Kasus ”Robo Trading” Ponzi: Jangan Membunuh Tikus dengan Membakar Lumbung
Banyak kasus penipuan dengan modus robo trading menggunakan skema ponzi. Sudah ribuan orang tertipu. Regulator perlu melakukan pengaturan yang lebih spesifik agar konsumen dan investor terlindung dari robo trading.
Oleh
RICO USTHAVIA FRANS
·5 menit baca
HERYUNANTO
Heryunanto
Akhir-akhir ini media massa marak membahas kasus penipuan dengan modus robo trading menggunakan skema ponzi. Sudah ribuan orang tertipu. Korban menderita kerugian jutaan, bahkan miliaran rupiah. Beberapa perusahaan bahkan mengeluarkan imbauan keras agar karyawan mereka tak ikut robo trading.
Dulu para trader melakukan transaksi (trading) secara manual. Namun, dengan kemajuan teknologi dan perkembangan dinamika pasar yang kian cepat, mereka mulai mengotomasi proses trading mereka.
Pada dasarnya, robo trading adalah metode trading menggunakan robot berbentuk perangkat lunak (software) yang diprogram untuk membaca dan menganalisis data pasar dan melakukan eksekusi sesuai dengan strategi trading tertentu.
Robo trading sangat membantu trader karena robot dapat memantau harga komoditas dengan lebih presisi dan mampu melakukan eksekusi dengan lebih cepat dan lebih akurat. Kinerja robot tergantung kecanggihan metode yang digunakan. Robot yang sederhana umumnya hanya mengandalkan logika rule-based yang sederhana saja, sedangkan yang canggih bisa menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan machine learning untuk mengenali pola-pola pasar.
Sebenarnya sudah banyak orang yang membuat dan menjual robot trading. Dulu, di sebuah stasiun TV, setiap minggu ada iklan yang menawarkan. Sekarang pun di aplikasi dan situs e-dagang banyak yang menawarkan robot trading.
Robo trading pada dasarnya alat bantu trading bersifat netral.
Harganya bervariasi dari jutaan hingga puluhan juta rupiah. Namun, penggunaan robot trading memang tak mudah. Seorang yang awam harus mempelajari cara menyetel robot itu untuk menjalankannya dengan baik. Oleh karena itu, ada juga pihak yang menawarkan layanan robot trading dengan cara sewa.
Robo trading pada dasarnya alat bantu trading bersifat netral. Dalam kasus kejahatan menggunakan robo trading, yang salah bukanlah robo trading-nya, melainkan robot trading yang dijadikan kedok skema ponzi. Seperti umumnya skema ponzi, modus penipuan robot trading menggunakan skema MLM (multi-level marketing). Robo trading yang relatif berisiko tinggi dijual dengan metode MLM oleh sales amatir tak besertifikat.
Indikasi utama robo trading berskema ponzi adalah robot yang ditawarkan hanya bisa digunakan di broker tertentu yang terafiliasi. Penggunaan broker terafiliasi memungkinkan penyedia layanan robo trading memanipulasi atau, istilah pasarnya, ”melukis” harga. Dengan demikian, penyedia robo trading bisa memastikan keuntungan trading sehingga tampak menarik bagi investor awal. Ini dilakukan sampai suatu saat nanti mereka ”exit” dengan cara membuat semua investor kalah dan mereka sendiri kabur.
Robo trading memang banyak digunakan dalam perdagangan komoditas. Domain perdagangan komoditas sendiri berada di Bappebti di bawah Kementerian Pedagangan. Namun, secara teknis, robo trading juga bisa diterapkan di perdagangan saham.
Jadi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga perlu berperan melakukan pengaturan. Akan lebih baik lagi jika Bappebti dan OJK berkoordinasi. Para regulator bisa saja mengambil langkah mudah dengan melakukan pelarangan terhadap semua robo trading. Namun, jika ini dilakukan, triliunan rupiah pasar robo trading akan lenyap kalau semua robot dianggap ilegal dan tidak boleh beroperasi.
KOMPAS
Ivan Gunawan Diperiksa Polisi Terkait Penipuan Robot Trading DNA Pro
Menyikapi ”robo trading”
Lalu bagaimana sebaiknya regulator menyikapi hal ini? Hal pertama yang perlu dilakukan regulator adalah membuat proses pendaftaran penyedia robo trading. Saat ini, tak ada aturan dan proses resmi untuk melakukan itu. Ini mirip langkah awal saat melakukan pengaturan P2P lending ketika OJK tak melakukan pelarangan, tetapi melakukan identifikasi pemain dengan proses pendaftaran.
Selanjutnya perlu dilakukan proses akreditasi penyedia layanan robo trading. Regulator mengeluarkan kriteria tertentu yang bisa menjamin standar kualitas penyedia robo trading sedemikian rupa sehingga konsumen terlindungi. Setelah itu, baru bisa dilakukan proses perizinan formal. Selain pendaftaran, akreditasi, dan perizinan, regulator juga dapat mendorong terbentuknya asosiasi robo trading.
Asosiasi ini idealnya diposisikan sebagai self regulatory organization (SRO) yang akan membantu regulator. Dengan demikian regulator bisa fokus di area makroprudensial dan SRO fokus di area mikroteknikal. Hal ini juga sejalan dengan yang terjadi di P2P lending dengan OJK jadi regulator makroprudensial dan AFPI sebagai SRO-nya serta sistem pembayaran dengan BI sebagai regulator makroprudensial dan ASPI (Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia) menjadi SRO-nya.
Hal pertama yang perlu dilakukan regulator adalah membuat proses pendaftaran penyedia robo trading.
Regulator juga bisa mewajibkan penyedia robo trading menggunakan broker lokal yang resmi berizin dari Bappebti. Namun, ini perlu dilakukan dengan hati-hati mengingat industri broker Forex dan komoditas di Indonesia saat ini menerapkan biaya spread dan komisi transaksi relatif tinggi dibandingkan broker luar negeri. Kemampuan eksekusi broker lokal dari sisi kecepatan ataupun keandalan secara umum juga masih di bawah standar broker luar negeri.
Selain itu, kebanyakan broker lokal memiliki ketentuan minimum order lot mini (0.1 lot) dan tak bisa menerima lot mikro (0.01 lot) seperti halnya broker luar negeri. Ini mengakibatkan pengguna robot trading harus memiliki modal lebih besar agar risikonya terjaga. Jadi, kewajiban penyedia robo trading menggunakan broker lokal seyogianya dibarengi penataan broker lokal agar dapat memberikan pricing dan layanan yang bagus sesuai global best practices.
Di dunia digital yang semakin maju ini, robo trading adalah alat bantu yang tidak terelakkan lagi bagi para trader dan investor. Oleh karena itu, jika ada penyalahgunaan seperti marak terjadi saat ini, hendaknya regulator tak bereaksi dengan melarang robo trading, tetapi melakukan pengaturan yang lebih spesifik agar konsumen dan investor terlindung.
Jika beternak itik bisa digunakan untuk skema ponzi, apakah lalu beternak itik dilarang? Jika begal melakukan aksinya menggunakan sepeda motor, apakah lalu penjualan motor dilarang? Intinya jangan membunuh tikus dengan membakar lumbung.
Rico Usthavia Frans Pengamat Bisnis Digital, Anggota Indonesia Fintech Society (IFSOC)