain visi Saudi 2030 adalah menjadikan Arab Saudi masuk dalam daftar 15 negara terkaya dunia (saat ini di peringkat ke-19 negara terkaya dunia). Berbagai bentuk reformasi Arab Saudi, termasuk kebijakan mengelola setiap aspek potensi negara, menggalakkan pemberantasan korupsi, dan memberi kebebasan pada kaum perempuan (bekerja, menyetir mobil, menonton bioskop, hingga melihat pertandingan sepak bola). Tak hanya itu, Arab Saudi yang dilabeli sebagai negara (Islam) konservatif ini akan mengubah stigmanya lewat kebijakan kontroversial, termasuk mengendalikan kelompok (Islam) Salafi-Wahabi.
Arab Saudi sadar, jika (sistem politik) negaranya didominasi dan dikendalikan oleh kelompok (Islam) Salafi-Wahabi, tak hanya mengakibatkan set-back atau tertinggal dari negara tetangganya, seperti Kuwait, Qatar, UEA, dan Bahrain yang telah terlebih dahulu membuka diri. Namun juga akan terus dilanda kegaduhan politik.
Perubahan besar Arab Saudi menjadi negara bebas dan terbuka layaknya negara-negara Barat membuat para ulama (Salafi-Wahabi) melakukan protes lewat mimbar-mimbar agama. Namun, demi merealisasikan tujuan nasionalnya, pemerintah Kerajaan Arab Saudi menyerang balik lewat pembungkaman disertai penangkapan terhadap para ulama yang mengkritisi kebijakan Kerajaan.
Perubahan besar Arab Saudi menjadi negara bebas dan terbuka layaknya negara-negara Barat membuat para ulama (Salafi-Wahabi) melakukan protes lewat mimbar-mimbar agama.
Beberapa ulama yang ditangkap oleh Kerajaan Saudi, yaitu Syeikh Saudal-Funaisan (guru besar Fakultas Syari’ah Universitas Riyadh), Syeikh Abdullah Basfar (guru besar pada jurusan Syari’ah dan Studi Islam Universitas King Abdul Aziz, Jeddah), dan Syeikh Saleh al-Tabib yang berceramah mengkritik kebijakan Kerajaan. Selain nama-nama ”besar” tersebut, masih banyak nama ulama Salafi-Wahabi yang telah dijebloskan ke penjara.
Ironisnya, modernisasi Islam di Arab Saudi, termasuk pembungkaman suara para ulama (Salafi-Wahabi), tak dijadikan kiblat Indonesia. Negara dengan populasi Muslim terbesar (237,53 juta jiwa/2021) dan dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia (”The Global God Divide”, Pew Research Center; 2020), justru cenderung memberikan kebebasan kepada ulama (Salafi-Wahabi) untuk mempropagandakan konsep pemerintahan yang tunggal atau sistem kekhilafahan.
Pertanyaan rasional; apakah langkah strategis modernisasi Islam di Arab Saudi akan dijadikan peluang Indonesia untuk mempertahankan Islam konservatif? Atau ada ambisi menjadikan ”Indonesia” sebagai kiblat baru Islam dunia?
Konservatisme Islam telah melahirkan gerakan radikal (terorisme dan tekanan sosial), yang menjadi hantu mengerikan bagi kehidupan sosial (masyarakat) Indonesia. Ujaran kebencian, diskriminasi, dan aksi gerakan masa jalanan yang mengusung slogan ”bela agama, bela Tuhan dan isu-isu penistaan agama” berpotensi memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa. Tak hanya itu, propaganda sistem kekhilafahan juga berdampak buruk kepada heterogenitas yang semakin menjauhkan nilai-nilai keadilan bagi kelompok minoritas.
Seperti disampaikan David Curry, Presiden/CEO Open Doors Amerika Serikat, dalam kata pengantar laporan tahunan “World Watch List 2021”, bahwa ketidakadilan terhadap kelompok minoritas di Indonesia lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kelompok mayoritas (Islam) demi memperoleh dukungan politik.
Frasa ”Justice belongs only to God, and (justice) it is obtained, not asked for!—Keadilan hanya milik Tuhan, dan (keadilan) itu diperoleh, bukan diminta!” Adalah, benar!
Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan