Menghadapi Gejolak Ekonomi Dunia
Ada beberapa implikasi dari gejolak ekonomi dunia saat ini bagi ekonomi Indonesia. Sejalan dengan berkurangnya stimulus fiskal dan moneter , reformasi struktural harus mulai menunjukkan hasil sejak tahun 2022 ini.
Tiga tantangan pokok yang dihadapi oleh perekonomian dunia, termasuk Indonesia, dalam satu-dua tahun ini adalah lonjakan harga komoditas yang tinggi, normalisasi kebijakan moneter negara maju yang agresif, serta konflik Rusia-Ukraina.
Di luar ketiga tantangan itu, masih ada risiko yang muncul dari potensi varian baru Covid-19 dan sebaran Covid-19 yang belum sepenuhnya hilang di tahun 2022.
Untuk kenaikan harga komoditas, sebenarnya sudah diperkirakan sebelumnya. Mulai pulihnya ekonomi dunia sejalan dengan meredanya pandemi Covid-19, telah meningkatkan permintaan terhadap komoditas. Gangguan rantai pasok sebagai dampak dari pembatasan karena Covid-19 mengakibatkan produksi tertinggal dalam memenuhi permintaan dunia. Sejak awal tahun 2021, harga komoditas, baik energi maupun non-energi, naik secara konsisten.
Berbeda dengan periode commodity boom sebelumnya yang sempat berlangsung lama (2004-2012), lonjakan harga komoditas kali ini berpotensi berlangsung dalam waktu yang tidak lama. Perekonomian China yang menjadi penggerak ekonomi dunia—sekitar sepertiga pertumbuhan ekonomi dunia disumbang oleh pertumbuhan ekonomi China—tampak tidak memaksakan diri untuk tumbuh tinggi. Baik karena perhatiannya yang besar untuk menangani penyebaran Covid-19 maupun karena krisis properti Evergrande.
Dengan demikian, salah satu faktor fundamental pembentuk harga, yaitu sisi permintaan, tidak sekuat dulu. Dengan pulihnya rantai pasok, harga komoditas pun akan menurun kembali.
Permasalahan menjadi berbeda dengan meletusnya perang Rusia-Ukraina secara terbuka. Dua negara yang mempunyai peranan cukup besar dalam pasokan energi dan pangan dunia ini tidak lagi mampu membantu memenuhi permintaan yang meningkat.
Permasalahan menjadi berbeda dengan meletusnya perang Rusia-Ukraina secara terbuka.
Sebagai catatan, produksi minyak mentah Rusia tahun 2021 rata-rata 9,8 juta barel per hari atau sekitar 10 persen konsumsi minyak mentah dunia. Alhasil, harga energi melonjak lebih tinggi diikuti dengan harga pangan, pertambangan, dan komoditas lainnya.
Lonjakan ini mendorong inflasi yang sudah tinggi, terutama di negara-negara maju. Inflasi di Amerika Serikat (AS), yang sebelumnya 7,5 persen, meningkat menjadi 8,5 persen pada Maret 2022, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Demikian juga yang terjadi di Eropa dan banyak negara lainnya. Inflasi di kawasan Eropa melonjak menjadi 7,5 persen pada Maret 2022.
Sementara itu, pulihnya ekonomi dan menurunnya pengangguran di negara maju, terutama AS, memberi ruang yang lebih luas bagi normalisasi kebijakan moneternya. Tingkat pengangguran di AS yang turun menjadi 3,6 persen pada Maret 2022—jauh di bawah saat ekonomi AS pertama dilanda Covid-19 pada Maret 2020, yakni 14,7 persen—dan pemulihan ekonomi yang cukup kuat pada 2021, tidak menyisakan alasan untuk menunda normalisasi.
Baca juga Inflasi Global Jadi Isu Prioritas
Bank sentral AS, The Fed, tidak akan mengulangi kesalahan dalam memahami dan mengatasi inflasi. Pada triwulan pertama tahun 2021 ketika inflasi AS meningkat menjadi 4 persen, The Fed memperkirakan bahwa kenaikan inflasi bersifat sementara. Artinya, akan menurun apabila sisi pasokan pulih.
Dengan makin tingginya inflasi, anggapan tersebut berubah. The Fed akan menempuh langkah yang lebih agresif untuk menjinakkan inflasi melalui kenaikan suku bunga, meskipun dengan konsekuensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Keterlambatan menyesuaikan kebijakan moneter akan membuat The Fed lebih sulit melunakkan inflasi yang cenderung menjadi permanen nantinya.
Sampai seberapa tinggi suku bunga acuan AS (fed fund rate/FFR) dinaikkan? Sulit diperkirakan. Yang pasti kenaikan FFR akan lebih cepat dan lebih tinggi dari normalisasi sebelumnya.
Kondisi sekarang sangat berbeda dengan normalisasi sebelumnya, di mana inflasi AS hanya maksimum 2 persen pada tahun 2013. Tidak tertutup kemungkinan, FFR akan dinaikkan hingga menjadi 3,5 persen pada akhir tahun 2022, lebih tinggi dari tingkat normalisasi sebelumnya, yakni 2,5 persen.
The Fed sendiri pernah menaikkan FFR hingga 5,25 persen pada 2004-2006 guna mengatasi inflasi dan pemanasan ekonomi (overheated economy).
Implikasi bagi Indonesia
Ada beberapa implikasi dari gejolak ekonomi dunia saat ini bagi ekonomi Indonesia. Pertama adalah meningkatnya ekspor cukup tinggi. Sebagai negara yang kaya sumber daya alam (SDA), neraca perdagangan juga mencatat surplus yang cukup besar.
Tidak mengherankan, nilai ekspor Indonesia pada tahun 2021 meningkat menjadi 231,5 miliar dollar AS dengan surplus perdagangan 35,3 miliar dollar AS. Dan berlanjut sebesar 66,1 miliar dollar AS pada triwulan I tahun 2022 dengan surplus perdagangan sebesar 9,3 miliar dollar AS.
Meski berdampak positif, apabila berlangsung dalam jangka panjang, commodity boom ini dapat memberi implikasi yang kurang menguntungkan. Nilai tukar perdagangan komoditas yang tinggi dapat menekan peranan sektor lain, terutama industri. Fenomena Dutch disease ini dapat menghambat upaya percepatan industrialisasi di Indonesia.
Kedua adalah meningkatnya inflasi. Dengan kenaikan harga komoditas yang tinggi, tidak ada perekonomian yang mampu mengisolasi diri sepenuhnya dari pengaruh kenaikan harga, terutama energi. Proyeksi terbaru Energy Information Administration (EIA), awal April 2022, memperkirakan harga minyak mentah Brent untuk keseluruhan tahun 2022 sebesar 98 dollar AS per barel, jauh di atas asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Kemampuan fiskal kita cukup terbatas untuk menyediakan tambahan subsidi guna meredam potensi inflasi.
Apabila harga minyak mentah yang tinggi berlangsung lama, harga di dalam negeri perlu disesuaikan secara bertahap.
Apabila harga minyak mentah yang tinggi berlangsung lama, harga di dalam negeri perlu disesuaikan secara bertahap. Subsidi perlu dikendalikan dengan memberi perlindungan terhadap masyarakat yang kurang mampu dengan mengalihkan subsidi barang kepada kelompok yang disasar (target group).
Penyesuaian yang proporsional juga perlu menjadi pertimbangan untuk dilakukan untuk mengurangi migrasi dari komoditas yang tidak disubsidi ke komoditas yang disubsidi.
Ketiga adalah mengetatnya kebijakan moneter. Meningkatnya inflasi dan suku bunga acuan AS akan menuntut kenaikan suku bunga acuan di dalam negeri. Suku bunga perlu menyesuaikan secara bertahap dan terukur dengan tetap menjaga suku bunga riil positif di atas ekspektasi inflasi.
Agresivitas kenaikan suku bunga AS perlu menjadi pertimbangan dalam menjaga nilai tukar rupiah. Dari pengalaman tahun 2005, keterlambatan dalam menaikkan suku bunga dapat berpengaruh besar terhadap kepercayaan pada rupiah. Dalam situasi seperti ini, turunnya kepercayaan terhadap rupiah dapat membahayakan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Keempat adalah normalisasi fiskal dan memperkuat reformasi struktural. Dengan kembalinya defisit anggaran menjadi maksimal 3 persen dari PDB pada 2023, stimulus fiskal menjadi semakin terbatas. Perbaikan fiskal mencakup tiga sisi, yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan defisit.
Sisi yang terberat adalah belanja, yaitu bagaimana menyelesaikan (exit) dari program pemulihan ekonomi secara tepat. Termasuk berbagai program relaksasi dan belanja yang diluncurkan semasa pandemi dan tak terlalu diperlukan lagi. Memberikan pemahaman kepada masyarakat sangat penting bahwa lingkungan strategis telah berubah secara drastis dan cepat.
Sejalan dengan berkurangnya stimulus fiskal dan moneter, reformasi struktural harus mulai menunjukkan hasil sejak tahun 2022 ini. Reformasi struktural akan mengompensasi penurunan dukungan fiskal dan moneter dalam tiga tahun terakhir ini.
Bambang PrijambodoEkonom Senior; Mantan Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas