Sejarah masyarakat antroposen menjadi titik balik narasi tentang posisi sentral manusia yang memiliki adil terhadap perubahan situasi keplanetan terkini yang tidak terlepas dari segala aktivitas antropogenik masa lalu.
Oleh
RANGGA KALA MAHASWA
·5 menit baca
Jika diperhatikan secara saksama, hampir seluruh tema besar perayaan Hari Bumi, setiap 22 April, selalu mendorong gerakan masyarakat dunia agar senantiasa menjaga ibu Bumi. Hal ini menandai masyarakat kita sedang menjalin satu bentuk kesadaran relasional dengan Bumi, meskipun tampaknya tidak terlepas dari kecemasan ekologis perihal distribusi sumber daya alam yang terbatas di masa depan.
Paul J Crutzen (1933-2021), peraih Nobel Kimia 1995, pernah mendeklarasikan bahwa manusia tidak lagi berkelindan dengan kala Holosen, tetapi telah membentuk trajektori skala waktu geologis baru yang dikenal dengan istilah antroposen. Warisan pemikiran Crutzen kemudian dipopulerkan tidak hanya oleh para ahli geologi, tetapi juga oleh ragam perspektif lintas disiplin keilmuan—dengan mengasumsikan manusia sebagai agen geologis utama (geological force).
Segala tindakan manusia saat ini akan senantiasa berpengaruh terhadap pembentukan struktur geologi antroposen, meskipun antroposen sendiri belum diakui secara formal bahkan belum mendapatkan ratifikasi resmi hingga saat ini. Alasannya sederhana: sulit menemukan bukti ilmiah kapan dan di mana penanda titik transisi-sinkronik global antroposen terjadi, selain peran sentral pengaruh manusia terhadap Bumi.
Terlepas dari polemik ilmiah yang terjadi, disadari atau tidak, pembeda kepunahan massal era sebelumnya selalu dipicu oleh adanya aktivitas alami. Akan tetapi, saat ini manusia secara signifikan mampu menjadi penyebab utamanya.
Beberapa tesis utama antroposen selalu dikaitkan dengan pencapaian besar peradaban manusia, revolusi industri, serta globalisasi yang memicu serangkaian malapetaka yang tidak terduga. Terlebih lagi, setelah peristiwa The Great Acceleration sekitar 1950 terjadi peningkatan aktivitas massal antropogenik, seperti semakin terbukanya transaksi ekonomi transnasional, meningkatnya jumlah demografis masyarakat pasca-Perang Dunia II, degradasi lahan, serta intensi penggunaan bahan bakar fosil yang berdampak langsung atas peningkatan jumlah karbon dioksida, metana, serta gas lainnya di atmosfer.
Imaji transisi holosen ke antroposen menggambarkan perubahan fase ”stabil pasca-interglasial” ke arah dinamika keplanetan yang penuh dengan ketidakpastian (terra incognita), termasuk meningkatnya pontensi ancaman bencana iklim, pandemi, kepunahan massal. Untuk mengantisipasi risiko global tersebut, tidak heran, jika hampir sebagian besar kepala negara, aktivis lingkungan, akademisi pada tahun lalu menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi COP26 di Glasgow, Skotlandia.
Menariknya, situasi krisis antroposen sempat mendapatkan perhatian publik di salah satu agenda COP26 ”Anthropocene: The Human Epoch”. Sesi ini mendorong arah proyek antroposen dengan pendekatan multidisipliner yang dapat melibatkan potensi seni, realitas vitual, dan riset ilmiah untuk menginvestigasi ulang dampak dinamika perekayasaan Bumi.
Tentu saja, mengurai permasalahan krisis ekologi ini menjadi cukup rumit dan kompleks sebab selalu bertalian dengan kepentingan umum lainnya, seperti ekonomi, politik, budaya, juga hubungan internasional. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa usaha kesepakatan COP26 November 2021 tersebut perlu ditindaklanjuti dalam bentuk regulasi kebijakan yang lebih konkret, tertata sekaligus melibatkan andil publik, jurnalis lingkungan, serta kerja komunitas ilmiah tanpa adanya tekanan dari kepentingan pihak tertentu.
Dalam konteks sosial, keberagaman masyarakat Indonesia tidak berarti mengurangi persepsi kolektif kita terhadap situasi perubahan iklim yang sedang terjadi. Baik masyarakat perkotaan maupun mereka yang hidup di wilayah pedalaman tidak menutup kemungkinan merasakan ketidakmenentuan pancaroba (peralihan musim) setiap tahun. Kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim juga menghantui kawasan kampung-kampung pesisir di Jakarta Utara.
Dalam konteks sosial, keberagaman masyarakat Indonesia tidak berarti mengurangi persepsi kolektif kita terhadap situasi perubahan iklim yang sedang terjadi.
Titik balik
Sejarah masyarakat antroposen menjadi titik balik narasi tentang posisi sentral manusia yang memiliki adil terhadap perubahan situasi keplanetan terkini yang tidak dapat terlepas dari segala aktivitas antropogenik masa lalu. Dampak penggunaan bahan bakar fosil, misalnya, selama Revolusi Industri I, Perang Dunia II, juga percepatan globalisasi akan selalu menyejarah sebagai jejak-jejak limbah atau fosil-antropogenik pada struktur permukaan Bumi. Sedimentasi antropogenik inilah yang sangat berpotensi untuk menentukan titik skala waktu geologi antroposen di masa depan.
Secara reflektif, masyarakat antroposen memberdayakan cara pandang tentang situasi terkini dengan selalu merujuk kepada relasi keretakan ekologis antara dunia kehidupan (life-world; persepsi sosio-kultural) dengan bumi (earth; sebagai latar habitat hunian spesies) yang semakin lebar. Untuk melampaui persoalan ini, kita perlu menghindari prinsip-prinsip romantisisme ekologis, yang selalu mengagungkan imajinasi bahwa manusia pernah memiliki keseimbangan dengan alam di masa lampau. Maka dari itu, antroposen dapat diterima sebagai tantangan sekaligus harapan.
Sedimentasi antropogenik inilah yang sangat berpotensi untuk menentukan titik skala waktu geologi antroposen di masa depan.
Sebagai tantangan, ia selalu berhadapan dengan kecemasan eksistensial alamiah manusia ketika berurusan dengan cara bertahan hidup di tengah-tengah keterbatasan sumber daya alam yang tersedia. Sementara harapannya ialah memberikan peluang tentang adanya kesadaran ekologis kolektif untuk saling bertindak mencegah malapetaka selanjutnya.
Pada titik ini, kita tidak mungkin lagi memaksa menuntut kesalahan peradaban masa lalu dengan mengembalikan keadaan yang sepenuhnya seimbang, tetapi tanpa melihat perubahan dan konteks situasi keplanetan saat ini. Di hadapan krisis ekologis, seluruh limbah antropogenik saling bergerak, terus-menerus menubuh dengan skala waktu geologi antroposen tanpa memedulikan segala status historis kelas sosial tertentu. Limbah antropogenik ialah segala bentuk material atau obyek yang diturunkan dari aktivitas kolektif manusia yang berbeda sepenuhnya dengan material alamiah, seperti sampah rumah tangga, polusi, limbah artifisial, dan sebagainya.
Ketika meninjau tempat pengolahan sampah akhir terpadu, misalnya, ada penanda fosil antropogenik berupa limbah material plastik yang terus-menerus menggunung meskipun sudah diolah dengan baik. Fenomena antroposen juga menjelaskan tentang dampak pencemaran mikro(nano)plastik, partikel plastik berukuran sekitar kurang dari 5 mm sampai kurang dari 0,1 μm, yang tidak sekadar merusak siklus karbon, tetapi juga memengaruhi biota lingkungan perairan laut. Di sisi lain, akumulasi limbah medis yang sulit terurai selama pandemi Covid-19 memberikan gambaran bahwa wabah dapat memaksa kesadaran akan urgensi kesehatan publik, tetapi tidak cukup kuat untuk mendorong terjadinya kesadaran ekologis lanjutan.
Kolektivitas limbah antropogenik yang bertemu secara massal ini telah menghilangkan batas-batas kelas sosial atau kepentingan idealisme politik tertentu. Malapetaka iklim atau keretakan ekologis di masa depan tidak lagi mengenal suku, ras, kepercayaan, ataupun kelas sosial tertentu; setiap individu berpeluang memiliki risiko ketidakpastian yang sama.
Salah satu pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan membangun manajemen pembelajaran dengan mekanisme partisipatif antargenerasi. Ini akan mendorong terjadinya pertukaran gagasan kreatif terkait keresahan lintas generasi agar saling memperbaiki situasi yang sedang terjadi, selaras dengan laporan IPCC 2022 tentang komitmen adaptasi menekan laju perubahan iklim.
Adanya bias pengetahuan antara keputusan orang dewasa dan pemuda juga perlu untuk diantisipasi sehingga tidak memperlebar penjarakan konsensus kebijakan di kemudian hari. Artinya, keadilan ekologis inter-generasi menjadi peluang agar setiap generasi dapat memastikan hak hidup di masa depan yang lebih baik dengan mengedepankan konsekuensi etis bagi kesejahteraan ekologis sekaligus antisipasi atas segala kerentanan keplanetan antroposen yang penuh risiko.
Rangga Kala Mahaswa, Dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada