Investasi aset digital di Indonesia telah salah arah. Seperti halnya orang mengoleksi lukisan sebagai aset fisik, aset digital memiliki nilai investasi jangka panjang, bukan untuk mencari keuntungan jangka pendek.
Oleh
KRISTIANUS JIMY PRATAMA
·4 menit baca
Setelah Mark Zuckerberg mengganti nama perusahaannya yang semula Facebook menjadi Meta pada 28 Oktober 2021, istilah metaverse kemudian semakin diperbincangkan. Metaverse secara sederhana merupakan sebuah dunia digital yang lahir dari penggabungan teknologi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) secara terpadu. Dalam metaverse, seseorang dapat hidup layaknya seperti yang dilakukannya pada dunia fisik seperti melakukan kegiatan jual beli dengan mengandalkan eksistensi aset digital (digital assets).
Berbicara mengenai aset digital tersebut, penggunaan dari aset digital oleh masyarakat Indonesia dewasa ini layaknya seperti dua sisi mata uang. Hal ini dikarenakan pemanfaatan aset digital yang semula ditujukan untuk komoditas sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 huruf (f) Peraturan Bappebti Nomor 3 Tahun 2019, justru bergeser menjadi salah satu bentuk alat investasi.
Tentu kita belum lepas dari ingatan, tindakan pidana beberapa afiliator aset kripto yang merugikan masyarakat dengan menggunakan dalil bahwa aset kripto adalah salah satu alat investasi yang menguntungkan. Mengingat besarnya jumlah masyarakat yang dirugikan dan besaran kerugian itu sendiri, saya jadi bertanya-tanya apakah benar aset digital seperti aset kripto tersebut memang memiliki fungsi investasi? Apabila memang memiliki fungsi investasi, apakah aset digital adalah alat investasi yang tepat untuk dimobilisasi penggunaannya?
Berangkat dari dua pertanyaan tersebut, saya mencoba melakukan kontemplasi secara mendalam dan menghasilkan suatu deduksi jelas bahwa aset digital yang bernilai ekonomis bukan alat investasi yang perlu untuk dimobilisasi, dan bahkan tidak perlu untuk menjadikannya sebagai alat untuk memperkaya diri secara instan.
Adapun pernyataan tersebut saya sandarkan dari tiga perspektif yang berbeda. Perspektif yang pertama adalah terkait dengan perspektif hukum investasi. Apabila dicermati secara saksama, ketentuan Perbappebti Nomor 3 Tahun 2019 sudah mengarahkan peruntukan aset digital sebagai komoditas teregulasi dan bukan alat investasi. Sehingga apabila hal tersebut ditafsirkan secara ekstensif, regulator sudah sejak semula tidak mengajurkan penggunaan aset digital sebagai alat investasi yang umumnya bisa tidak teregulasi.
Selain itu, saya juga menggunakan perspektif kedua dalam menilai problematika ini, yaitu dengan menggunakan perspektif teknologi terkait dengan sifat dan bentuk aset digital itu sendiri. Tidak seperti aset fisik ataupun aset fisik yang dibuatkan bentuk digitalnya, aset digital sejak semula dibentuk hanya untuk kelompok terbatas.
Ditujukan kepada kelompok terbatas maksudnya karena aset digital jumlahnya terbatas dan diproduksi untuk satu minat yang sama. Misalnya aset digital dalam bentuk non-fungible token (NFT) yang umumnya diminati oleh mereka yang menyimpan ketertarikan dengan dunia seni.
Tidak seperti aset fisik ataupun aset fisik yang dibuatkan bentuk digitalnya, aset digital sejak semula dibentuk hanya untuk kelompok terbatas.
Seperti halnya orang mengoleksi lukisan sebagai aset fisik, aset digital memang memiliki nilai investasi jangka panjang dan bukan untuk mencari keuntungan jangka pendek seperti yang coba dimobilisasi para oknum afiliator aset kripto dewasa ini. Sehingga dapat saya katakan dari segi peruntukannya, apa yang telah terjadi di Indonesia telah keluar dari jalur aset digital itu sendiri.
Selain itu dari perspektif ekonomi, aset digital tidak seperti aset fisik yang memiliki bandingan yang memadai dengan aset dasarnya (underlying asset). Sehingga dapat dikatakan aset digital bersifat otonom dan tidak dapat diperbandingkan dengan bentuk aset fisik ataupun bahkan dengan bentuk aset digital lainnya yang berbeda.
Dengan hal tersebut, penentuan nilai aset digital akan sangat subyektif bergantung pada waktu dan orang-orang yang ingin memilikinya. Oleh karena itu, aset digital memiliki risiko yang sangat tinggi untuk dijadikan sebagai alat investasi. Terlebih kita pun memahami bahwa siapa pun bisa membuat aset digital, maka siapa pun juga bisa memberikan penilaian yang berbeda terhadap nilai suatu aset digital.
Sehingga, mengacu kepada tiga perspektif tersebut, investasi aset digital di Indonesia telah salah arah dan apabila hal ini dibiasakan dan dilanjutkan, bukan tidak mungkin perkara pidana para oknum afiliator bukan menjadi perkara yang terakhir di bidang investasi digital. Namun apabila terdapat kalangan masyarakat yang masih begitu bersemangat untuk menerapkan aset digital sebagai alat investasi, saya memiliki pertanyaan untuk kita renungkan bersama.
Seberapa paham kita dengan karakteristik aset digital dan sudah seberapa siap kita menanggung risikonya? Apabila sudah siap menanggung risikonya, artinya salah arah investasi digital di Indonesia telah bertransformasi menjadi suatu gagal paham.
Kristianus Jimy Pratama, Peneliti Center for Law, Technology, RegTech and LegalTech Studies UGM; Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum UGM