Hepatitis Akut Berat yang Belum Jelas Penyebabnya
Dari berbagai negara, dilaporkan terjadi ratusan kasus hepatitis akut berat yang menyerang anak-anak dan belum jelas penyebabnya. Negara perlu mengambil langkah antisipasi yang diperlukan, masyarakat juga perlu waspada.
Dalam hari-hari ini, dari berbagai negara, dilaporkan terjadi ratusan kasus hepatitis akut berat yang menyerang anak-anak dan belum jelas penyebabnya. Kita perlu waspada, tetapi tidak perlu panik.
Hal ini bermula dari laporan Disease Outbreak News Organisasi Kesehatan Dunia pada 15 April 2022, yang menyebutkan bahwa pada 5 April 2022 WHO mendapat notifikasi adanya 10 kasus hepatitis akut berat yang tidak diketahui penyebabnya.
Selanjutnya, sampai 8 April sudah dilaporkan 74 kasus di Inggris. Pada kasus-kasus ini pemeriksaan laboratoriumnya tidak menemukan virus hepatitis yang biasa dijumpai, baik itu hepatitis A, B, C dan E, maupun D pada situasi yang memungkinkan.
Setelah laporan awal pada 5 April 2022, pada 23 April 2022 WHO melaporkan setidaknya ada sebanyak 169 kasus dari 12 negara di dunia.
Pada 28 April 2022, European CDC (E-CDC) melaporkan sudah ada 12 negara di Eropa yang melaporkan kejadian ini dan juga ada kasus di Israel dan Jepang. Artinya, sudah lintas benua.
WHO di Amerika (Pan American Health Organization/PAHO) pada 3 Mei 2022 menyampaikan bahwa sudah ada lebih dari 200 kasus dari 20 negara di dunia. Kita ketahui juga bahwa beberapa hari sebelum Idul Fitri, Singapura juga melaporkan kasus pada bayi berumur 10 bulan, yang hasil pemeriksaan terhadap hepatitis—tipe A, B, C dan E—semuanya negatif.
Pada 1 Mei 2022, Kementerian Kesehatan kita juga mengumumkan masyarakat agar waspada, setelah tiga pasien anak dengan hepatitis akut meninggal di Jakarta.
Walaupun berita tentang hal ini cukup mendominasi kabar kesehatan kita karena jumlah kasus baru sekitar 200 orang di seluruh dunia, memang masih banyak bukti ilmiah yang perlu dikumpulkan untuk menjawab setidaknya mengenai jumlah kasus, tingkat keparahan, cara penularan, penyebab dari penyakit tersebut, dan kemungkinan kaitannya dengan Covid-19.
Tentang kemungkinan cara penularan, sejauh ini data penelitian epidemiologi awal belum menunjukkan secara jelas adanya sumber penular utama.
Jumlah, keparahan, dan penularan
Pertama, tentang apakah jumlah kasus memang cukup tinggi. Pada 15 April 2022, WHO sudah menyatakan bahwa dimungkinkan di hari-hari sesudahnya akan ada lagi laporan kasus dari berbagai negara lainnya.
Di Jurnal Kedokteran Internasional BMJ tanggal 26 April 2022 disebutkan bahwa selama ini sangat jarang ada kasus hepatitis berat pada anak dengan tidak ditemukannya virus hepatitis, antara A sampai E-nya. Salah seorang pakar Inggris menyebutkan, angka kasus hepatitis dengan tidak ditemukannya virus hepatitis dari A hingga E ini kini meningkat sampai lima atau 10 kali di universitas tempat dia bekerja. Jadi, jelas ada peningkatan kasus.
Hal kedua, seberapa parah penyakit ini dan bagaimana penularannya. Dari data yang dikumpulkan WHO, kasus pada umumnya dapat sembuh. Meski demikian, sekitar 10 persen kasus—yakni 17 kasus dari 170 kasus di laporan awal—membutuhkan transplantasi hati dan WHO juga sudah melaporkan satu kasus yang meninggal sejauh ini.
Tentang tiga kasus yang meninggal di Jakarta, sesuai laporan Kementerian Kesehatan, akan baik kalau ditelusuri secara mendalam bagaimana gambaran laboratorium dan klinisnya. Dalam berita tidak dijelaskan bagaimana hasil pemeriksaan virus hepatitisnya pada ketiga kasus itu. Juga akan baik kalau ada informasi lebih jelas tentang bagaimana hasil pemeriksaan terhadap virus-virus lainnya dan apabila mungkin dilakukan biopsi hati sesuai dengan rekomendasi WHO, serta juga kalau ada hasil dari pemeriksaan sekuensingnya.
Tentang kemungkinan cara penularan, sejauh ini data penelitian epidemiologi awal belum menunjukkan secara jelas adanya sumber penular utama. Secara umum, kejadian penyakit ini adalah jarang dan belum jelas ada tidaknya kemungkinan penularan antarmanusia. Kasusnya masih bersifat sporadik dan perlu penelitian lebih lanjut.
Penyebab penyakit
Hal ketiga yang paling banyak dibicarakan adalah tentang apa sebenarnya penyebab penyakit ini, khususnya karena virus hepatitis justru tidak ditemukan. Pada sebagian cukup besar kasus memang ditemukan adenovirus.
Di Inggris, 75,5 persen kasusnya dites positif terhadap adenovirus dan pemeriksaan subtipe pada 11 kasus menunjukkan adenovirus tipe 41F.
Sementara itu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Center for Diseases Control and Prevention/CDC) Amerika Serikat pada akhir April melaporkan bahwa dari sembilan kasus mereka di Alabama, semua positif adenovirus. Dua anak sampai harus transplantasi hati. Gejalanya antara lain muntah, diare, dan ada yang infeksi saluran napas atas.
Tentu temuan ini belum dapat menyimpulkan bahwa adenovirus adalah penyebab hepatitis yang banyak dibicarakan ini. Selama ini kita kenal adenovirus sebagai virus yang dapat menye- babkan keluhan pernapasan, juga muntah dan diare, tetapi biasanya ringan saja dan tidak dihubungkan dengan hepati- tis—kecuali pada keadaan amat jarang.
Laporan UK Health Security Agency pada 25 April 2022 menyebutkan tentang kemungkinan ada beberapa faktor yang berperan, yang masih harus diselidiki lebih lanjut tentang benar tidaknya. Faktor itu meliputi antara lain kemungkinan varian baru adenovirus atau juga bersama hal lain (co-factor), seperti toksin, obat, lingkungan, dan riwayat/paparan virus lain.
Karena memang sekarang sedang pandemi Covid-19, mungkin saja ada kasus hepatitis ini yang penderitanya juga pernah mengalami Covid-19.
Hal keempat yang juga banyak dipertanyakan adalah apakah ada hubungannya kejadian hepatitis ini dengan Covid-19. Sejauh ini tidak ada bukti-bukti yang mendukungnya secara jelas. Kalau dihubungkan dengan vaksinasi Covid-19, kasus anak-anak ini banyak yang masih di bawah usia lima atau 10 tahun dan memang belum mendapat vaksinasi Covid-19.
Karena memang sekarang sedang pandemi Covid-19, mungkin saja ada kasus hepatitis ini yang penderitanya juga pernah mengalami Covid-19. Kita tahu misalnya kasus di Singapura yang memang pernah mengalami Covid-19 pada Desember yang lalu walaupun sejauh ini belum ada bukti ilmiah yang jelas antara hepatitis akut dan infeksi virus korona.
Di sisi lain, memang ada tulisan berjudul ”SARS-CoV-2 vaccination can elicit a CD8 T-cell dominant hepatitis” pada Journal Hepatology, 21 April 2022, dan ada beberapa hipotesis lain yang masih perlu dibuktikan secara ilmiah.
Tidak perlu panik
Seperti disampaikan di atas, pada 5 April 2022 WHO pertama kali mendapat notifikasi kasus ini dari Inggris. WHO kemudian memasukkan ini dalam Disease Outbreak News (DONs) WHO pada 15 April 2022 dan berbagai berita menyebutnya sebagai kejadian luar biasa (KLB) oleh WHO.
Perlu kita ketahui bahwa kalau memang ada kasus penyakit apa pun di dunia yang tidak seperti biasa, maka akan dimasukkan dalam DONs. Jadi, ini prosedur rutin di WHO untuk menyajikan informasi ke dunia tentang kejadian kesehatan masyarakat yang penting, atau yang berpotensi menjadi hal penting.
Sepanjang April 2022, ada 10 penyakit di DONs WHO, yaitu hepatitis ini, dengan laporan pertama pada 15 April di Inggris dan Irlandia serta 23 April di berbagai negara.
Lalu juga ada ebola di Kongo, japanese encephalitis di Australia, salmoneum thypimurium di berbagai negara, kolera di Malawi, malaria di Somalia, demam kuning di Uganda, VDPV ( vaccine derived polio virus) tipe 3 di Israel dan MERS CoV di Arab Saudi. Jadi, ada banyak penyakit hanya pada bulan April 2022, bukan hanya hepatitis.
Artinya, penempatan penyakit tertentu di dalam DONs memang justru maksudnya agar dunia mengetahui informasi awal dan menjadi perhatian bersama. Belum tentu berarti akan menjadi wabah luas dunia atau tidak.
Tegasnya, kita jelas perlu waspada, tetapi tidak perlu juga menjadi panik secara tidak beralasan.
Tegasnya, kita jelas perlu waspada, tetapi tidak perlu juga menjadi panik secara tidak beralasan. Di sisi lain, negara tentu perlu mengambil langkah antisipasi yang diperlukan dan masyarakat melakukan langkah kewaspadaan pada keluarga masing-masing.
Beberapa hal yang dapat dilakukan masyarakat luas antara lain adalah menjaga kebersihan, mengonsumsi makanan dan minuman yang matang, membuang tinja dan atau popok pada tempatnya, menggunakan alat makan sendiri-sendiri, rajin mencuci tangan dan menjaga protokol kesehatan.
Selain itu, perlu dilakukan pendeteksian dini jika menemukan anak-anak dengan gejala-gejala kuning, mual/muntah, diare, nyeri perut, dan lain-lain. Kemudian, membawanya ke fasilitas layanan kesehatan terdekat.
Pemerintah tentu juga perlu meningkatkan kewaspadaan dini, kemampuan pemeriksaan laboratorium secara rinci dan mendalam, surveilans epidemiologi dan laboratorium yang ketat dan kesiapan kalau-kalau diperlukan penanganan pasien. Sementara itu, kita perlu untuk terus mengikuti bukti-bukti ilmiah yang kita harapkan akan tersedia dalam waktu mendatang ini.
Tjandra Yoga Aditama Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit/Kepala Balitbangkes