Keberhasilan Negev Summit di Israel di bawah platform Kesepakatan Abraham menjadi modal bagi Amerika dan Israel untuk memperluas penerimaan kesepakatan itu ke negara-negara Arab dan Muslim untuk "menerima" Israel.
Oleh
HAJRIYANTO Y THOHARI
·7 menit baca
Setelah tahun kedua pemerintahannya, kebijakan luar negeri Presiden Joe Biden di Timur Tengah mulai kelihatan arahnya. Alih-alih menjadi antesis Presiden Donald Trump, Biden melanjutkan beberapa kebijakan utama warisan rivalnya: mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel yang tak terbagi (undivided Jerusalem), memindahkan Kedutaan Besar Amerika ke Yerusalem (2017), dan tidak mengevaluasi proposal perdamaian Peace to Prosperity: A Vision to Improve the Lives of the Palestinian and Israeli People (2020). Dan yang paling baru adalah Biden menjadikan The Abraham Accord (2020), warisan Trump di Timur Tengah, sebagai landasan tempat berpijak kebijakan luar negerinya di Timur Tengah.
The Abraham Accords (selanjutnya disebut Kesepakatan Abraham) kini digendong ke mana-mana, termasuk ke Indonesia, oleh Menteri Luar Negeri Antony Blinken. Dengan Kesepakatan Abraham, Amerika bermaksud membawa sebanyak mungkin negara-negara Arab dan Islam untuk bergabung dalam kesepakatan tersebut. Trump berhasil membawa Persatuan Emirat Arab (PEA), Bahrain, belakangan Maroko dan Sudan, bergabung dalam Kesepakatan Abraham dan menormalisasi hubungannya dengan Israel. Walhasil Kesepakatan Abraham telah menambah empat negara Arab membuka hubungan diplomatik dengan Israel setelah Mesir (1979), Yordania (1994), Turki (1949) dan Kosovo (2021).
Maret menjelang April 2022 sebuah perkembangan baru terjadi di tengah berkecamuknya perang Rusia-Ukarina, Antony Blinken melakukan kunjungan ke Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), yaitu Palestina, Israel, Maroko, dan Aljazair. Blinken bukan hanya melakukan pembicaraan dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas dan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, melainkan juga –ini sejatinya yang terpenting- “mengikuti” Negev Summit yang digelar bersama Israel yang diikuti Mesir, PEA, Maroko, dan Bahrain. Beberapa negara Arab yang absen menuai ketegangan dengan Amerika.
Keberhasilan penyelenggaraan Negev Summit di Negev adalah fenomena baru yang luar biasa fenomenal, kalau bukannya fenomena itu sendiri. Tak heran jika pertemuan yang hanya setingkat menlu ini ditahbiskan sebagai “Summit”. Pasalnya, bagi Israel dan Amerika, Negev Summit memang benar-benar sebuah prestasi yang prestisius setingkat summit. Bagaimana tidak, negara-negara Arab yang dalam KTT Liga Arab (1967) dengan kompak memutuskan “Three No’s: No peace with Israel, no recognition of Israel, no negotiations with Israel”, kini sudah berangkulan dengan Israel di Negev. Dan yang lebih fantastis lagi adalah bahwa pertemuan tersebut digelar di Kibbutz Sde Boker, Negev, Israel, kota tempat mantan deklarator berdirinya Israel (1948), mendiang Ben-Gurion, tinggal setelah pensiun dari perdana Menteri.
Dinamika politik Arab memang seringkali di luar imajinasi banyak orang, hatta Blinken sendiri pun hampir tidak percaya sehingga mengatakan bahwa Negev Summit tersebut sebagai sesuatu yang tak terbayangkan pada setahun yang lalu. Negev Summit telah mengirimkan pesan yang jelas kepada dunia internasional bahwa bukan hanya Israel telah diterima oleh negara-negara Arab saja, melainkan telah terintegrasi dalam suatu kebersamaan untuk menghadapi musuh dan ancaman yang sama. Walhasil definisi ancaman nasional negara-negara Arab telah mengalami perubahan drastis: bukan lagi Israel dengan Zionismenya melainkan Iran.
Keberhasilan Israel menggelar Negev Summit secara simbolik memberikan isyarat kepada dunia bahwa Israel telah menjadi pemain politik internasional yang lincah, cerdik, dan diperhitungkan. Israel memiliki modal yang lengkap (sosial, budaya, ekonomi, kuasa simbolik) untuk berkontestasi di ajang internasional yang masih berpola realisme ini. Lihat saja Israel bermain dalam perang Rusia-Ukraina sekarang ini, melebihi permainan yang dimainkan oleh negara manapun, termasuk Amerika sekalipun. Walhasil, dunia internasional mencatat Israel sebagai telah menjelma menjadi kekuatan dunia yang diperhitungkan.
Landasan tempat berpijak
Seperti diketahui, Kesepakatan Abraham disepakati oleh empat negara (Amerika, Israel, PEA, Bahrain) di Gedung Putih pada 13 Agustus 2020, enam bulan setelah Amerika meluncurkan proposal perdamaian Peace to Prosperity (28 Januari 2020) yang dikonstruksi secara unilateralis dan sepihak tanpa melibatkan Palestina. Kesepakatan Abraham dimaksudkan untuk menjadi kesepakatan negara-negara yang mayoritas penduduknya menganut tiga agama rumpun Ibrahim (the Abrahamic Religions). Kesepakatan Abraham ini menjadi landasan teologis dan budaya tempat berpijak bagi Amerika untuk melangkah mendekati negara-negara Arab dan Muslim agar bergabung dalam kesepakatan tersebut.
Tujuh butir semangat Kesepakatan Abraham, yakni perdamaian Timur Tengah dan dunia, dialog antar agama dan peradaban, kerja sama dan persahabatan, toleransi dan rasa hormat, pengembangan sains dan seni, memerangi radikalisme, serta visi perdamaian dan kemakmuran, semua itu tidak syak lagi adalah nilai-nilai luhur yang universal. Tiga agama rumpun Ibrahim secara eksplisit mengajarkan perdamaian (Islam: salam, Yahudi: salom, Nasrani: kasih, pasifis).
Satu-satunya ganjalan adalah bagian penutup dari deklarasi Kesepakatan Abraham yang berbunyi: “Dalam semangat tersebut kami menyambut hangat hubungan diplomatik antara Israel dan negara-negara tetangganya di kawasan. Kami terdorong untuk mengkonsolidasikan dan memperluas hubungan persahabatan tersebut berdasarkan kepentingan bersama”.
Tentu saja klausul penutup itu -normalisasi hubungan dengan Israel- bukan hanya problematis, melainkan juga dilematis.
Tentu saja klausul penutup itu -normalisasi hubungan dengan Israel- bukan hanya problematis, melainkan juga dilematis. Menormalisasi hubungan dengan Israel sementara masa depan berdirinya negara Palestina yang merdeka tetap mengambang: tidak jelas peta dan prospeknya. Bagi dunia Arab dan Islam isu utama konflik Palestina-Israel adalah kepastian berdirinya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan ibukota Yerusalem Timur (Al-Quds).
Sementara bagi Amerika yang menjadi kepedulian pertama dan utama adalah keamanan Israel yang nota bene didefinisikan secara sepihak oleh Amerika dan Israel. Keamanan Israel hanya dianggap terjamin jika negara Palestina yang berdiri nanti adalah Palestina yang didemiliterisasi dan belakangan ditambah satu lagi: jika seluruh negara-negara Arab dan Islam telah berdamai dan atau menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Sebagaimana tercermin dalam dokumen Peace to Prosperity, ke sanalah Kesepakatan Abraham menuju!
Keberhasilan penyelenggaraan Negev Summit di tanah Israel di bawah platform Kesepakatan Abraham tak ayal lagi menjadi modal yang menambah semangat Amerika dan Israel untuk mendesakkan perluasaan penerimaan kesepakatan itu ke negara-negara Arab dan Muslim yang belum menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Kesepakatan Abraham yang elitis memang diyakini tidak dapat menjadi landasan bagi perdamaian yang berkelanjutan di Timur Tengah. Pasalnya, negara-negara Arab yang telah bergabung dalam kesepakatan itu bukanlah negara-negara yang demokratis sehingga belum bisa diklaim mencerminkan aspirasi luas rakyat Arab yang dikenal lebih kuat solidaritas dan sentimen kearabannya. Tetapi Amerika di bawah Biden (dan Israel) menggunakan Kesepakatan Abraham sebagai platform sekaligus instrumen untuk mendesak negara-negara Arab dan Muslim ikut bergabung.
Posisi Indonesia: tidak mudah
Tidak ragu lagi desakan Amerika kepada negara-negara Arab dan Muslim untuk menormalisasi hubungan dengan Israel kini dan ke depan akan semakin menguat. Apalagi setelah keberhasilan Negev Summit, beberapa negara Arab sendiri alih-alih masih anti, malah semakin legket, bahkan menjalin aliansi bersama untuk menghadapi ancaman yang didefinisikan sebagai sama dan identik: Iran. Kebanyakan negara Arab sekarang ini mendefinisikan hubungannya dengan Israel sebagai penting dan dipentingkan.
Berbeda dengan negara-negara Arab, Indonesia yang demokratis tidak mudah memutuskan sikap atas desakan untuk bergabung dalam Kesepakatan Abraham. Indonesia memiliki tradisi yang sangat kukuh mendukung Palestina merdeka dan berdaulat. Dukungan Indonesia kepada Palestina yang berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan Konferensi Asia Afrika Bandung (1955) sudah mengakar sedemikian kuat dalam hati nurani bangsa Indonesia dan telah menjadi tradisi kepemimpinan nasioanal sejak Presiden Pertama RI Soekarno. Tradisi Indonesia mendukung Palestina sama kuatnya dengan tradisi Amerika mendukung Israel.
Dalam konteks dan perspektif seperti itu posisi Indonesia tidaklah mudah dan sederhana. Apalagi jika sampai terjadi yang melakukan lobi agar Indonesia bergabung dalam Kesepakatan Abraham bukan hanya Amerika atau aliansi Barat Israel lainnya, melainkan salah satu (atau salah dua) negara Arab. Kemungkinan seperti ini besar sekali probabilitasnya akan terjadi mengingat betapa tingginya dinamika politik negara-negara Arab sebagaimana yang tergambar di atas.
Apapun keputusan yang akan diambil tentu kepentingan nasional adalah yang pertama dan utama. Hanya saja apa yang disebut dengan kepentingan nasional haruslah didefinisikan secara komprehensif, bukan hanya aspek ekonomi dan bisnis. Apalagi Indonesia adalah negara yang demokratis di mana suara rakyat ikut menentukan suara negara, termasuk dalam merumuskan kebijakan internasionalnya. Tentu saja.