Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional
Penghilangan madrasah dari dalam batang tubuh RUU Pendidikan memicu polemik dan kontroversi. Madrasah merupakan simbol dan khazanah kebudayaan Islam yang berakar sangat kuat di dalam masyarakat Indonesia.
Penghilangan madrasah dari dalam batang tubuh RUU Pendidikan dipertanyakan oleh banyak kalangan. Mengapa madrasah jadi isu sensitif yang memicu kontroversi sehingga perlu disikapi sangat hati-hati oleh para penyusun RUU Pendidikan?
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Pendidikan (RUU-P) untuk mengganti tiga UU yang berlaku saat ini: (i) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (ii) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan (iii) UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Mengapa RUU-P diperlukan, setidaknya karena empat alasan: (i) beberapa materi yang diatur di tiga UU dianggap kedaluwarsa sehingga perlu pembaruan merujuk perkembangan terkini; (ii) ada isu-isu mutakhir pendidikan yang tak memadai lagi dipayungi oleh ketiga UU yang ada. Kemudian, (iii) ada materi yang sebenarnya cukup diatur melalui peraturan turunan di bawah UU; dan (iv) ada komplikasi dan tumpang-tindih antarpasal di ketiga UU sehingga memunculkan masalah dalam pelaksanaannya.
Mengapa madrasah jadi isu sensitif yang memicu kontroversi sehingga perlu disikapi sangat hati-hati oleh para penyusun RUU Pendidikan?
RUU-P sontak memicu polemik dan kontroversi di kalangan para ahli dan pegiat pendidikan serta pelbagai kelompok masyarakat dan pemangku kepentingan, termasuk organisasi sosial-keislaman yang mengelola lembaga pendidikan, antara lain Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Di antara banyak pokok persoalan yang memancing gugatan publik adalah penghilangan madrasah dari RUU-P.
PPKI: Sejarah madrasah
Bagi banyak kalangan, menghilangkan madrasah di dalam batang tubuh RUU-P berarti menghapus sejarah panjang proses integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional, yang semula tersegregasi tajam dalam sistem dualisme yang diskriminatif sejak zaman kolonial. Indonesia memiliki dua jenis pendidikan: (1) pendidikan umum yang dikelola Kemendikbudristek dan (2) pendidikan madrasah (juga pesantren) yang dikelola Kementerian Agama.
Secara sosiologis-historis, madrasah sudah ada di Indonesia bahkan, pada masa pra-kemerdekaan. Madrasah berperan penting dalam pengembangan masyarakat Islam, menjadi tumpuan bagi Muslim Indonesia untuk mendapat layanan pendidikan Islam. Madrasah merupakan simbol dan khazanah kebudayaan Islam yang berakar sangat kuat di dalam masyarakat Indonesia.
Sarjana Belanda yang sangat masyhur, BJ Boland, dalam karya magnum opusThe Struggle of Islam in Modern Indonesia (1971), merekam dengan sangat jelas betapa madrasah—juga pesantren—telah mendapat pengakuan pemerintah yang termaktub dalam dokumen Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Risalah PPKI berbunyi: ”Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata, yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dari pemerintah. Oleh karena lembaga pendidikan ini memberikan pendidikan agama Islam, ia dimasukkan ke dalam Departemen Agama.”
Melalui madrasah, umat Islam dapat mengenyam pendidikan dan mendalami ajaran Islam, serta menempuh jalan kultural yang dapat mendorong proses mobilitas sosial, untuk meneguhkan peran publik di masyarakat. Madrasah menjadi wahana bagi umat Islam membangun landasan kokoh dalam upaya melahirkan orang-orang terpelajar, yang menjadi kekuatan utama dalam memacu mobilitas vertikal dan menggerakkan perubahan sosial.
Madrasah merupakan simbol dan khazanah kebudayaan Islam yang berakar sangat kuat di dalam masyarakat Indonesia.
Kontribusi madrasah dalam pengembangan masyarakat Islam dan pembangunan bangsa terlihat nyata ketika pada tahun 1970-an mulai bermunculan sarjana Muslim yang berasal dari keluarga berlatar belakang pendidikan madrasah dan pesantren. Para sarjana Muslim ini menekuni berbagai bidang profesi, yang menjadi faktor penting dan berkontribusi besar dalam proses transformasi masyarakat Muslim Indonesia.
Kemunculan kelompok terpelajar di kalangan umat Islam semakin menguat dari tahun ke tahun, yang kemudian membentuk formasi sosial baru: kelas menengah Muslim terdidik. Mereka bukan saja sarjana lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam seperti IAIN (sebagian bertransformasi menjadi UIN), tetapi banyak pula di antara mereka yang lulusan perguruan tinggi ”sekuler”, seperti UI, UGM, IPB, ITB, dan universitas-universitas yang lain.
Hal ini bermula ketika madrasah mengalami modernisasi yang kemudian mengubah corak pengajaran, dengan membuat kombinasi mata pelajaran agama Islam dan mata pelajaran umum, yang terintegrasi ke sistem pendidikan nasional.
Baca juga: Eksistensi Madrasah di Draf RUU Sisdiknas Dipertanyakan
Modernisasi madrasah
Pada mulanya, sebagai lembaga pendidikan Islam, madrasah sepenuhnya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam. Konsentrasi pada pengajaran dan pendalaman kajian keislaman (tafaqquh fi al-din) ini menjadi kekuatan madrasah, sekaligus menjadi pertimbangan bagi keluarga-keluarga Muslim dalam menentukan pilihan sekolah untuk anak-anak mereka.
Namun, sejalan dengan perkembangan zaman, madrasah telah mengalami modernisasi, bukan saja dalam kelembagaan, melainkan juga dalam hal substansi dan materi pendidikan dengan mengadopsi kuriku- lum yang berlaku di sekolah-sekolah umum. Modernisasi madrasah merupakan bentuk akomodasi terhadap tuntutan perubahan zaman yang mensyarat- kan pengetahuan umum, selain pengetahuan agama Islam.
Sarjana Belanda lain yang sangat otoritatif, Karel Steenbrink, dalam karya klasik Recente Ontwikkelingen in Indonesisch Islamonderricht (1974), melukiskan dengan sangat bagus betapa modernisasi madrasah sejatinya merupakan suatu dialektika pemikiran—pertarungan gagasan dan aksi—dalam merespons dinamika zaman.
Perubahan zaman selalu memunculkan tantangan baru dan memerlukan strategi adaptasi yang tepat untuk menjaga keberlanjutan dan kemampuan bertahan di masa depan. Namun, modernisasi pendidikan Islam tak selalu berjalan mulus dan lancar, bahkan sebaliknya, memunculkan ketegangan dan konflik di antara para aktornya, dengan lanskap politik pendidikan kolonial Belanda.
Ketegangan dan konflik berpusat pada isu pokok: mempertahankan dan menjaga identitas keislaman madrasah dengan garis demarkasi jelas, yang menandai perbedaan dengan sekolah umum yang berasosiasi dengan pemerintah kolonial. Garis demarkasi ini bahkan punya landasan teologis: man tasyabbaha bi-qaumin fahuwa minhum—barang siapa yang menyerupai suatu kaum (baca: kolonial), maka berarti ia menjadi bagian dari kaum itu.
Sungguh, proses modernisasi madrasah berlangsung melalui suatu pergumulan ide yang sangat intensif, lalu ditranslasi dalam praksis sosial, bahkan telah dimulai sejak 1950-an.
Sungguh, proses modernisasi madrasah berlangsung melalui suatu pergumulan ide yang sangat intensif, lalu ditranslasi dalam praksis sosial, bahkan telah dimulai sejak 1950-an. Ketika itu muncul pandangan mengenai pentingnya mengembangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang modern dan berkualitas. Untuk itu, pemerintah mencoba melakukan penataan madrasah mulai dari manajemen kelembagaan sampai dengan muatan materi pelajaran dalam kurikulum.
Upaya penataan kelembagaan madrasah merujuk pada UU Pendidikan No 4/1950 Pasal 10, yang menyebutkan bahwa belajar di sekolah agama yang mendapat pengakuan Kementerian Agama (madrasah dan pesantren yang memasukkan kurikulum yang digariskan) sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar.
Memasuki dekade 1960-an, proses perubahan madrasah menuju integrasi ke dalam sistem pendidikan nasional terus berlanjut. Bahkan di dalam dokumen Rencana Pembangunan Delapan Tahun (1961-1969), yang diajukan pemerintah kepada MPRS, dinyatakan bahwa madrasah akan dikembangkan mengikuti tipe sekolah umum.
Baca juga Madrasah dan Literasi Agama Lintas Budaya
Madrasah berintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional melalui suatu proses dan tahapan yang sangat panjang, dimulai secara perlahan membagi porsi mata pelajaran keislaman dan mata pelajaran umum: semula masing-masing 70 persen dan 30 persen, kemudian berubah menjadi 60 persen dan 40 persen, dan pada akhirnya 100 persen menggunakan kurikulum nasional, serupa dengan sekolah-sekolah umum.
Proses integrasi ini tuntas ketika madrasah mendapat pengakuan legal-formal yang tertuang dalam UU No 20/ 2003. Pendidikan yang dikembangkan di madrasah tidak hanya sebatas mengajarkan ilmu-ilmu keislaman (Tafsir, Hadits, Fikih-Ushul Fikih, Akidah-Akhlak, Fara’id, Tarikh Islam, Bahasa Arab) semata, tetapi juga pengetahuan umum (matematika, sains, sosiologi, antropologi, geografi, sejarah, PMP/Kn) dan aneka jenis keterampilan teknikal.
Proses integrasi berlangsung sangat lama melampaui rezim pemerintahan dan melintasi zaman, sejak Menteri Agama era Orde Lama —sekadar menyebut beberapa saja—KH Wahid Hasyim, KH Fakih Usman, dan KH Saifuddin Zuhri, sampai era Orde Baru: Prof Dr A Mukti Ali MA, Prof Dr Munawir Sjadzali MA, dan berpuncak di era Reformasi: Prof Dr A Malik Fadjar MEd, yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan Nasional.
Proses integrasi madrasah merupakan bentuk penyelarasan dualisme sistem pendidikan, yang telah berlangsung selama berbilang dekade dalam sejarah Indonesia modern.
”Milestone” penting
Proses integrasi yang dipayungi UU No 20/2003 menjadi milestone sangat penting, yang mengubah arah dan orientasi pendidikan madrasah. Sejak saat itu madrasah mengalami kemajuan pesat dengan sejumlah pencapaian menawan dan sangat membanggakan, yang belum pernah terjadi lima dekade lampau.
Siswa-siswa madrasah berhasil memenangi aneka Olimpiade sains dan matematika, baik nasional maupun internasional. Capaian PISA 2018 untuk bidang membaca siswa madrasah tsanawiyah (MTs) lebih tinggi (345) dibandingkan siswa SMP (340), madrasah aliah (MA) (380), dan sedikit di atas SMK (378), sementara selisih skor pada siswa MA—meski masih tertinggal—dibanding siswa SMA kian menyempit.
Selama dua dekade terakhir madrasah terus melanjutkan reformasi mendasar dimulai dengan membangun infrastruk- tur (sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan), memperkuat kelembagaan, memperbaiki tata kelola, serta memperbarui metode pengajaran dan proses pembelajaran, yang bertumpu pada guru-guru berkualitas.
Saksikan, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional jelas berdampak positif dalam konteks pembangunan pendidikan di Indonesia secara keseluruhan sehingga perlu diperkuat melalui pengaturan khusus di dalam undang-undang pendidikan.
Amich AlhumamiDirektur Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan-Kementerian PPN/Bappenas