Karut-marut pengelolaan minyak goreng dan perkebunan kelapa sawit seharusnya tak perlu terjadi lagi di usia 111 tahun perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perlu tata kelola yang baik di bidang teknoagroindustri sawit.
Oleh
POSMAN SIBUEA
·6 menit baca
Larangan ekspor bahan baku minyak goreng sawit dan minyak goreng yang mulai berlaku 28 April 2022 telah dimaknai berbeda di tengah masyarakat. Petani kelapa sawit harus menelan pil pahit menjelang Lebaran tahun ini karena harga tandan buah segar (TBS) terjun bebas sekitar Rp 1.500 per kilogram (kg) dari sebelumnya sudah di atas harga Rp 3.000 per kg.
Persoalan mahalnya harga minyak goreng sawit yang hingga kini belum juga tuntas, kendati pemerintah sudah menerapkan sejumlah kebijakan, telah berdampak kepada kehidupan petani sawit di Tanah Air. Kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bahan baku minyak goreng atau refined, bleached, deodorized palm olein (RBDPO) disalahartikan oleh pemilik pabrik kelapa sawit menjadi pelarangan ekpor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil, CPO). Hal ini telah berdampak pada turunnya harga TBS secara signifikan satu hari setelah pengumuman yang langsung disampaikan oleh Presiden Joko Widodo.
Kebijakan pamungkas ini sesungguhnya bertujuan mulia, yaitu untuk menurunkan harga minyak goreng sawit menjadi Rp 14.000 per liter. Namun, secara implisit kebijakan ini memberi sinyal bahwa pemerintah tengah mengalami kepanikan mengatasi liarnya harga minyak goreng sawit.
Apa yang terjadi di negeri ini sungguh suatu ironi! Dengan luas perkebunan kelapa sawit mendekati 15 juta hektar dan produksi CPO sekitar 47 juta ton, kita belum bijak mengelolanya untuk kemaslahatan masyarakat. Pasalnya, untuk mendapatkan 1-2 kg minyak goreng sawit dengan harga terjangkau, sebagian masyarakat harus antre berjam-jam. Lantas pertanyaannya, mengapa kelangkaan ini bisa terjadi?
Belum berdaulat
Kelangkaan minyak goreng sawit dengan harga terjangkau menandakan pemerintah lambat bergerak mengambil solusi tegas tanpa merugikan petani kelapa sawit yang berlahan kecil. Kasus minyak goreng sawit adalah suatu ironi dikaitkan dengan posisi Indonesia sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia, tetapi Indonesia belum berdaulat di dalam negeri sendiri.
Kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng yang berlarut-larut sejak akhir tahun lalu telah memicu keresahan sosial tidak hanya di masyarakat konsumen, tetapi juga di tengah petani sawit yang jumlahnya sekitar 3 juta keluarga dan memiliki luas perkebunan sawit mencapai 6,0 juta hektar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2018), sumbangan devisa dari hasil ekspor CPO mencapai 17,9 miliar dollar AS atau setara Rp 250 triliun. Nilai tersebut hanya kalah dari ekspor batubara yang mencapai 20,63 miliar dollar AS.
Kelangkaan minyak goreng sawit dengan harga terjangkau menandakan pemerintah lambat bergerak mengambil solusi tegas tanpa merugikan petani kelapa sawit yang berlahan kecil.
Sayangnya, rakyat yang konon pemilik perkebunan kelapa sawit terluas di Tanah Air harus mengalami krisis ketersediaan minyak goreng sawit. Tak hanya mahal, minyak goreng sawit selama beberapa bulan juga menghilang dari pasaran. Langkah operasi pasar terkesan setengah hati, seperti memukul angin alias tidak memberi efek signifikan. Pemerintah juga tampak tidak berdaya menghadapi penimbun dan para mafioso minyak goreng sawit.
Jika ditilik ke belakang kembali, dalam sejarah perkembangannya, perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak berjalan mulus. Bagi negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat yang mengembangkan tanaman kedelai sebagai sumber minyak nabati, tanaman kelapa sawit dianggap saingan berat. Masyarakatnya pun kerap membuat kampanye hitam dengan tuduhan minyak sawit pemicu penyakit jantung.
Minyak tropis yang kaya asam lemak jenuh ini digambarkan sebagai bom waktu yang bisa mencederai kesehatan orang yang mengonsumsinya. Belakangan terbukti secara ilmiah kandungan asam lemak jenuh yang berimbang jumlahnya dengan asam lemak tidak jenuh pada minyak sawit menempatkannya lebih tahan terhadap kerusakan oksidatif dibandingkan minyak sayur, seperti minyak kedelai, jagung, kanola, dan minyak bunga matahari.
Hal yang menjadi masalah setelah 111 tahun usia perkebunan kelapa sawit di Indonesia, peran pemerintah untuk pengembangan perkelapasawitan nasional berkelanjutan sering dipertanyakan masyarakat. Pasalnya, perkebunan BUMN berbasis kelapa sawit terkesan tiarap dalam masalah mengatasi kisruh minyak goreng sawit di Tanah Air. Para petingginya belum menunjukkan kinerja yang maksimal untuk mengurai benang kusut kelangkaan minyak goreng sawit.
Di sisi lain, pemerintah seharusnya menyalurkan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) selain untuk menyubsidi harga minyak goreng sawit juga membantu melakukan peremajaan sawit rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan. Membangun teknoagroindusti perkelapasawitan dari hulu ke hilir yang berdaya saing tinggi tentu membutuhkan kehadiran para petani sawit rakyat yang mumpuni.
Karut-marut pengelolaan minyak goreng sawit ini sesungguhnya tidak perlu terjadi lagi di usia 111 tahun perkebunan kelapa sawit di Indoesia. Usaha perkebunan kelapa sawit yang dimulai sejak 1911 dan dirintis oleh Adrien Hallet, seorang warga negara Belgia, tidak membayangkan tragedi praktik mafia minyak goreng di negeri sawit ini. Sebab, Indonesia untuk pertama kali mengekspor minyak sawit mentah sebanyak 576 ton pada 1919 dan minyak inti sawit sebesar 850 ton pada 1923. Itu artinya masyarakat Indonesia sudah sarat pengalamam di bidang perkelapasawitan (Sibuea, 2014 dalam buku Minyak Kelapa Sawit).
Sayangnya, bangsa kita kurang mau belajar dari pengalamam sebagai guru terbaik. Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang sesungguhnya diarahkan untuk menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan petani, dan penghela devisa negara masih kerap tersendat. Tata kelolanya belum secara totalitas berpihak kepada petani ”rakyat” sawit. Meski Presiden Joko Widodo sudah seringkali memerintahkan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng domestik dan harganya harus tetap terjangkau,
Catatan sejarah
Pesatnya perkembangan teknoagroindustri perkelapasawitan nasional telah menghantarkan Indonesia pengekspor CPO terbesar di dunia. Komersialisasi kelapa sawit berkembang ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang masif karena dipicu oleh tingginya permintaan pasar global. CPO sangat dibutuhkan untuk keperluan produk pangan dan nonpangan, seperti aneka produk kosmetik, biodiesel, dan oleokimia. Namun, ekspansi ini telah mengakibatkan tuduhan kerusakan hutan dan hilangnya keanekaragaman hayati di dalamnya.
Di sisi lain pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Tanah Air bahkan kerap dituduh melakukan praktik kuli kontrak dalam bentuk baru, yaitu buruh harian lepas (BHL). Pekerja pengumpul berondolan—buah sawit yang lepas dari tandannya—belum diatur ikatan kerja yang berpihak kepada BHL. Mereka belum memperoleh jaminan sosial sebagai pekerja meski kontribusi mereka sangat besar dalam mendulang keuntungan yang dinikmati pemilik modal. Beragam persoalan ini patut dilihat sebagai peluang baru untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit di usianya yang sudah lebih satu abad.
Beragam persoalan ini patut dilihat sebagai peluang baru untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit di usianya yang sudah lebih satu abad.
Dari perspektif kesejahteraan, ekspansi perkebunan kelapa sawit yang begitu masif belakangan ini seharusnya mampu memberi kemudahan bagi petani memperoleh pupuk bersubsidi, bibit unggul, dan peremajaan sawit. Hal sebaliknya justru dialami pemilik modal besar di perkebunan kelapa sawit.
Bisnis minyak nabati yang satu ini mampu mengatrol kekayaan sejumlah orang terkaya di Indonesia. Sekadar mengingatkan, majalah Forbes dalam satu edisinya beberapa tahun lampau menyebutkan, total harta dari 40 orang terkaya di Indonesia naik dari 42 miliar dollar AS menjadi 71 miliar dollar AS dalam kurun waktu satu tahun. Namun, kelimpahan kekayaan yang didulang dari bisnis kelapa sawit ini tidak serta-merta mempermudah wong cilik memperoleh minyak goreng sawit khususnya pelaku bisnis UMKM di bidang pangan lokal.
Meski angka kemiskinan saat ini menurun 1,05 juta jiwa dibandingkan bulan September 2020, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar, yakni sekitar 27,54 juta jiwa atau 10,14 persen (BPS, 2021). Menurunkan angka kemiskinan menjadi 5,07 persen pada 2030 sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs 30) untuk Indonesia menjadi sebuah keniscayaan jika pemerintah semakin bijak mengelola sumber daya pertanian khususnya sawit.
Tata kelola yang baik di bidang teknoagroindustri perkelapasawitan patut dijadikan sebagai catatan sejarah yang dituliskan dengan tinta emas di akhir periode pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Kisruh minyak goreng sawit berkepanjangan merupakan gambaran ketidakkehadiran negara secara baik di tengah permainan licik para mafia pangan.
Posman Sibuea, Guru Besar Ilmu Pangan di Prodi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan; Pengurus Pusat Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI); Anggota Pokja Ahli Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI.