Menggamit Dokter Diaspora
Pemerintah menggagas sebuah program kesehatan, yakni mengajak dokter diaspora kembali ke Indonesia. Pemerintah Indonesia melihat eksistensi mereka sebagai sebuah peluang untuk meningkatkan pembangunan kesehatan.
Pemerintah menggagas sebuah program kesehatan menarik, yakni mengajak dokter diaspora kembali ke Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memprakarsainya. Alasannya, keahlian dokter diaspora sangat dibutuhkan untuk transformasi program kesehatan di Tanah Air.
Saat ini memang ada ratusan dokter Indonesia yang berkiprah di berbagai belahan dunia; mulai dari Australia hingga Kanada. Mereka memiliki spesialisasi dan superspesialisasi yang bervariasi. Posisi mereka di sana bukan kaleng-kaleng. Sebagian telah menjadi guru besar, pejabat penting institusi, atau klinikus kesohor. Kiprah mereka diakui di negara-negara tersebut.
Pemerintah Indonesia melihat eksistensi mereka sebagai sebuah peluang untuk meningkatkan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, mereka digamit pulang. Tentu program ini ada pro dan kontranya.
Rasio dokter miris
Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, di Indonesia saat ini terdapat 102.000 dokter yang melayani 274 juta populasi. Rasionya, satu dokter melayani 2.686 penduduk. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mensyaratkan rasio 1:1.000. Artinya, Indonesia masih jauh dari rasio standar.
Dengan rasio saat ini, pada tingkat ASEAN saja Indonesia masuk tiga negara terendah. Sangat miris. Padahal, rasio di atas masih rasio dokter-populasi secara umum. Kalau mau ditelisik per spesialisasi, rasio ini akan lebih miris lagi. Misalnya, jumlah dokter spesialis jantung di negeri ini baru 600-an orang. Jadi, satu dokter jantung mesti siap melayani 457.000 penduduk.
Saat ini memang ada ratusan dokter Indonesia yang berkiprah di berbagai belahan dunia; mulai dari Australia hingga Kanada.
Ini rasio yang sangat jomplang. Apalagi, penyebaran dokter jantung tidak merata dan lebih banyak menumpuk di kota-kota besar. Di sisi lain, penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan penyakit paling dominan dan pembunuh nomor satu di negeri ini.
Dengan minimnya jumlah dokter spesialis jantung, wajar kalau figur morbiditas dan mortalitas penyakit jantung belum memuaskan. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, penyakit jantung dan pembuluh darah (termasuk stroke) masih menjadi pembunuh utama di negeri ini. Malah tingkat kematian yang ditimbulkannya saat ini meningkat 25 persen dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu. Ini dilematis.
Di negara-negara maju, satu dokter jantung hanya melayani 100.000 orang. Jauh di atas rasio di Indonesia.
Dengan kondisi miris ini, pemerintah butuh pasokan dokter dan dokter spesialis. Untuk mencapai rasio 1:1.000 saja, Indonesia butuh tambahan 173.000 dokter. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari stok dokter yang ada saat ini. Ini masih hitungan umum, belum mempertimbangkan kebutuhan per spesialisasi.
Baca juga Kisah Diaspora Indonesia dalam Pengembangan Vaksin AstraZeneca
Puluhan fakultas kedokteran di Indonesia saat ini hanya mampu mencetak 11.000 dokter per tahun. Artinya, butuh 10-15 tahun untuk mencapai rasio standar ini. Ini waktu yang sangat lama.
Oleh karena itu, pemerintah berjibaku melakukan berbagai upaya untuk menambah stok dokter. Mereka mengajak dokter diaspora ”pulang kampung”. Pemerintah juga mewacanakan untuk menggunakan dokter asing.
Program pulang kampung
Meski ajakan pulang kampung merupakan program inovatif yang baik, outcome yang akan dihasilkan masih meragukan. Banyak alasannya.
Pertama, sebagian dokter diaspora telah established di luar negeri. Banyak di antara mereka yang telah menetap di sana melebihi sepuluh tahun. Mereka telah memiliki pekerjaan dan posisi permanen dan strategis serta memiliki lumayan banyak pasien dengan tingkat penghasilan yang amat memadai.
Ada di antara mereka yang bahkan telah memiliki status tinggal permanen atau menikah dengan warga negara di sana. Mengundang mereka kembali ke Indonesia sama saja mengajak mereka meninggalkan ruang zona nyaman (comfort zone) mereka. Padahal, comfort zone ini mereka raih setelah perjuangan berat dan tak kenal lelah selama bertahun-tahun. Prosesnya tidak mudah.
Dengan fenomena ini, hanya dokter yang betul-betul memiliki komitmen dan loyalitas luar biasa yang mempan diajak pulang kampung. Apalagi, mereka tentu punya hitung-hitungan tersendiri terkait diri dan keluarga mereka. Apabila balik ke Indonesia, berapa lama mereka harus bekerja sebelum bisa established, bagaimana tingkat pendapatan, serta bagaimana adaptasi mereka dan keluarga terhadap lingkungan?
Selain dokter yang sudah established, memang ada juga dokter diaspora yang masih sementara menjalani training atau studi di luar negeri. Biasanya keberadaan mereka di sana belum terlalu lama dan usianya relatif lebih muda. Dibandingkan kelompok yang sudah established, tawaran kembali ke Indonesia mungkin lebih feasible bagi kelompok ini.
Kedua, perbedaan setting. Setting training atau bekerja di negara-negara maju tentu tidak sama dengan setting Indonesia. Tidak hanya terkait sistem, tetapi juga ketersediaan sarana dan prasarana.
Dokter diaspora terbiasa bekerja dengan alat pemeriksaan yang relatif canggih, detail, dan cepat. Perangkat ini mereka gunakan rutin saat berhadapan dengan pasien. Mereka juga didukung oleh sistem administrasi dan pembiayaan kesehatan yang adekuat serta lingkungan kondusif.
Dengan setting demikian, mereka bisa fokus menangani pasien tanpa terusik oleh tetek bengek masalah alat, pembiayaan, atau proses administrasi.
Perbedaan situasi ini membuat mereka tidak bisa bekerja seefektif dan seefisien saat mereka di luar negeri.
Ketika masuk ke Indonesia, mereka berhadapan dengan situasi yang berbeda; apalagi jika mereka bekerja di daerah. Saat mereka membutuhkan MRI atau CT scan untuk segera menegakkan diagnosis, alat yang dibutuhkan mungkin belum tersedia atau terhambat masalah pembiayaan. Perbedaan situasi ini membuat mereka tidak bisa bekerja seefektif dan seefisien saat mereka di luar negeri.
Keterampilan diagnosis dan penanganan penyakit dari seorang dokter sangat tergantung pada ketersediaan sarana dan prasarana. Performa mereka tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga alat-alat yang digunakan. Terkait hal ini, prinsip ”gun and who behind the gun” berlaku.
Ketiga, persyaratan masuk ke Indonesia, terutama sistem adaptasi, dianggap memberatkan. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (Perkonsil) Nomor 41 Tahun 2016 memuat aturan bahwa setiap dokter luar negeri yang akan berpraktik atau diakui keahliannya di Indonesia harus menjalani proses adaptasi selama 6-12 bulan bagi dokter umum dan 6-24 bulan bagi dokter spesialis.
Dalam praktiknya, lama adaptasi ini kadang molor hingga melebihi dua tahun. Dalam proses adaptasi ini, mereka diharuskan untuk mengikuti program training atau kerja klinis menyerupai program yang dijalani dokter Indonesia yang sementara menjalani training.
Setelah adaptasi, biasanya mereka harus mengikuti ujian kompetensi lagi. Keharusan menjalani adaptasi plus ujian ini berlaku universal; tidak peduli dari negara mana mereka datang dan seberapa tinggi keahlian mereka.
Sebenarnya, proses adaptasi memang merupakan tahap substansial yang perlu dilakukan saat seorang dokter berpindah teritori kerja. Sebelum berpraktik, dokter memang harus bisa beradaptasi dengan sistem dan kondisi negara yang dimasuki. Ini juga berlaku di sejumlah negara lain.
Namun, yang menjadi isu adalah durasi proses adaptasi. Dua tahun bagi dokter spesialis dianggap terlalu lama. Apalagi selama dua tahun status mereka adalah sebagai trainee dan belum boleh berpraktik mandiri. Artinya, mereka tidak punya sumber penghasilan tetap.
Padahal, di luar negeri, mereka telah menjalani training bertahun-tahun dan melewati berbagai ujian (multi-examinations) yang tidak mudah. Secara praktis dan psikologis, proses dan lama adaptasi ini tidak nyaman bagi mereka.
Baca juga Dorong Sinergitas Demi Reformasi Sistem Kesehatan Global
Memulai setting profesional dari dasar dalam waktu yang relatif lama amat tidak mengenakkan bagi dokter berpengalaman tahunan. Sebagai perbandingan, rata-rata program spesialisasi di Indonesia membutuhkan durasi empat tahun. Artinya, dokter diaspora harus menjalani adaptasi setara dengan setengah masa pendidikan spesialisasi reguler.
Permudah proses
Untuk mempercepat program transformasi kesehatan Indonesia, mengajak dokter diaspora balik ke Indonesia merupakan sebuah program yang baik. Ini bahkan jauh lebih feasible daripada mengajak dokter warga negara asing berpraktik di Indonesia. Namun, agar bisa terealisasi lebih baik, program ini mesti disesuaikan supaya lebih bisa diterima (acceptable) bagi dokter diaspora.
Hal lain, ajakan pulang kampung tentu bukan satu-satunya model kontribusi yang dokter diaspora dapat berikan untuk pembangunan kesehatan negeri ini.
Untuk membuat program pulang kampung ini lebih dapat diterima, pemerintah perlu memangkas durasi adaptasi. Dua tahun terlalu lama bagi mereka. Program adaptasi bisa dikurangi dan di-fixed-kan menjadi maksimal satu tahun saja. Selama menjalani program adaptasi, mereka perlu dibayar secara layak agar bisa menghidupi keluarganya.
Untuk membuat program pulang kampung ini lebih dapat diterima, pemerintah perlu memangkas durasi adaptasi.
Jika ada kebutuhan tenaga spesialisasi yang amat mendesak, pemerintah bahkan bisa membuat sebuah program khusus; kira-kira semacam crash-program. Dalam program khusus ini, pemerintah dan dokter diaspora bersepakat bekerja sama dengan hak dan kewajiban tertentu. Di satu sisi pemerintah memberikan kemudahan prosedur, tetapi di sisi lain dokter diaspora siap bekerja dengan pemerintah selama periode tertentu. Ini menyerupai aturan beasiswa.
Dengan program khusus ini, durasi adaptasi bahkan bisa dipangkas hingga enam bulan saja. Enam bulan ini bukan ”magic number” karena kenyataannya di beberapa negara lain durasi adaptasinya memang berkisar enam bulan.
Selama proses adaptasi ini, mereka diberi gaji yang sesuai dan apabila perlu fasilitas yang memudahkan adaptasi mereka. Apakah ini berlebihan? Tidak berlebihan. Karena di sini ada kebutuhan mendesak pemerintah akan tenaga mereka dan karena itu perlu dibuat pathway khusus. Pathway-nya harus menyesuaikan kebutuhan.
Namun, program khusus ini selayaknya tidak berlaku umum dan hanya ditujukan pada dokter yang pengetahuan dan keterampilannya memang sangat dibutuhkan (urgently needed).
Jadi, meski secara fisik mereka tidak kembali ke Indonesia, pikiran, pengetahuan, dan keterampilan mereka bisa dimanfaatkan di Indonesia.
Pemerintah juga bisa memberdayakan keahlian dokter diaspora pada scope lain dan bukan hanya terbatas mengajak mereka pulang. Mereka bisa diminta membantu merealisasikan kerja sama antara institusi dalam negeri dan luar negeri, menjadi staf pengajar jarak jauh, terlibat dalam bakti sosial bersama, visiting doctor selama periode tertentu, penelitian bersama, atau kegiatan-kegiatan lain yang bisa membantu proses transformasi kesehatan Indonesia.
Mereka juga bisa diajak berpartisipasi secara rutin dalam diskusi kasus lewat telemedicine, clinical workshop lintas negara, atau program inovatif lainnya. Pengembangan kegiatan intelektual seperti ini tampaknya lebih feasible dan acceptable daripada ajakan pulang kampung, setidaknya untuk saat ini. Jadi, meski secara fisik mereka tidak kembali ke Indonesia, pikiran, pengetahuan, dan keterampilan mereka bisa dimanfaatkan di Indonesia.
Dokter diaspora itu juga adalah anak bangsa. Mereka berkiprah di luar negeri bukan karena tidak mencintai negeri ini. Mereka punya keinginan berkontribusi membangun negeri ini. Pemerintah dapat memanfaatkan momentum ini secara bijak. Di antaranya, dengan membuat iklim pulang kampung lebih kondusif dan fair bagi mereka serta memberi kesempatan mereka berkiprah di berbagai event kesehatan dan pendidikan dalam negeri.
Iqbal MochtarKetua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah. Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Anggota PERDOKI.