Biodiesel telah menyerap pasokan CPO yang tak bisa diekspor. Alhasil, harga CPO pun tetap terjaga. Biodiesel telah banyak menghapus jejak karbon di langit Indonesia. Mirisnya, biodiesel disebut penyebab kelangkaan migor.
Oleh
MUHAMAD RAHMAT
·5 menit baca
Biodiesel adalah biang kerok kelangkaan minyak goreng. Itulah yang banyak diberitakan media. Mereka mengutip pernyataan Faisal Basri dalam blog pribadinya. Menurut dia, kelangkaan minyak goreng imbas dari program B30. B30 adalah bahan bakar campuran yang terdiri dari 30 persen bahan bakar nabati dan 70 persen solar.
Menurut Faisal, ada satu faktor terpenting yang lepas dari perhatian pemerintah dan diskusi publik, yaitu pergeseran besar konsumsi minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam negeri. Di masa lalu, pengguna CPO yang sangat dominan adalah industri pangan, termasuk minyak goreng. Namun, sejak pemerintah menerapkan kebijakan mandatori biodiesel, alokasi CPO untuk campuran solar berangsur naik.
Saya tak sepakat dengan pendapat Faisal. Pernyataan Kementerian Perdagangan sudah cukup benderang, bahwa distribusi adalah akar masalahnya. Biodiesel sudah ada sejak 2006. Dan, selama itu tak pernah jadi masalah bagi pasokan minyak goreng dalam negeri.
Produksi CPO nasional tahun 2021 mencapai hampir 47 juta ton. Dan, biodiesel hanya menyerap 7,38 juta ton. Artinya biodiesel hanya menghabiskan sekitar 16 persen. Bagaimana konsumsi yang hanya kurang dari seperlima bisa mengacaukan pasokan CPO untuk minyak goreng?
Pernyataan Kementerian Perdagangan sudah cukup benderang, bahwa distribusi adalah akar masalahnya.
Saya ingin mengajak Anda pulang ke kampung halaman saya, Ciamis. Kabupaten yang dulu bernama Galuh ini pernah menjadi produsen kelapa nomor wahid di Jawa Barat. Jejak masa kejayaannya bisa kita susuri dari penganan khasnya: galendo. Galendo merupakan produk sampingan dari proses produksi minyak kelapa.
Sisa-sisa kejayaan komoditas kelapa masih saya dapati semasa SD. Di samping sekolah ada satu pabrik kopra kecil. Hampir setiap hari asap mengepul mengeringkan daging buah kelapa menjadi kopra.
Masa-masa itu kini tinggal kenangan. Ibu saya bercerita, sekarang masyarakat lebih memilih membiarkan buah kelapanya tidak terpanen. Harganya sudah sangat rendah, bahkan nyaris tak ada harganya.
Pabrik-pabrik pengolahan kelapa di Ciamis dan di banyak kota lain di Indonesia sudah lama berhenti beroperasi. Penyebabnya, propaganda anti-minyak kelapa yang dilancarkan Amerika Serikat. Jepang, pada masa Perang Asia Timur Raya, menguasai Asia Pasifik. Pasokan minyak kelapa ke AS pun terputus. AS lalu mengembangkan sumber minyak goreng alternatif. Minyak kedelai yang paling mendapat perhatian.
Pasca-Perang Dunia II, keran minyak kelapa kembali mengaliri ”Negeri Paman Sam”. Penjualannya bahkan melampaui minyak kedelai yang mereka produksi sendiri. Saat itulah muncul hasil riset bahwa minyak kelapa dapat meningkatkan jumlah kolesterol dalam darah yang dapat menyebabkan penyakit jantung.
Temuan ini dimanfaatkan American Soy Bean Association (ASA) untuk membuat kampanye bahaya minyak kelapa. Dan, mereka pun mempromosikan minyak kedelai sebagai minyak paling sehat. Organisasi dunia, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga ikut-ikutan dengan kampanye ini.
Lebih parah lagi, Pemerintah Indonesia pada 1972 mengeluarkan beleid yang melarang ekspor kopra. Perdagangan kopra pun meluncur ke titik nadir. Padahal, sejak abad XVIII, kita eksportir terbesar kopra di dunia. Anda tahu bagaimana kisah ini berakhir? Tujuh tahun lalu, Departemen Pertanian AS mengeluarkan kolesterol dari daftar nutrisi buruk. Tak ada korelasi serius antara konsumsi makanan berkolesterol tinggi dan serangan jantung. Mereka menelan ludah sendiri.
Kita harus belajar dari pengalaman. Jangan sampai yang pernah menimpa kelapa juga terjadi pada kelapa sawit. Kampanye hitam kelapa sawit mengarah pada isu lingkungan hingga kesehatan. Terlihat familiar, bukan? Kebanyakan negara Uni Eropa menolak menggunakan CPO. Beberapa korporasi melarang minyak sawit untuk terlihat ramah lingkungan di mata konsumennya.
Beberapa dekade terakhir, produksi CPO global meningkat drastis. Sebagian besar kelapa sawit itu tumbuh di Indonesia dan Malaysia. Dua negara ini memproduksi sekitar 85 persen CPO global. Peningkatan produksi ini diiringi peningkatan kebutuhan lahan perkebunan. Beberapa di antaranya dipenuhi dengan merambah hutan.
Fakta ini membawa minyak nabati menduduki peringkat kedua deforestasi di dunia setelah daging sapi. Di 2019, kedelai dan sawit jadi kontributor terbesar minyak nabati. Minyak nabati Indonesia, yang mayoritas terdiri dari CPO, menghasilkan deforestasi 6,4 persen.
Namun, fakta lain, sawit sumber minyak nabati yang sangat produktif dibandingkan sumber minyak nabati lain. Artinya, sawit bisa menghasilkan minyak nabati yang sangat banyak dengan lahan yang lebih kecil.
Fakta ini membawa minyak nabati menduduki peringkat kedua deforestasi di dunia setelah daging sapi.
Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 2018, CPO mampu menghasilkan 36 persen minyak nabati global. CPO ini ditanam pada 8,6 persen lahan di seluruh dunia yang digunakan untuk menghasilkan minyak nabati. Bandingkan dengan kedelai yang menghasilkan 25,5 persen minyak nabati global pada 39 persen lahan yang sama.
Andai seluruh kebutuhan minyak nabati dunia hanya diproduksi dari komoditas kelapa sawit, lahan yang diperlukan hanya 76,97 juta hektar. Sementara jika dihasilkan dari kedelai, lahan yang diperlukan 486,76 juta hektar, atau lebih dari enam kali lipat lahan yang dibutuhkan untuk sawit.
Andai semua perusahaan di dunia melarang minyak sawit, dan beralih ke sumber minyak nabati lain, berapa banyak lagi lahan yang diperlukan? Dari mana kita bisa memenuhi kebutuhan lahan ini? Dari menebas hutan? Sebagian besar CPO yang diimpor Uni Eropa (UE) digunakan untuk biodiesel. Separuh CPO yang mereka impor dari Indonesia. Maka, ketika banyak negara UE memboikot sawit, Indonesia kelebihan pasokan.
Jika dibiarkan, harga sawit bisa anjlok. Jangan lupa, luas perkebunan sawit rakyat lebih dari 40 persen luas perkebunan sawit Indonesia. Merekalah yang paling rentan.
Untuk menjaga agar harga tetap stabil, Indonesia mengonsumsi sendiri CPO yang biasanya diekspor ke UE. Alhasil, permintaan tetap terjaga sehingga harga tak anjlok. Bonusnya, di pengujung 2019 Indonesia jadi negara pertama di dunia yang menerapkan B30.
Tahun 2020, B30 mampu mengurangi impor solar 3,73 miliar dollar AS. Masih di tahun yang sama, B30 dapat mengurangi emisi 24,6 juta ton CO2.
Itulah sederet kebaikan biodiesel. Ia telah menyelamatkan industri sawit nasional. Biodiesel telah menyerap pasokan CPO yang tak bisa diekspor. Alhasil, harga CPO pun tetap terjaga. Di sisi lain, biodiesel telah banyak menghapus jejak karbon di langit Indonesia. Mirisnya, biodiesel dikambinghitamkan sebagai biang kerok kelangkaan minyak goreng.
Muhamad Rahmat, Data Analis Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian Keuangan. Berdinas di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.