Pemilu Perancis dan Gaullisme
Gaullisme yang secara moderat mengakomodasi berbagai aliran berpikir telah mengingatkan kita kepada Pancasila sebagai ideologi terbuka yang terdiri dari Ketuhanan, Kebangsaan, Internasionalisme, Demokrasi, Kesejahteraan.

Ilustrasi
Kemenangan petahana beraliran sentris Emmanuel Macron dalam putaran kedua Pemilu Prancis, usai mengalahkan pemimpin partai sayap kanan Rassemblement National, Marine Le Pen, dengan raihan suara 58,6 persen telah memberikan pelajaran demokrasi yang penting bagi dunia.
Pada pemilu putaran pertama tanggal 10 April lalu, Macron memperoleh angka 27,85 persen, Le Pen 23,25 persen, dan pemimpin sayap kiri, Jean-Luc Melenchon 21,95 persen. Jika dicemati, perolehan suara antar ketiga kandidat tersebut ternyata tidak terlalu signifikan.
Memang terdapat perbedaan yang cukup tajam antara Macron dan Le Pen. Dari segi ekonomi, visi Macron berorientasi global, misalnya rencana mengucurkan bantuan 30 miliar euro untuk mendukung start-up nasional. Sedangkan, Le Pen memprioritaskan perlindungan usaha dalam negeri, dengan merenegosiasi perjanjian perdagangan bebas dan subsidi industri dalam negeri.
Baca juga: Rivalitas dalam Pertarungan Ideologis dan Demografis di Pemilu Perancis
Selanjutnya mengenai politik luar negeri, Macron percaya kepada Uni Eropa (EU). Sebaliknya Le Pen hendak mereformasi EU, sehingga tidak lagi menjadi badan supranasional, melainkan suatu majelis bangsa-bangsa.
Meski demikian, keduanya memiliki banyak kesamaan. Dalam isu imigrasi dan kewarganegaraan, Le Pen mengedepankan prinsip ”French First”, dengan jargon “hentikan imigrasi di luar kendali”, misalnya mencabut izin sementara imigran yang sudah setahun tanpa pekerjaan. Pada Pemilu 2017, Macron menunjukkan sikap serupa, yaitu dengan mereformasi proses pencari suaka, yang bertujuan mengusir imigran yang tidak memenuhi kualifikasi.
Dalam isu keamanan, Macron hendak menggandakan jumlah satuan polisi dan menutup tempat ibadah yang terpapar radikalisme. Sedangkan, Le Pen berjanji memprioritaskan isu keamanan, salah satunya dengan melarang penggunaan hijab bagi wanita. Sehingga pertanyaan yang timbul tentu bukan sekadar faktor pembedanya, tetapi pandangan politik apa yang mempersatukan mereka? Hal itu adalah Gaullisme.

Politik Gaullisme
Gaullisme adalah pengarusutamaan sikap dan pandangan politik dari pahlawan perang dan Presiden Pertama di Republik Kelima Perancis, Charles de Gaulle (1890-1970). Semua politikus Perancis dari berbagai spektrum mengagungkannya. Pada Pemilu 2012, kandidat kiri Francois Holande dan seterunya dari kanan Nicholas Sarkozy sama-sama mengutip perkataan de Gaulle.
Bahkan, foto resmi kepresidenan Macron memperlihatkan ia berdiri di belakang meja yang di atasnya tergeletak buku War Memoirs karya de Gaulle. Le Pen meyakini bahwa de Gaulle adalah figur pemimpin yang menyelamatkan Perancis dari serbuan bangsa asing, bahkan pemimpin kiri, Melenchon menyatakan bahwa secara spiritual, de Gaulle termasuk dalam pergerakan yang ia usung.
Di Perancis, terdapat 3.600 lokasi yang menggunakan nama de Gaulle. Sewaktu diadakan survei nasional perihal tokoh paling berpengaruh di Perancis pada 2010, de Gaulle mendapat 44 persen suara, jauh melampaui Napoleon Bonaparte sebagai runner up dengan 14 persen suara (Jackson, 2018:1).
Disinyalir, de Gaulle bukan saja pahlawan nasional, ia adalah identitas nasional.
Disinyalir, de Gaulle bukan saja pahlawan nasional, ia adalah identitas nasional yang menurut novelis Andre Malraux pemujaan atasnya bersifat religius.
Lalu mengapa Gaullisme menjadi ideologi utama politik Perancis? Menurut hemat penulis, karena ia bersifat ambigu. De Gaulle datang dari keluarga tradisional penganut Katolik yang taat, namun ia mengaku bahwa faktor utama beragamanya adalah sejarah dan geografis, artinya bukan sekadar iman kepercayaan.
Sebagai seorang konservatif, ia sering berbicara seperti seorang revolusioner, dan sebagai seorang Barat, sikap anti-Amerikanya mendekatkan dia dengan negara-negara terjajah serta kaum kiri.
Baca juga: Membaca Politik Perancis, Meneropong Masa Depan Eropa
Pada zaman sekarang, perpecahan tidak timbul karena kesalahpahaman, namun sebaliknya karena posisi lawan bicara kita terang-jelas, sehingga mudah menciptakan pembelahan antar “kita dan mereka” bahkan dalam tingkat yang dapat dipahami akar rumput (grassroots). Di sinilah ambiguitas dapat menjaga kohesi walau bersifat problematik.
De Gaulle paling khawatir akan munculnya perpecahan internal di negaranya. Barangkali ketakutan inilah yang menjadikan ia mengedepankan ide bahwa Perancis adalah negara agung (Grandeur). Di halaman pertama War Memoirs, ia menggambarkan Perancis sebagai “ratu bangsa-bangsa”.
Olehnya, Gaullisme dapat dipahami sebagai bentuk sentimen nasionalisme Perancis yang bersifat praktis dan sinkretik dalam visi keagungan bangsa.

Emmanuel Macron
Gaullisme dan Pancasila
Setidaknya ada tiga hal yang dapat dijadikan catatan dari Gaullisme dan pemilu Perancis. Pertama, dengan pertimbangan bahwa seluruh spektrum politik Perancis menganggap diri sebagai penganut Gaullisme, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada nasionalisme tunggal di Perancis, melainkan berbagai varian nasionalisme.
Sehingga, siapapun yang menjadi pemimpin Perancis, harus memperlihatkan kualitas Gaulis-nya dengan mampu mengakomodasi aliran pemikiran, misalnya dari aspek etnisitas dan budaya yang turut membentuk nasionalisme tersebut.
Kedua, dengan adanya kesamaan mayoritas kandidat pemilu dengan Gaullisme, maka terhadap pemenang pemilu, menjadi kurang realistis untuk mengharapkan adanya pengambilan sikap revisionis yang radikal dari program pesaingnya selama kampanye pemilu.
Siapapun yang menjadi pemimpin Perancis, harus memperlihatkan kualitas Gaulis-nya.
Terakhir, visi de Gaulle terhadap Eropa adalah ”Europe of the Fatherland”, yang dimaksudkan sebagai himpunan yang relatif bebas dari pengaruh Amerika. Sentimen laten seperti ini pernah de Gaulle tunjukkan dengan menolak aplikasi Inggris ke dalam komunitas Eropa (EC) pada 1961, serta dengan menarik Perancis keluar sementara dari NATO pada 21 Juni 1966.
Sehingga ke depan, politik luar negeri Perancis yang berupaya menempatkan Perancis sebagai kekuatan alternatif selain super power dunia akan makin menguat, sebagai bentuk ekspresi nasionalismenya.
Berkaca pada kemandirian Perancis terhadap super power dunia yang dekat dengan tradisi non-blok yang dianut Indonesia, tentu dapat menjadikan Perancis sebagai opsi mitra strategis Indonesia, khususnya di kawasan Indo-Pacific.
Baca juga: Jalan Terjal nan Berliku Menanti Macron
Gagasan ini juga dikuatkan oleh buku strategi Indo-Pacific yang diterbitkan oleh Kementrian Eropa dan Luar Negeri Perancis (2022) yang mengandung value yang sama dengan negara kita, misalnya pengarusutamaan sikap non-koersif, dan penghormatan atas Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, serta penghargaan terhadap keberadaan ASEAN.
Di sisi lain, Gaullisme yang secara moderat mengakomodasi berbagai aliran berpikir tentu telah mengingatkan kita pada Pancasila sebagai ideologi terbuka yang terdiri dari Ketuhanan, Kebangsaan, Internasionalisme, Demokrasi, dan Kesejahteraan. Tidaklah mengherankan dalam kurun 1961-1965, Presiden Soekarno bertemu de Gaulle sebanyak empat kali. Kiranya kedekatan historis ini dapat makin terjalin di masa depan dalam berbagai tingkatan dan kepentingan guna keamanan dan kejayaan Indonesia.
Rhesa Sigarlaki, Pengamat Hukum Internasional; Senior Consultant di Kiroyan Partners

Rhesa Sigarlaki