Dalam dugaan kasus korupsi ekspor CPO telah disebutkan keterlibatan individu tertentu sebagai tersangka yang menduduki jabatan strategis dalam korporasi. Karena itu, penegak hukum juga harus mengusut korporasi.
Oleh
REZA SYAWAWI
·4 menit baca
Banalitas kejahatan (banality of evil) yang digambarkan Hannah Arendt (1963) menunjukkan makna yang kontras tentang sebuah kejahatan, suatu perbuatan yang seharusnya buruk, tetapi dalam kenyataannya dinilai sebagai sesuatu yang normal. Hal yang sama mungkin bisa terlihat dari semakin maraknya korupsi yang melibatkan korporasi, tetapi dalam kenyataannya hanya menyasar kepada pelaku individu. Sementara korporasi sebagai tempat bernaung pelaku individu seolah dibebaskan dari tanggung jawab hukum.
Salah satu contoh yang paling mengemuka adalah dugaan kasus korupsi persetujuan izin ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang melibatkan pejabat publik dan individu dari korporasi tertentu. Dalam kasus ini ada tiga perusahaan yang disebut dan telah ada penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung, Selasa (19/4/2022).
Pada satu sisi kinerja Kejaksaan Agung tentu perlu diapresiasi sebagai bentuk respons atas terjadinya kelangkaan bahan pangan (minyak goreng) bagi publik. Namun, di sisi yang lain tetap diperlukan tindakan hukum yang progresif untuk menyeret aktor korporasi sebagai pelaku kejahatan.
Dalam perkembangannya, Kejaksaan Agung juga menimbang untuk menerapkan pemberatan hukuman disebabkan perbuatan dilakukan dalam masa pandemi Covid-19 (Kompas, 23/4). Namun, alangkah eloknya jika pemberatan itu juga dimaksudkan untuk meminta pertanggungjawaban hukum kepada korporasi.
Korupsi korporasi
Secara hukum, setidaknya ada dua undang-undang yang memasukkan korporasi sebagai subyek tindak pidana, yakni Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU). Pasal 1 Angka 3 UU Tipikor sangat jelas mendefinisikan bahwa ”setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi”.
Norma yang sama juga diatur didalam Pasal 1 angka 9 UU PPTPPU. Bahkan secara lebih luas kedua undang-undang tersebut mendefinisikan korporasi secara lebih luas tidak hanya korporasi yang berbadan hukum, tetapi juga termasuk korporasi yang tidak berbadan hukum.
Politik hukum pemidanaan terhadap korporasi di Indonesia seperti mengalami disorientasi.
Politik hukum pemidanaan terhadap korporasi di Indonesia seperti mengalami disorientasi. Sebab, pada satu sisi pelaku (individu) korupsi yang paling dominan berasal dari sektor swasta, tetapi upaya pemidanaan terhadap korporasi sangat sulit dilakukan. Secara hukum memang ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi ketika suatu korporasi, yakni jika ”tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama” (Pasal 20 ayat 2 UU Tipikor).
Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia menganut teori vicarious liability, bahwa tindakan individu tersebut memiliki hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkungan korporasi, maka mens rea (kesalahan) individu tersebut dapat diatribusikan menjadi mens rea korporasi selama dilakukan untuk kepentingan korporasi (Lakso Anindito, ACCH KPK).
Dalam dugaan kasus korupsi ekspor CPO telah disebutkan keterlibatan individu tertentu sebagai tersangka yang menduduki jabatan strategis dalam korporasi. Artinya unsur ”hubungan kerja dalam lingkungan korporasi” telah terpenuhi. Maka, yang berikutnya adalah bagaimana membuktikan bahwa tindakan individu tersebut apakah menguntungkan korporasi atau tidak.
Ini menjadi tantangan besar. Sebab, jika melihat kinerja penindakan tindak pidana korupsi oleh penegak hukum selama tahun 2021 yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), hanya berada diangka 24 persen. Secara khusus, bagi Kejaksaan Agung, tantangan ini agaknya patut dikhawatirkan karena minimnya pengembangan kasus yang dilakukan untuk mengejar aktor lain yang terlibat dalam kasus korupsi (ICW, April 2022).
Kerugian publik
Kejahatan korporasi (corporate crime) seharusnya menjadi perhatian serius bagi penegak hukum karena dampaknya pasti jauh lebih besar ketimbang tindak pidana yang dilakukan hanya oleh individu. Apalagi tindak pidana tersebut dilakukan berkaitan dengan penyediaan kebutuhan pokok bagi publik.
Sebagaimana halnya dalam kejahatan lingkungan, terjadi kerusakan alam dan terancamnya ekosistem lingkungan hidup, kerugiannya sudah pasti bersifat massal sehingga publik merasa tidak puas jika hanya pemimpin korporasi yang dipidana. Sebab, terjadinya perbuatan tersebut sudah pasti menggunakan sumber daya korporasi sehingga korporasi sudah pasti mendapatkan manfaat secara finansial ataupun non-finansial (Sutan Remy Syahdeni, 2017).
Oleh karena itu, Kejaksaan Agung seharusnya juga mempertimbangkan aspek kerugian publik dari aspek ekonomi yang begitu besar akibat kelangkaan minyak goreng. Jika mengutip laporan Institut for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) melalui dataindonesia.id, kerugian ekonomi akibat naiknya harga minyak goreng mencapai Rp 3,38 triliun. Oleh karena itu, jika hanya mengusut dugaan korupsi atas nama individu, sudah pasti tidak akan sebanding dengan kerugian yang telah ditimbulkan.
Pertanyaannya, siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kerugian ekonomi tersebut? Jawabannya sudah pasti harus menjadi tanggung jawab korporasi. Publik tentu masih berharap kepada penegak hukum untuk tidak berhenti pada aktor tertentu saja, tetapi bagaimana mengusut korporasi sebagai pelaku.
Reza Syawawi, Peneliti di Transparency International Indonesia.