Qatar mempergunakan Piala Dunia sebagai momentum tak hanya untuk memodernisasi infrastruktur fisiknya, tetapi juga untuk mereformasi berbagai kebijakan, termasuk menaikkan citra dan daya tawarnya di dunia internasional.
Oleh
ALI MURTADO
·5 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Bagaimana sebuah peristiwa olahraga seperti Piala Dunia dapat menaikkan citra dan daya tawar suatu negara di panggung internasional? Qatar sedang melakukannya.
Pada tahun 2010, Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) memilih Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Pemilihan Qatar tersebut adalah sejarah baru, bukan hanya karena inilah kali pertama Piala Dunia akan digelar di Timur Tengah (sekaligus di negara Muslim pertama), tetapi juga karena pemilihan Qatar saat itu dianggap cukup ”berani” mengingat dalam sejarah Piala Dunia, Qatar adalah negara terkecil (setelah Swiss, 1954) yang pernah ditunjuk sebagai tuan rumah.
Diplomasi olahraga
Meski dikenal kaya raya, kekayaan Qatar sebenarnya relatif baru. Naiknya Sheikh Hamad bin Khalifa al Thani menjadi Amir Qatar pada 1995 mengubah landscape perekonomian Qatar. Di era Sheikh Hamad inilah industrialisasi dan modernisasi Qatar dimulai. Produksi gas Qatar di era ini mencapai 77 juta ton per tahun, sebuah angka yang kemudian menjadikan Qatar sebagai salah satu negara terkaya di dunia dengan pendapatan per kapita saat itu mencapai 80,234 dollar AS (World Bank, 2008).
Sepuluh tahun setelah Sheikh Hamad berkuasa, atau tepatnya pada tahun 2006, Qatar menjadi tuan rumah pesta olahraga bangsa-bangsa Asia atau Asian Games. Sukses menjadi tuan rumah Asian Games, pamor Qatar di bidang olahraga terus naik. Qatar kemudian menjadi tuan rumah pelbagai event olahraga dunia, seperti Tennis, MotoGP, F1, dan puncaknya, pada tahun 2010, Qatar dipilih FIFA menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Qatar sejak awal telah menjadikan olahraga sebagai salah satu modalitas diplomasi mereka. Berbagai fasilitas olahraga modern dibangun. Atlet dan pelatih kaliber internasional didatangkan untuk bermain atau melatih di Qatar. Secara rutin, pembangunan olahraga juga masuk dalam Qatar National Vision atau semacam RPJMN mereka. Konsekuensinya, anggaran untuk pembangunan olahraga mengucur deras. Sebuah sumber menyebutkan Qatar menyiapkan dana sekurangnya 200 miliar dollar AS hanya untuk persiapan Piala Dunia 2022 (Bloomberg, 4 Juli 2019).
REUTERS/KAI PFAFFENBACH/FILE PHOTO
Pembangunan Stadion Lusail, di Lusail, Qatar, yang disiapkan untuk menjadi salah satu lokasi pertandingan Piala Dunia Qatar 2022, terlihat pada arsip foto tanggal 20 Desember 2019 ini.
Reformasi perburuhan Qatar
Salah satu yang paling disorot dari Piala Dunia Qatar adalah dugaan pelanggaran HAM terhadap para pekerja migran yang mengerjakan proyek-proyek Piala Dunia. Tuduhan tersebut terutama berasal dari media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing (baca: Barat). Padahal, sekiranya kita hendak adil, sesungguhnya Piala Dunia secara langsung atau tidak langsung justru membawa banyak perbaikan dalam kebijakan perburuhan di Qatar.
Saat ini, dibandingkan negara Timur Tengah lain, Qatar boleh dibilang yang paling maju dalam mereformasi kebijakan perburuhannya. Qatar misalnya telah menerapkan kebijakan upah minimum bagi pekerja asing tanpa diskriminasi, hal yang jarang terjadi di Timur Tengah.
Piala Dunia juga membawa berkah dengan dinaikkannya upah minimum bagi para pekerja migran, termasuk pekerja domestik/rumah tangga. Upah minimum dari yang sebelumnya hanya 750 riyal Qatar (sekitar Rp 2,9 juta) kini naik menjadi 1.000 riyal Qatar (sekitar Rp 3,9 juta) ditambah kewajiban perusahaan menyediakan biaya akomodasi minimal 500 riyal Qatar dan makanan 300 riyal Qatar per bulan.
Jika ada yang paling monumental dalam reformasi perburuhan di Qatar, itu adalah penghapusan Kafala System. Di bawah sistem ini, seorang pekerja migran dilarang berpindah majikan tanpa izin dari perusahaan sponsornya. Praktik semacam ini lazim ditemukan di negara-negara Timur Tengah dan secara praktis dapat membuka terjadinya perbudakan modern. Qatar pada tahun 2020 menghapuskan sistem ini.
Masih dalam sektor perburuhan, di tengah kontraksi finansial yang hebat akibat pandemi Covid-19, Qatar adalah satu dari sedikit negara yang menggratiskan pengobatan bagi seluruh pasien Covid-19 termasuk para pekerja asing. Qatar juga mewajibkan perusahaan untuk tetap membayar penuh gaji para pekerja yang masuk karantina. Pemerintah disebut-sebut menyediakan dana sekurangnya 824 juta dollar AS untuk membantu perusahaan menunaikan kewajiban ini (Al Jazeera, 1 Apri 2020).
Tentu tidak ada negara yang sempurna, tidak juga negara-negara Barat. Namun, pelajaran terpenting dari Piala Dunia di Qatar adalah bahwa olahraga, terutama sepak bola, telah menyediakan kesempatan terbaik bagi sebuah negara untuk mereformasi banyak hal dalam kehidupan masyarakatnya.
GOOGLE MAPS
Peta Qatar
”Leverage” Qatar
Pada 8 April 2022, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi dukungan terhadap Piala Dunia 2022 di Qatar. Secara diplomatik, resolusi tersebut dapat dilihat sebagai kemenangan Qatar atas segala tuduhan negara-negara Barat selama ini. Sejak awal, Qatar memang tidak hanya ingin menjadi event organizer (EO) dalam penyelenggaraan Piala Dunia. Target mereka lebih dari itu, yakni menjadikan Piala Dunia sebagai bagian dari strategi diplomasi mereka. Mereka meyakini melalui olahraga, citra, pengaruh, dan leverage mereka di dunia internasional akan meningkat.
Sebagai negara Muslim, Qatar juga menampilkan warna lain. Inilah negara yang tidak hanya menyajikan kosmopolitanisme, tetapi juga teguh merawat nilai-nilai tradisionalnya. Di level internasional, Qatar adalah negara Muslim dengan peran menonjol sebagai juru damai. Qatar misalnya terlibat langsung dalam proses perdamaian di Lebanon, Yaman, Sudan, Chad, dan Afghanistan. Trust tersebut tentu tidak diperoleh Qatar dalam semalam. Peran panjang dan istimewa Qatar di bidang olahraga, pendidikan, kebudayaan, dan charity ikut mengerek daya tawar Qatar.
Bahwa negara-negara Barat masih menyorot Qatar, saya teringat kata-kata Pramoedya Ananta Toer, ”Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Bangsa-bangsa Barat itu harus terbiasa berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.